Senin, 20 Mei 2024

Menggugah Kesadaran melalui Karya Sastra

Menggugah Kesadaran melalui Karya Sastra

Oleh: Ahmad Sholeh[1]

Hakikat dasar sastra

Pada hakikatnya sastra adalah karya seni berisi ungkapan ekspresi, kegelisahan, pemikiran, perenungan yang dihasilkan dari refleksi manusia terhadap keadaan dan realita kehidupan. Sastra adalah bahasa kebebasan, sastra adalah bahasa yang mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana diungkapkan Dr. Nur Sahid, M.Hum. (wakil ketua majelis LSBO Muhammadiyah), karya sastra sebagai karya seni adalah bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang bersumber pada rasa, terutama rasa keindahan yang ada pada manusia[2].

Sejatinya sebuah karya sastra tidak bisa dilepaskan dari realita kehidupan penulisnya, lingkungannya, dan kebudayaan masyarakatnya. Karena sastra adalah media bagi penulis untuk menyampaikan pesan kritis kepada pembaca dengan bahasa yang estetik (indah).

Mursal Esten menyatakan bahwa, sastra atau keusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia atau masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan mempunyai efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)[3]. Dari pendapat Esten tersebut, dapat kita garis bawahi karya sastra yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia atau realita sosial. Senada dengan pendapat Endaswara (2012:36), yang menyatakan, “sastra itu cermin pemikiran hidup. Sebagai refeleksi pemikiran, sastra juga menyuarakan sebuah kebenaran hidup. Kalau begitu, sastra, pemikiran, dan hidup tidak bisa dipisahkan.”

Gagasan sastra profetik

Munculnya gagasan sastra profetik tidak bisa kita pisahkan dari penggagasnya, Kuntowijoyo, dialah seorang intelektual yang juga berperan dalam ilmu sosial profetik. Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh filsuf Islam yang memengaruhi pemikiran Kuntowijoyo dalam menggagas ilmu sosial profetik. Kata profetik sendiri berasal dari kata prophet atau nabi, istilah profetik ini kemudian diartikan dengan peran kenabian. Dalam paradigma profetik setiap manusia memiliki tugas dan peran kenabian dalam menyelaraskan kehidupan manusia, selain memiliki hubungan dengan Tuhan (Habluminallah) manusia juga memiliki hubungan dengan manusia (Hambluminannas).

Ilmu sosial profetik digagas oleh pak Kunto, yang merupakan manifetasi dari Q.S Ali Imran ayat 110 yang artinya: “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Inilah yang kemudian oleh Kuntowijoyo dijadikan rumusan ilmu sosial profetik.

Manusia dalam ilmu sosial profetik memiliki tanggung jawab kenabian, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minubillah).  Inilah upaya pak Kunto untuk membumikan firman Allah, beliau berpendapat bahwa bersislam haruslah dengan utuh (kaffah). Sebagai umat muslim, tentunya harus mengamalkan ajaran Islam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain ibadah yang rukun (sahadat, shalat, zakat, puasa dan haji), maka dalam menciptakan karya sastra pun haruslah diniatkan sebagai ibadah (Kuntowijoyo, 2013:14).

Sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang menjadi acuan dalam mengekspresikan, dan menuliskan pesan dalam karya. Pertama, epistemologi strukturalisme transendental: yaitu rujukan dari sebuah karya sastra yang bersumber pada kitab suci atau wahyu (firman Tuhan atau sabda Nabi) yang kemudian ditarik kedalam sebuah realita yang terjadi (teks ke konteks).

Kedua, sastra sebagai ibadah: ibadah selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan manusia dengan tuhan (transendental), padahal peradigma tersebut kurang tepat karena pada hakikatnya manusia beribadah dengan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Maka dalam konteks kesusatraanpun harus diniatkan sebagai ibadah yang bertujuan untuk ketiga aspek tersebut, entah itu sebagai kritik sosial, budaya, politik maupun menjadi nasihat-nasihat atau pesan-pesan Tuhan.

Ketiga, keterkaitan antar-kesadaran: dalam kehidupan beragama tentu manusia memiliki kesadaran ketuhanan artinya kesadaran bahwa adanya Sang Khaliq. Selain kesadaran Ketuhanan, manusia juga harus memiliki kesadaran kemanusiaan, artinya sebagai manusia harus menjalankan kehidupan ini dengan seimbang antara habluminallah dan habluminannas. Artinya ketika manusia memiliki kesadaran Ketuhanan yang tercerminkan lewat ibadahnya maka manusia tersebut memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap kehidupan bermasyarakat.

Dengan karya sastra seorang penyair atau sastrawan harus bisa menghadirkan nilai-nilai ‘Tuhan’ ke ruang publik melalui karya-karyanya. Dewasa ini, merebak aksi-aksi simbolik keagamaan yang hanya berkutat pada simbol-simbol agama saja. Pemahaman agama yang simbolik tentunya akan mengurangi substansi dari nilai-nilai agama itu sendiri. Akibatnya, manusia tergerus oleh pemahaman sekuler yang memberi batasan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi (transendensi).

Masdar Hilmy (2008:184) menyatakan bahwa, penghadiran Tuhan dalam ruang publik akan lebih berbobot jika dilakukan dalam tataran substantif, bukan simbolik. Maka, dalam sastra profetik haruslah dimunculkan misi-misi tranformatif-liberatif sebagai bentuk penyadaran kepada penikmat sastra tentang bagaimana seharusnya memaknai agama sebagairahmatan lil ‘alamin.

Sastra sebagai gerakan profetik

Sebagai sebuah gerakan, sastra tidak bisa dilakukan sendiri atau secara individual saja. Namun harus dilakukan secara kolektif untuk menciptakan sebuah gerakan yang massif dan teroganisir. Tujuan dari gerakan ini adalah menciptakan perubahan dengan penyadaran melalui karya-karya sastra yang mengandung substansi nilai-nilai agama yang bersifat humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Tujuan utamanya adalah menumbuhkan kesadaran Ketuhanan dan kemanusiaan kepada prnikmat sastra.

Sani dalam bukunya (2011:102) menjelaskan bahwa,

Kesadaran dalam Islam bersifat independen, tidak dipengaruhi oleh struktur, basis sosial, dan kondisi material. Yang menentukan kesadaran bukanlah individu, seperti dalam kesadaran kritis, dimana menjadikan individu bersikap aktif dalam menentukan jalannya sejarah. Kesadaran kritis yang ditentukan oleh individu ini dapat terjatuh dalam paham eksistensialisme dan individualisme. Sedangkan kesadaran profetis, meyakini bahwa yang menentukan bentuk kesadaran adalah Tuhan, dan ketentuan kesadaran ini untuk menebarkan nama Tuhan di dunia. Sehingga, rahmat diperoleh manusia. Bentuk kesadaran ini adalah ruh illahiah untuk melakukan transformasi sosial.

 

Dalam sastra profetik, sastrawan memiliki kebebasan untuk melakukan eksplorasi terhadap nilai-nilai agama dalam karya sastranya. Dengan demikian, karya sastra tidak lagi memuat kenaifan bahasa, karena pada hakikatnya karya sastra bukanlah ungkapan naïf sastrawan, melainkan menjadi cerminan, kritik dan refleksi terhadap realitas kehidupan. (Sholeh)

 

DAFTAR BACAAN

 

Endaswara, Suwardi. 2012. Metode Penelitian Filsafat Sastra; Rancangan, Pemikiran, dan Analisis. Yogyakarta: Layar Kata.

Hilmy, Masdar. 2008. Islam Profetik; Substansi Nilai-nilai Agama dalam ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius.

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

                     . 2013. Maklumat Sastra Profetik; Kaidah Etika dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Pressindo.

Sani, Abdul Halim. 2011. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta: Samudra Biru.

Sastra. http:// roma-sastra.blogspot.com/, 7 Januari 2014 pukul 10.15 WIB.

 

 


[1]Penulis adalah Ketua Umum PC MM Jakarta TImur, Guru Bahasa Indonesia MI Al Ikhlas, dan Pelatih Jurnalistik di SMAN 95 Jakarta dan SMKN 51 Jakarta.

[2]Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik; Kaidah etika dan Struktur sastra. (Yogyakarta: Multi pressindo, 2013) hlm. VII.

[3]Sastra, “Sastra” diunduh dari: http://roma-sastra.blogspot.com/pada tanggal 7 Januari 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *