Sabtu, 27 April 2024

Meraba Kepemimpinan Bangsa 2014

Aris Iskandar

 

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan beragam suku, agama dan budaya terbentang dari sabang sampai merauke dengan cadangan sumber daya alam yang berlimpah. Bangsa yang besar dengan segudang historis, bangsa yang terlahir dari kesamaan nasib untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan, bangsa yang terlahir dari kesamaan cita-cita untuk menjadi bangsa yang berkeadilan, bermartabat dan berdikari. Saat ini, tak terasa sudah hampir 67 tahun bangsa ini merdeka dengan segala macam dinamikanya baik yang manis maupun pahit.

Berbagai rezim pemerintahan saling berbagi dan berganti memimpin bangsa ini, dari mulai rezim orde lama, orde baru sampai saat ini orde reformasi. Setiap rezim mempunyai ceritanya masing-masing, namun yang jelas sejarah mencatat pergantian rezim di Indonesia hampir selalu diwarnai dengan konflik antar elite, ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban. Kita tidak bisa menutup mata bagaimana pergantian rezim dari orde lama ke orde baru diawali dengan meletusnya G30SPKI serta pembataian baik di tingkat elite terlebih di tingkat akar rumput, berjuta rakyat Indonesia meninggal dibantai tanpa ampun, tak ada pengadilan yang ada hanya penghakiman. Begitu juga pergantian dari orde baru ke era reformasi tak semulus yang diharapkan, kerusuhan yang memakan banyak korban terjadi tidak hanya di ibu kota namun massif terjadi di daerah sekalipun.

Dalam budaya jawa disebutkan bahwa pergantian rezim kepemimpinan bangsa ini tak hayal seperti pergantian raja-raja jawa yang tak pernah mulus namun selalu meminta persembahan atau korban. Kita bisa melihat kebelakang bagaimana pergantian kekuasan di tanah jawa dari kerajaan Kediri ke kerajaan Singosari kemudian ke kerajaan Majapahit, kerajaan demak, kerajaan Pajang dan terakhir ke Kerajaan Mataram, semuanya diakhiri dengan ketidak harmonisan antar pemimpinya (rajanya) walaupun semuanya masih terhitung satu kerabat apa itu anak, keponakan, anak angkat ataupun menantu. Budaya tersebut sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar para pemimpin kita, bagaimana presiden yang diganti dengan presiden yang mengganti sulit untuk bersikap harmonis, tak ada kehangatan, penghargaan dan penghormatan satu sama lain, semisal antara Alm. Sukarno dengan Alm. Suharto, atau Alm. Suharto dengan Habibi, Alm. Gusdur dengan Mega, atau yang paling hot sampai saat ini bagaimana perang dingin yang terjadi antara SBY dengan Mega. Konflik antara pemimpin di tingkat elite tersebut tentu saja tidak akan pernah menjadi solusi atas segala permasalahan yang mendera bangsa ini malah menjadi batu sanjungan yang membuat bangsa ini terpecah.

Selain itu setiap era kepemimpinan bangsa ini mempunyai keunikan tersendiri. Orde lama didominasi oleh kaum revolusioner yang terdiri dari para aktivis pergerakan dengan background beragam baik dari kalangan islam, nasionalis, sosialis. Strategi pembangunan bangsa lebih banyak didasarkan pada teori pembangunan dependensi(ketergantungan) bahwa sebuah Negara/bangsa jika ingin maju harus melepaskan diri dari segala macam tekanan ataupun intervensi dari Negara maju, berhubungan dengan mereka akan semakin membuat Negara miskin dan terpuruk bahkan terjajah kembali. Sedangkan era orde baru didominasi oleh kolaborasi antara kalangan militer dan teknokrat. Strategi pembangunan bangsa era orde baru banyak menyadur kepada teori pembangunan modernisasi Rostow bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi yang dikenal dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan berakhir dengan tahap konsumsi massal yang tinggi, namun ternyata ketika bangsa ini hampir lepas landas, krisis ekonomi global menghantam ekonomi nasional dan membuat semua bidang berantakan tidak terkecuali bidang politik tak pelak lagi Alm. Suharto terpaksa harus mundur untuk menghindari keos.

Era reformasi tentu memiliki keistimewaan yang luar biasa, meskipun baru berusia 14 tahun sudah terjadi 4 pergantian presiden, bisa dibayangkan dari tahun 1998 awal reformasi sampai tahun 2004 pergantian presiden terjadi sebanyak 3 kali, Habibi, Alm. Gusdur dan Megawati, baru pada tahun 2004 SBY memegang kendali atas pemerintahan sampai sekarang. Dalam era reformasi ada semacam euporia politik dimana tuntutan pengembalian kekuasaan dari tangan militer harus dikembalikan ke tangan sipil, akhirnya Habibi, Alm. Gusdur dan Megawati yang merupakan simbol kekuasaan sipil ternyata ke tiganya tak bertahan lama berada di puncak kekuasaan, ujung-ujungnya kekuasaan kembali ke tangan militer (SBY seorang purnawirawan Jenderal AD) sehingga tak aneh sekarang banyak pembantu utama presiden berasal dari kalangan militer. Menurut hukum gerak sejarah Fatum dinyatakan bahwa alam ini terbagi kepada dua bagian yaitu macro-cosmos dan micro-cosmos dan hukum alam yang menjadi dasar dari segala hukum cosmos adalah hukum lingkaran atau hukum cyclus, artinya bahwa setiap kejadian atau peristiwa akan berulang dan di dunia ini tidak ada sesuatu yang baru yang ada hanya ulangan demi ulangan yang membedakannya hanya variasi dari ulangan tersebut termasuk urusan tampuk kepemimpinan bangsa yang di awal reformasi didengungkan untuk dikembalikan ke tangan sipil namun ternyata akhirnya kembali direbut oleh kalangan militer.

Kepemimpinan di era reformasi merupakan kolaborasi antara kalangan aktivis pergerakan dengan kalangan pengusaha plus kalangan selebritis, dibuktikan dengan banyaknya para pengusaha masuk ke wilayah legislatif maupun eksekutif. Bagaimanapun sistem demokrasi terbuka yang saat ini dianut oleh bangsa Indonesia telah membuat segmen baru dalam budaya politik bangsa ini sehingga memungkinkan hubungan mutualisme antara kalangan birokrasi/legislatif dengan pengusaha yang sebelumnya dilakukan di belakang layar sekarang sudah tampil berani dipermukaan bahkan mengambil tampuk kepemimpinan. Beberapa partai politik dari mulai partai besar sampai yang baru berdiri sekalipun dikuasai oleh para pengusaha, bahkan yang lebih lucu banyak diantaranya para aktivis pergerakan setelah menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif mendadak ikut-ikutan menjadi pengusaha.

Terjunnya pengusaha secara langsung dalam politik memang menggelikan karena selama ini pengusaha cenderung menjaga jarak dengan politik, tidak hanya di Indonesia namun di Amerika Serikat sekalipun pengusaha jarang sekali yang berani mengambil resiko terlibat secara langsung dalam politik praktis. Sejarah membuktikan banyak pengusaha yang gulung tikar bahkan masuk ke sel jeruji ketika terjadi pergantian kepemimpinan sehingga keterlibatan mereka biasanya di belakang layar sebagai donatur dan pengarah serta pengawal berbagai regulasi/kebijakan  yang akan dikeluarkan oleh pemerintah agar kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan mereka. Keterlibatan secara langsung dan terang-terangan dalam politik akan beresiko besar terhadap usahanya ketika terjadi perubahan kepemimpinan apalagi dalam politik tidak ada yang abadi, sulit menjamin sebuah orde berjalan mulus dan lama. Namaun demikian era reformasi seolah membuka kran yang selama ini tertutup menjadi terbuka lebar. Para pengusaha tak takut lagi usahanya akan menjadi taruhan ketika sebuah rezim berdiri/hancur, malah mereka lebih takut ketika tidak mempunyai atau membentuk sebuah aliansi.

Masuknya pengusaha secara langsung dalam politik bisa disebabkan beberapa hal diantaranya birokrasi sudah tidak dipercaya lagi oleh pengusaha untuk mengawal dan melindungi kepentingannya terutama dalam bidang ekonomi apalagi tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang bak jamur di kalagan birokrat, tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah mengalami perubahan dimana saat ini menganut demokrasi terbuka memungkinkan peluang yang besar terhadap pengusaha untuk terjun secara langsung dalam politik apalagi mereka mempunyai modal besar dan sudah memahami kehidupan bernegara akibat interaksinya selama ini dengan kalangan birokrat, dan terakhir mungkin saja para pengusaha ini mempunyai niatan untuk merubah kehidupan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Beberapa pengusaha ternama yang terlibat secara langsung dalam politik praktis diantaranya Surya Faloh bos media group sebagai pendiri Nasdem, Jusuf Kalla pemilik kalla group sebagai mantan ketua Golkar, Abu Rizal Bakrie pemilik bakrie group sekaligus ketua umum Golkar sekarang, terakhir saat ini Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC group sebagai ketua dewan pakar partai Nasdem.

Banyaknya pengusaha yang masuk dan terlibat dalam kegiatan politik mengundang beragam pendapat berbagai kalangan, ada yang setuju, tidak setuju, ada juga yang memberikan catatan. Pihak yang setuju berpendapat bahwa setiap warga Negara berhak untuk dipilih atau memilih tak terkecuali dalam hal ini kalangan pengusaha dan mereka yang setuju berharap karakter dinamis pengusaha bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kalangan yang tidak setuju berpendapat bahwa karakter pengusaha itu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil mungkin dan bisa dibayangkan bagaimana kalau menyangkut urusan Negara tak terkecuali politik. Sedangkan bagi yang memberikan catatan pada dasarnya setuju pengusaha masuk dunia politik asalkan karakter pengusahanya ditanggalkan. Namun demikian kalau kita perhatikan dalam konstitusi Negara tidak ada penghalang bagi setiap warga Negara untuk terlibat dalam kegiatan politik sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal 28 poin 3 menyatakan bahwa, “setiap warga negara berhak memeperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Maksud bunyi pasal tersebut adalah setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama, kalau dikhusukan yaitu berhak memperoleh kesempatan untuk dipilih dan memilih calon presiden, calon wakil presiden, DPD, DPR, MPR, MA, MK, KPK, KY, BPK dan lainnya sebagainya, tak terkecuali dalam hal ini kalangan pengusaha.

Pada tahun 2014 banyak pihak memperkirakan pertarungan antara berbagai kalangan dalam merebut tampuk kepemimpinan bangsa akan sengit, dimana aura pertarungan sudah mulai terasa saat ini. Tokoh yang selama ini santer sebagai calon kepemimpinan bangsa diantaranya Jusuf Kalla, Prabowo, Megawati, Abu Rizal Bakrie,  Hatta Rajasa, Ani Yudoyono, Surya Falloh, Dahlan Iskan yang terdiri dari kalangan pengusaha, birokrat, pergerakan, dan jurnalis. Hal yang sangat positif meskipun permasalahan yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks namun ternyata tak menurunkan keinginan para tokoh  untuk tampil di tahun 2014. Padahal kalau kita cermati permasalahan yang saat ini tengah dihadapi bangsa ini tidak hanya masalah mendasar menyangkut pemenuhan hak civil (hak konstitusi) dimana kewajiban negara dalam hal ini penyelenggara pemerintahan untuk memenuhi hak konstitusi tersebut namun menyangkut masalah birokrasi yang korup, inefisein serta masalah kebangsaan lainnya. Penulis pada kesempatan kali ini mungkin hanya akan membahas sedikit mengenai kewajiban Negara dalam memenuhi hak civi/hak konstitusi dimana hak tersebut merupakan hak yang sifatnya mendasar diantaranya :

1.      Hak memilih dan dipilih

2.      Hak mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum

3.      Hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak

4.      Hak berserikat dan mengeluarkan pendapat

5.      Kemerdekaan memeluk agama

6.      Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran

7.      Fakir miskin dan anak terlantar di urus oleh Negara

Ke tujuh hak civil/konstitusi tersebut merupakan hak mendasar yang harus dipenuhi oleh Negara kepada rakyatnya, pertanyaannya sudah sampai manakah hak-hak mendasar tersebut dipenuhi oleh Negara dalam hal ini penyelenggara pemerintahan. Hak memilih dan dipilih dalam era reformasi mungkin sudah begitu lebih baik dalam pelaksanaannya dibandingkan era sebelumnya, dimana saat ini begitu terbuka bagi siapapun selain PNS dan Militer dalam memenuhi hak tersebut. Point ke dua yaitu mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukumini yang masih bias, seringkali hukum ibi seperti pisau semakin ke atas semakin tumpul, hukum ini hanya tajam ketika mengenai kalangan lemah atau status sosial rendah.

Penilaian apakah Negara telah memenuhi hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mendapatkan pendidikan dan pengajaran harus kita lihat data statistik yang ada, berapa persen penduduk kita ini yang mendapatkan pekerjaan dan berada dalam kehidupan yang layak. Data BPS  menunjukkan angka pengangguran terbuka Indonesia tahun 2011 sebesar 8,12 juta, jumlah penduduk yang berada dalam kemiskina/tidak layak menurut data BPS Maret 2011 sebanyak 30,02 Juta 12,04% dari jumlah penduduk Indonesia 237,44 juta. Sedangkan tingkat pendidikan kita pada tahun 2011 masih rendah data dari UNDP berada pada peringkat ke 110 dari 179 negara di bawah Fhilipina. Urusan kemerdekaan dalam memeluk agama pun tidak sedikit permasalahan yang timbul, konflik horizon terjadi di beberapa daerah bahkan sampai menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Fakir miskin dan anak terlantar tahun demi tahun semakin  tinggi. Kita bisa membuktikan dipersimpangan/perempatan jalan begitu banyak pengemis dan anak-anak  putus sekolah berceceran di jalanan. Ini artinya Negara belum mampu memenuhi kewajibannya terhadap rakyatnya dan secara konstitusi rakyat dapat mencabut kembali mandatnya ketika sebagian besar haknya tidak bisa dipenuhi oleh penyelenggara pemerintah.

Melihat dan menganalisa permasalahan bangsa yang begitu komplek saat ini tentu bangsa ini membutuhkan dan mendambakan pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan minimal yang mendasar seperti yang tersebut di atas. Dalam artian dikotomi antara sipil, militer, dan konglomerat (pengusaha) atau muda-tua rasanya tidak menyelesaikan masalah bangsa. Bangsa ini mendambakan kolaborasi yang proporsional antara berbagai kalangan dalam memegang kendali kepemimpinan bangsa. Rakyat hanya ingin keadilan, keamanan, kesejahtraan, dan kemakmuran tak peduli siapapun yang tampil. Kembalinya tampuk kepemimpinan tahun 2004 ke kalangan militer menandakan kepercayaan rakyat kepada militer masih tinggi dan kondisi itu wajar dalam kehidupan Negara berkembang dimana faktor kepemimpinan masih menjadi instrumen utama dalam keberhasilan pengelolaan Negara. Di satu sisi kembalinya tampuk kepemimpinan bangsa kepada kalangan militer harus menjadi evaluasi akan ketidak siapan kalangan sipil dalam mengelola, mempertahankan kekuasan serta membuat rakyat sejahtera dan makmur.

Kolaborasi antara militer dan pengusaha pada kepemimpinan bangsa tahun 2004-2009 dan kolaborasi antara militer dan teknokrat pada kepemimpinan tahun 2009-2014 dapat memperlihatkan kepada kita contoh yang kecil akan efektifitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan pemerintah kaitannya dengan pemenuhan hak civil/konstitusi. Rakyat tentunya akan dapat melihat dan membandingkan secara nyata  kolaborasi manakah yang lebih ideal . Kita tentu tidak tahu kepemimpinan bangsa periode 2014-2019 akan dipegang oleh kolaborasi proporsional yang mana apakah pengusaha-militer, pengusaha-birokrat, atau militer-birokrat. Namun yang jelas harapan kita semua, siapapun yang memegang kendali ke depan mudah-mudahan pemimpin yang dinamis, adabtif, progresif dan produktif sehingga mampu dengan cepat dan tepat memenuhi hak konstitusi rakyatnya lebih-lebih membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan berwibawa.  

 

Penulis adalah Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *