Selasa, 07 Mei 2024

Muhammadiyah Sebagai Katalisator Demokrasi

Baharuddin, S.Pd.,M.Pd.

(Komisioner KPU Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan)

Demokrasi di Indonesia menjadi tema perbincangan yang cukup hangat beberapa waktu terakhir. Apalagi Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) pada 17 April 2019 lalu. Bagi masyarakat Indonesia, kesuksesan Pemilu 2019 merupakan prestasi tersendiri dalam membangun sistem demokrasi. Indonesia termasuk satu diantara banyak negara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Penerapan sistem demokrasi ditengah penduduk mayoritas beragama Islam seperti Indonesia menjadi hal unik ditengah fenomena skeptisme pemikiran yang menganggap bahwa antara Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang bertentangan. Sebagaimana menurut Abdul Mu`ti (2020), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahwa Islam Indonesia menjadi komoditas Islam yang paling seksi. Bahkan sering menjadi objek penelitian baik dalam konteks strategis, politis maupun relasi negara lain. Diawal reformasi misalnya, ada kekhawatiran dari para peneliti tentang kaitan Islam dengan demokrasi, HAM, dan gender. Tapi karena terbukti Islam Indonesia tidak bermasalah, kekhawatiran kemudian bergeser tema-tema populis lainnya, anggap saja misalnya terorisme, radikalisme dan sejenisnya.

Mu`ti kemudian menguatkan argumennya dengan menjadikan negara Timur Tengah sebagai contoh. Negara di Timur Tengah yang notebene mayoritas beragama Islam belum mampu menciptakan stabilitas bagi negaranya. Mereka justru berdarah-darah dalam menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Bagi Mu`ti umat Islam di Indonesia jelas memiliki formulasi khusus dalam memediasi antara Islam dan demokrasi. Toleran, kerukunan dan moderasi adalah beberapa variabel yang mampu mensinergikan antara Islam dan demokrasi.

Oleh para founding father, nilai-nilai demokrasi telah dipandang sejalan dengan ajaran Islam khususnya yang bersinggungan dengan aspek syura (musyawarah). Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999) yang dikutip oleh Hajriyanto Y. Thohari (2019), berkat prinsip syura (musyawarah) yang begitu fundamental dalam Islamlah (Qs Asy-Syuura [42]: 38), maka penerimaan umat Islam akan demokrasi modern sangat alami. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang sangat berpengaruh, dalam Fatawa Mu’ashirah (1988) juga menegaskan bahwa “Esensi demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islamiyah.” Bahkan, secara dramatis, Qardhawi menyebut demokrasi sebagai barang hilangnya umat Islam.

Muhammadiyah dan Demokrasi

Usia Muhammadiyah kini telah memasuki abad kedua.Lebih seabad lamanya Muhammadiyah telah hadir merawat Nusantara. Kiprah Muhammadiyah di negara demokrasi ini memang tidak diragukan lagi. Peran dan kontribusi tersebut tidak hanya sebatas pada pelayanan sosial melalui jalur pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penyantunan terhadap kaum miskin, namun berkontribusi dalam bidang politik. Kontribusi politik para tokoh Muhammadiyah tersebut setidaknya dapat dilacak melalui peran Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan pandangan kebangsaan Pancasila. Tidak hanya Ki Bagus, ada nama Jenderal Soedirman, Kasman Singodimejo, dan sederet tokoh lain yang tercatat dalam lembaran sejarah menyumbangkan ide dan aksi untuk kegiatan politik kebangsaan.

Muhammadiyah sebagai bagian dari tim perumus dasar negara Indonesia memiliki pandangan khusus terkait demokrasi. Bagi Muhammadiyah, demokrasi merupakan sistem politik yang dikategorikan dalam wilayah muamalah duniawiyah, dan itu merupakan salah satu kategori dalam rumusan agama yang dipahami oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah berpedoman kepada tuntunan Rasulullah Muhammad Shallallahu `Alaihi Wasallam yang mengatakan bahwa “Kamu lebih memahami dalam urusan dunia itu.” Sehingga dengan demikian dalam konteks tersebut menurut Muhammadiyah dari aspek ushul fiqih pesan tersebut mengisyaratkan diperbolehkannya berdemokrasi (Abdul Mu`ti, 2014).

Atas pemikiran tersebut, Muhammadiyah menganggap demokrasi merupakan suatu bentuk sistem politik yang dijalankan sesuai asas permusyawaratan. Menurut Muhammadiyah muamalah duniawiyah seperti demokrasi bukan suatu bentuk sistem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena secara historis agama Islam pada zaman dahulu juga mengajarkan bermusyawarah dalam menentukan pemimpin.

Keunikan dan konsistensi atas pandangan dan sikap Muhammadiyah terhadap sistem demokrasi menjadi daya tarik bagi Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada yang kemudian melahirkan buku yang berjudul Dua Menyemai Damai: Peran dan Konstribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi. Buku yang ditulis oleh Muhammad Najib Azca, Hairus Salim, Moh. Zaki Arrobi, Budi Asyhari, dan Ali Usman ini memberikan gambaran tentang capaian Islam Indonesia yang direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam membangun dan mengukuhkan perdamaian dan demokrasi.

Menurut penilaian Muhammad Najib Azca, selaku Direktur PSKP UGM, Muhammadiyah dan NU menjadi pilar Islam berperadaban yang memegang peranan penting dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. Organisasi ini memiliki kekuatan struktural dari pusat sampai ke ranting, selain juga sayap kultural yang kaya dan bertebaran di seluruh penjuru. Azca menyebut Islam Indonesia sebagai smiling face of islam in the world. Indonesia juga menjadi negara Muslim demokratis terbesar di dunia. Penulis lain, Muhammad Zaki Arrobi bahkan menjelaskan tentang beberapa peranan Muhammadiyah sebagai juru damai. Muhammadiyah aktif mendorong reformasi damai dan mengawal transisi demokrasi berkeadaban. Suksesi tersebut sudah dibahas di internal organisasi sejak Tanwir 1993 di Surabaya (Suara Muhammadiyah, 2019).

Muhammadiyah juga terlibat dalam resolusi konflik di era transisi demokrasi dengan membuat tim mediasi dalam pertikaian di Ambon, Poso, Papua, dan Aceh. Demikian halnya di ranah internasional melalui forum dialog dan konsolidasi. Diantaranya melalui World Peace Forum yang rutin diadakan oleh CDCC. Misi perdamaian di Mindanao, Filipina juga dilakukan Muhammadiyah dengan membuat tim ad hoc. Tidak hanya itu, Muhammadiyah juga melakukan pemberdayaan ekonomi melalui pendirian Baitul Maal wa Tamwil (BMT), hingga pemberian beasiswa penuh bagi korban konflik untuk berkuliah di beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Demikian halnya melalui institusi pendidikannya, Muhammadiyah juga menjadi juru damai. Melahirkan varian Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia Timur yang peserta didiknya adalah umat Kristiani. Muhammadiyah bahkan menyediakan guru beragama Kristen untuk mengajar di institusi tersebut.

Bukan hanya menjadi perhatian para peneliti dalam negeri, demokrasi yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah pun menjadi perhatian peneliti luar negeri. Misalnya seorang peneliti sekaligus Profesor Antropologi asal Kangwon National University Korea Selatan, Hyung-Jun Kim (2017) yang meneliti tentang nilai-nilai demokrasi yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah. Dari hasil kajiannya, Kim menemukan fakta unik tentang tradisi demokrasi dalam Muhammadiyah. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dinilai sebagai salah satu organisasi paling demokratis dan berbeda dengan banyak organisasi keagamaan lainnya. Dari Muhammadiyah, Kim menemukan fakta bahwa antara demokrasi dan Islam sebenarnya bisa sejalan. Menurut Kim, di Muhammadiyah tidak ditemukan pengkultusan pada sosok tertentu. Demikian halnya pimpinan di Muhammadiyah tidak terlalu dimunculkan sikap kharisma yang berlebihan. Kesimpulan Kim yang demikian adalah hasil penelitian dari serangkaian peristiwa penting di Muhammadiyah. Mulai dari muktamar ke muktamar hingga ketika ada peristiwa semacam Pemilihan Presiden yang melibatkan tokoh Muhammadiyah pada tahun 2004.

Temuan menarik Hyun Jun Kim tentang tradisi demokrasi di Muhammadiyah ini didasarkan pada empat unsur. Pertama, sistem pemilihan pemimpin di Muhammadiyah sangat terbuka dan demokratis. Sejak awal, Muhammadiyah telah menerapkan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial. Kedua, cara merumuskan suatu keputusan. Dalam tradisi Muhammadiyah terjadi sistem musyawarah berjalan secara alami dan sangat teratur. Semua orang punya hak (bicara) yang sama. Semua equal dalam mengeluarkan opini. Ketiga, sistem otonomi dan hierarkis yang unik.

Kim mencontohkan tata cara pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). AUM dibangun secara swadaya dan diberi nama Muhammadiyah. Setelah AUM tumbuh, justru pimpinan Muhammadiyah meminta sumbangan dari AUM. Sementara yang menunjuk pimpinan AUM adalah pimpinan Muhammadiyah, baik Pimpinan Cabang Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah, maupun Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Keempat, sikap egaliter. Semua menganggap orang lain sebagai kawan. Kim sering menemui pimpinan Muhammadiyah bergaul sangat akrab dengan sopir dan tukang sapu. Demikian halnya hubungan antar pimpinan dan anggota Muhammadiyah juga sangat tidak berjarak. Sikap egaliter ini sangat Islami. Bahwa yang membedakan manusia di sisi Tuhan adalah ketaqwaan.

Muhammadiyah sebagai Katalisator Demokrasi

Muhammadiyah adalah organisasi massa berbasis keagamaan. Muhammadiyah bukan organisasi politik apalagi politik praktis, akan tetapi bukan berarti Muhammadiyah buta politik. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana wujud kontribusi Muhammadiyah dalam bidang politik? Tentu model kotribusi politiknya harus sesuai dengan fatsun Muhammadiyah, yaitu menjalankan politik tinggi (high politics), sebagaimana khittah perjuangan Muhammadiyah.

Menurut Haedar Nashir (2017), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah tidak mencampuri soal-soal politik, tetapi apabila soal-soal politik itu masuk dalam Muhammadiyah, atau pun soal-soal politik mendesak-desak urusan Agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak menurut kemampuan, cara, dan irama Muhammadiyah sendiri.

Muhammadiyah bersama dengan Organisasi Otonomnya (Ortom) sejak Republik ini terbentuk telah konsen dalam mengawal nilai-nilai demokrasi yang termanifestasikan dalam sila-sila Pancasila. Pemuda Muhammadiyah misalnya, salah satu Ortom Muhammadiyah yang lahir pada tanggal 02 Mei 1932 senantiasa hadir untuk memastikan demokrasi di Indonesia berjalan sesuai koridor. Salah satu wujud kehadiran kader Pemuda Muhammadiyah dalam mengawal jalannya demokrasi di Indonesia adalah dengan terlibat dan menghimpunkan diri dalam aliansi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Kader Pemuda Muhammadiyah cukup massif mengaktifkan diri melalui JPPR disemua level. Bahkan Ketua JPPR Pusat Periode 2017-2019 adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Sunanto.Salah satu fungsi JPPR adalah mengawal proses Pemilihan Umum terlaksana secara konstitusional dan demokratis.

Sebagai contoh, ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2018 lalu, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah mengeluarkan maklumat khusus untuk memastikan proses Pilkada dapat berlangsung secara demokratis. Pemuda Muhammadiyah berkomitmen penuh untuk terus menggembirakan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berwatak Pancasila bersesuaian dengan nilai-nilai Islam, dimana akal sehat dan akhlak baik selalu menjadi alat utama untuk menjalaninya. Oleh sebab itu, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menyampaikan  beberapa maklumat kepada seluruh kader Pemuda Muhammadiyah diseluruh Indonesia untuk dipahami dan dipatuhi.

Maklumat Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah No. 1.8/1273/1439 tentang Pilkada Langsung Serentak Tahun 2018 dengan tema “Menggembirakan Demokrasi” yang ditandatangani oleh Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Periode 2014-2018 , Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, S.E.,M.E. pada  tanggal 21 Juni 2018 berisi enam penegasan, yakni: (1) Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah meminta seluruh kader Pemuda Muhammadiyah berperan aktif memastikan Pilkada langsung serentak berjalan dengan aman dan nyaman serta menggembirakan kehidupan sosial politik di Indonesia; (2) Seluruh kader Pemuda Muhammadiyah di seluruh Indonesia yang daerahnya sedang melaksanakan Pilkada langsung, diharapkan ikut memilih dan setiap kader memiliki kebebasan untuk memilih kandidat kepala daerah yang bersesuaian dengan nilai-nilai kemaslahatan untuk umat.

Selanjutnya maklumat (3) Untuk menjaga komitmen netralitas Pemuda Muhammadiyah, Etika organisasi Pemuda Muhammadiyah adalah, tidak dibenarkan siapa pun mengatasnamakan institusi Pemuda Muhammadiyah untuk mendukung salah satu kandidat kepala daerah; (4) Dimaklumatkan kepada seluruh kader Pemuda Muhammadiyah agar secara aktif melawan dan menolak praktik-praktik politik uang, intimidasi, kampanye hitam serta fitnah dalam kompetisi politik yang sedang berlangsung didaerah masing-masing; (5) Tidak memilih calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak buruk dalam seperti terlibat kasus korupsi, amoral, dan miskin keberpihakan kepada rakyat miskin (mustad’afin); dan (6)Seluruh kader Pemuda Muhammadiyah dimasing-masing daerahnya, harus terus menebar watak menggembirakan keberagaman dan demokrasi, pilihan dan sikap politik sangat boleh berbeda, namun ukhuwah (persaudaraan) melalui silahturahim antar sesama anak bangsa harus terus dijaga.

Demikian pula halnya ketika perhelatan Pemilu 2019 usai digelar pada tanggal 17 April 2019 lalu, sempat terjadi polarisasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bahkan telah berpotensi mengakibatkan perpecahan di masyarakat sebagai imbas dari pelaksanaan Pemilu 2019. Menyikapi itu, Pemuda Muhammadiyah kembali mengambil bagian dengan mengeluarkan pernyataan resmi yang berisi ajakan yang ditujukan kepada seluruh kader Pemuda Muhammadiyah di Indonesia. Keempat ajakan tersebut yakni: (1) Mengajak kepada seluruh umat Islam di Indonesia untuk menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah di tengah perbedaan pandangan dan pilihan politik; (2) Mendukung secara moril dan ikut mengawasi kerja Penyelenggara Pemilu Tahun 2019 dan Instansi terkait dalam menyelesaikan tahapan Pemilu dengan profesional, jujur, independen, transparan, adil dan berintegritas; (3) Mengajak seluruh Rakyat Indonesia untuk menahan diri dan menghormati proses perhitungan yang sedang dilaksanakan oleh KPU serta menerima penetapatan Pleno Rekapitulasi hasil Pemilu 2019 oleh KPU RI pada akhir Mei 2019 dan mendorong penggunaan jalur hukum dan konstitusi apabila terdapat sengketa pemilu; dan (4) Mengajak seluruh Rakyat Indonesia untuk memegang teguh Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai pedoman dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara.

Wujud lain dari kontribusi Pemuda Muhammadiyah dalam mendukung sistem demokrasi di Indonesia adalah dengan mendorong kadernya terlibat sebagai penyelenggara Pemilu, baik melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada semua level, dari level kabupaten/kota hingga level nasional. Ada ribuan kader Pemuda Muhammadiyah se Indonesia tercatat sebagai Komisioner KPU maupun Bawaslu. Bahkan menurut Elly Oschar (2020), Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Provinsi Sulawesi Selatan, mayoritas Komisioner KPU dan Bawaslu di 24 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan adalah kader muda Muhammadiyah. “Setidaknya ada sekitar 70 persen kader muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan saat ini menjabat sebagai Komisioner KPU dan Bawaslu di 24 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan.”

Referensi:

 

Kim, H.J. 2017. Antropolog Korea Kagumi Tradisi Demokrasi di Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah (Online), (http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/08/12/antropolog-korea-kagumi-tradisi-demokrasi-di-muhammadiyah/), diakses 21 Februari 2020.

Mu`ti, A. 2014. Demokrasi Dalam Pandangan Muhammadiyah (Online), (https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/index.php/s13-berita/demokrasi-dalam-pandangan-muhammadiyah/), diakses 24 Februari 2020.

Mu`ti, A. 2020. Kesehatan Demokrasi Indonesia Ditopang oleh Moderasi Umat Muslim (Online), (http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-18259-detail-kesehatan-demokrasi-indonesia-ditopang-oleh-moderasi-umat-muslim.html),diakses 24 Februari 2020.

Oschar, E. 24 Februari 2020. Komunikasi Personal.

Pernyataan PP Pemuda Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah (Online), (http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/02/milad-ke-87-berikut-pernyataan-pp-pemuda-muhammadiyah/), diakses 21 Februari 2020.

Suara Muhammadiyah. 2019. Sumbangan Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi (Online). (http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/01/17/sumbangan-muhammadiyah-dan-nu-dalam-perdamaian-dan-demokrasi/), diakses 20 Februari 2020.

Thohari, H.Y. 2019. Demokrasi Atau Demosyurakrasi?(Online) (http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/07/02/demokrasi-atau-demosyurakrasi/), diakses 24 Februari 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *