Kamis, 25 April 2024

Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam

Kemunduran dunia Islam baik dalam lapangan keagamaan maupun politik dan peradaban pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia  sungguh meluas dan berlangsung beberapa abad. Umat Islam tertidur lelap dalam kejumudan dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah gerakan pembaruan fase kedua.

Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu (abad ke-18) ialah gerakan Wahabiah yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdil Wahhab di Nejd, Saudi Arabia. Nejd adalah daerah yang tergolong pedesaan dan menjadi sumber pasokan makanan bagi kota Mekkah, Madinah, dan Tha’if. Corak kehidupan desa sangat mewarnai alam pikiran Wahhab kecil. Kala itu, Nejd sesudah era Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin berada dalam kekuasaan dinasti Umayyah dan kemudian Abbassiah. Kehidupan umat kala itu, berada dalam suasana perpecahan aliran dan politik, sedangkan dalam kehidupan beragama juga mengalami penyimpangan dari akidah Islam yang murni. Dari pedesaan Nejd itulah lahir pembaru Muhammad bin Abdil Wahhab untuk pemurnian Islam.

Kehadiran gerakan pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab merupakan mata rantai dengan pembaruan sebelumnya yang dipelopori Ibn Taimiyah, juga dengan gerakan pembaruan sesudahnya yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain, di berbagai wilayah dunia muslim. Dalam rentang tahun 1258 usai kejatuhan Baghdad hingga tahun 1800 Masehi dunia Islam memang berada dalam kemunduran yang sangat serius dan meluas. Memang sempat lahir Ibn Taimiyah yang membangkitkan tajdid atau pembaruan fase pertama setelah era kemunduran itu berlangsung, tetapi setelah itu umat Islam benar-benar mengalami kejatuhan sampai kemudian lahir gerakan pembaruan abad ke-18 Masehi.
Pada rentang abad yang panjang itu, Islam dan umat Islam memang mundur. Apalagi setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti Ustmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800 Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat Islam benar-benar jatuh ke lembah kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di Andalusia umat Islam bahkan dipaksa masuk Kristen. Sementara di jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India Islam mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik kemusyrikan, bid‘ah, dan tahayul sebagai akibat dari semakin menjauhnya spirit Islam dari sumbernya yang aseli serta pengaruh praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang kian mekar juga ikut memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan spirit ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi‘ah juga kian meluas di tengah terpuruknya dunia Islam dalam lapangan politik dan pemerintahan. Sementara taklid kian meluas dan pintu ijtihad ditutup rapat, sehingga umat Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran.

Dalam kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu, lahir gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abdil Wahhab di jazirah Arab, yang tekananya lebih pada pemurnian ajaran Islam dengan corak gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil Wahhab ingin mengembalikan Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn Taimiyah dan para pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan ini Muhammad Ibn Abdil Wahhab boleh dikatakan sebagai pelanjut pembaruan Ibn Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang lebih praktis bahkan keras. Artinya, gerakan untuk mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber ajarannya semata yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap praktik-praktik syirik dan bid’ah yang meluas kala itu secara langsung dan keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan kuburan yang dikeramatkan.

Muhammad Ibn Abdil Wahhab lahir di daerah Uyainah di wilyah Nejd (Nejed) pada tahun 1115 H/1707 M dan wafat tahun 1206 H/1792 M di kota yang sama. Dia putra dari seorang hakim dan ulama ternama di kota Uyainah, dan dalam usia dini sudah hafal Al-Qur’an dan belajar agama dari ayahnya. Setelah belajar ilmu agama secara mendalam, Wahhab menjadikan Ibn Taimiyah sebagai rujukan pemikirannya, terutama dalam bidang tauhid, serta menyandarkan fikihnya pada Imam Ibn Hanbal. Dia berusaha keras untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf al-Shalih, terutama untuk “tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah”, memurnikan akidah Islam. Di antara karya-karyanya ialah Kitab Tauhid, Kasyf asy-Syubuhat, Kitab al-Kabair, Kitab al-Iman, Mukhtashar Inshaf, asy-Syahr al-Kabir, dan Mukhtashar Sirah Ibn Hisyam (Ahmad Al-Usairy, 2007: 383).

Muhammad bin Abdil Wahhab sempat berkelana dan menimba ilmu ke Madinah, Makkah, Basrah, dan Persia, untuk kemudian kembali ke kota kelahirannya dengan semangat kemarahan terhadap praktik-praktik Islam yang dinilainya penuh penyimpangan. Sejak kepulangan dari pengelanaannya di sejumlah daerah di luar Nejd, Muhammad bin Abdil Wahhab bergelora untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran Islam yang murni atau aseli (Stoddard, ibid.: 31), yakni Islam sebagaimana dipraktikkan sejak zaman Nabi hingga generasi sahabat dan tabi‘in pada abad ke-3 Hijriyah (Nasution, 2001: 17). Pemuda dari Nejd ini benar-benar gundah menyaksikan praktik-praktik Islam terutama di bidang akidah di daerah-daerah yang dikunjunginya banyak dicemari oleh kemusyrikan, pemujaan terhadap para wali, dan pengeramatan kuburan-kuburan.

Muhammad Ibn Abdil Wahhab juga prihatin dengan taklid yang menimpa umat Islam kala itu, dan menggelorakan kembali dibukanya pintu ijtihad, kendati untuk gerakan ini tidak begitu menonjol sebagaimana Ibn Taimiyah dan pembaru sesudahnya, karena tekanan Wahhab tampaknya jauh lebih ke gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang bersifat pemurnian. Pada saat itu umat Islam selain banyak mempraktikkan syirik, bid‘ah, dan tahayul/khurafat; serta berkembangnya tasawuf yang dipandang mencemari kemurnian tauhid dan memperlemah vitalitas hidup kaum muslimin. Wahhab bahkan sangat gundah dengan penyimpangan aqidah umat Islam itu. Dalam kaitan inilah corak pembaruan yang bersifat pemurnian menjadi fokus utama pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab.
Pandangan Muhammad Ibn Abdil Wahhab tentang tauhid dan aspek-aspek lain yang bertumpu pada “ruju ila Al-Qur’an wa al-Sunnah” yang bercorak pemurnian yang cukup keras berkisar pada hal-hal berikut ini: (1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah Tuhan selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh; (2) Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan ghaib, orang yang demikian juga telah menjadi musyrik; (3) Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirk; (4) Meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik; (5) Bernazar selain dari Tuhan juga syirik; (6) Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadist, dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran; (7) Tidak percaya kepada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran; (8) Demikian pula menafsirkan Al-Qur’an dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur (Nasution, 2001: 16-17).
Dengan gerakan pemurnian dan pemikiran-pemikirannya yang keras itu maka Mumammad Ibn Abdil Wahhab melakukan tindakan-tindakan yang keras, lebih-lebih setelah dirinya bergabung atau bekerjasama dengan Pangeran Muhammad bin Su’ud pada tahun 1157 H/1744 M yang di kemudian hari melahirkan dinasti atau rezim pemerintahan Saudi Arabia yang berdiri pada tahun 1139 H/1737 M – 1179 H/1765 M hingga saat ini. Kerjasama dengan dinasti Su’udiyah memberikan topangan kekuatan bagi Muhammad bin Abdil Wahhab terutama dalam melawan pihak-pihak yang menentang gerakannya yang keras. Termasuk dalam menopang gerakan menghancurkan bangunan kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagian umat Islam saat itu baik di Medinah, Nejd, dan sekitarnya maupun di luar itu seperti di Najef (kuburan Ali) dan Karbala (kuburan Hussein) yang dikeramatkan kaum Syi‘ah. Tak kecuali, membongkar kubah kuburan Nabi di Madinah (Stoddard, ibid.: 34).

Sejak persekutuan atau perjanjian kerjasama itulah, gabungan antara pemurnian Muhammad bin Abdil Wahhab dan ekspansi kekuasaan Saudiyah di bawah Pangeran Su’ud, melahirkan gerakan Wahhabiah yang selain melakukan perluasan kekuasaan Saudi Arabia ke wilayah-wilayah lain juga melakukan pemberantasan terhadap praktik-praktik keagamaan yang dipandang syirk, bid’ah, tahayul, dan khurafat dengan tegas dan keras. Ekspansi kekuasaan Su’udiyah juga memperoleh legitimasi untuk membendung ekspansi dinasti Ustmaniyah Turki yang dipandangnya mengancam masyarakat Arab sekaligus membawa praktik-praktik Islam yang tidak murni lagi. Sejak itu pula kota suci Makkah dan Madinah atau Saudi Arabia menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran Wahhabiah ke seluruh penjuru dunia Islam dengan corak Islam “murni” yang tegas dan keras itu.

Dalam analisis Mukti Ali (1990: 333-334), gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab merupakan “usaha pemurnian yang keras dan sederhana. Misinya langsung, yaitu kepada Islam klasik. Ia menolak kerusakan dan kelonggaran yang terdapat dalam kehidupan Islam waktu itu. Ia menolak kehangatan batin dan keshalihan tasawuf. Ia menolak intelektualisme bukan hanya dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu kalam. Ia menolak semua karena semata-mata menekankan kepada hukum. Hukum klasik yang diikuti oleh Wahabiah adalah langsung, kaku, mengikuti madzhab Hanbali dengan dibersihkan dari segala macam bid‘ah yang terjadi dalam perjalanan sejarahnya. Mengikuti hukum secara penuh, keras dan utuh dan mendirikan masyarakat di mana hukum itu berjalan itulah Islam, dan lainnya adalah salah”.
Dengan watak dan orientasi gerakan pemurniannya yang keras dan sederhana itulah, dan setelah bekerjasama dengan dinasi Su’ud, maka Wahhabiah berkembang menjadi aliran gerakan Islam yang menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, lebih-lebih melalui prosesi ibadah haji di mana seluruh umat Islam berdatangan ke dua kota suci (Makkah dan Madinah) tempat Wahhabiah itu lahir dan tumbuh. Di Indonesia istilah Wahhabi bahkan melekat dengan corak Islam yang keras itu, lebih-lebih melalui gerakan Paderi di Sumatra Barat. Muhammadiyah dengan gerakan memberantas “TBC” (tahayul, bid‘ah, dan churafat) di masa lalu juga sering diidentikkan dengan gerakan Wahhabi itu, kendati Kiai Haji Ahmad Dahlan tidak mirip gerakan dan pemikirannya dengan Muhammad bin Abdil Wahhab dan lebih dilekatkan dengan Muhammad Abduh pembaru dari Mesir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *