Senin, 06 Mei 2024

Orang Islam Wajib Shadaqah (1)

“Setiap muslim wajib bershadaqah”, para sahabat bertanya: “bagaimana kalau ia tidak mempunyai sesuatu untuk dishadaqahkan?” Nabi menjawab: “hendaklah ia bekerja hingga ia dapat mencukupkan kebutuhannya sendiri dan dapat pula bershadaqah”; para sahabat bertanya lagi: bila ia tidak dapat bekerja bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menolong orang yang memerlukan pertolongan. Para sahabat bertanya pula: bila ia tidak juga bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menyuruh orang lain berbuat yang baik. Para sahabat masih bertanya lagi: bila beramar ma’ruf pun ia tidak dapat, bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menahan diri dari keburukan; sungguh menahan diri dari keburukan itu merupakan shadaqah” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan an-Nasaai dari Abu Musa al-Asy’ari ra).

 

Macam-macam Bentuk Shadaqah

Rasulullah SAW menegaskan, dalam hadits ini, bahwa shadaqah merupakan kewajiban atas setiap muslim. Melihat pentingnya kewajiban shadaqah seperti disabdakan Nabi itu, para sahabat merasa perlu penjelasan lagi dengan bertanya kepada Rasulullah SAW, sampai tuntas, agar jangan sampai tidak dapat menunaikan kewajiban shadaqah itu.

Rasulullah melayani dengan sabar pertanyaan para sahabat yang memang ingin memperoleh bagian agar dapat bershadaqah dengan berbagai kemungkinan yang ada dalam diri masing-masing. Maka, diterangkan oleh Nabi berturut-turut: bila seseorang tidak mempunyai harta untuk shadaqah, tetapi mampu bekerja, hendaklah ia bekerja. Hasilnya dapat digunakan untuk mencukupkan kebutuhan diri sendiri dan selebihnya dapat digunakan untuk bershadaqah. Namun, apabila bershadaqah dengan harta benar-benar tidak mampu, supaya orang bershadaqah dengan memberikan jasa berupa bantuan tenaga kepada orang yang memerlukannya. Bila shadaqah berupa bantuan tenaga itupun tidak mampu juga, hendaklah bershadaqah dengan lisannya, yaitu mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan mencegah orang lain dari perbuatan munkar. Kalau untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar ini masih tidak mampu juga, hendaklah ia menahan diri dari perbuatan buruk. Jadi, menahan hawa nafsu agar tidak sampai melakukan keburukan adalah termasuk salah satu macam shadaqah.

Sekiranya yang bernilai shadaqah itu  hanya berupa memberi harta kepada orang lain, niscaya akan menyebabkan kecil hati bagi kaum muslimin yang tidak mampu. Rasa kecil hati itu pernah dialami oleh para sahabat yang tidak mampu, ketika melihat sahabat lain yang mampu bershadaqah dengan harta mereka. Oleh Rasulullah SAW kemudian dijelaskan bahwa membelanjakan harta bukanlah satu-satunya shadaqah, meski­pun yang terutama sekali dituju adalah kerelaan hati membelanjakan harta yang diperolehnya dengan susah payah itu untuk orang lain, setelah kebutuhan sendiri dicukupkan.

Shadaqah juga dapat berupa menyelesaikan perselisihan antara dua orang dengan cara adil; shadaqah dapat pula berupa menolong orang untuk mengendarai kendaraannya. Dapat pula berupa menolong mengangkatkan barang orang ke atas kendaraannya. Bahkan, shadaqah dapat pula berupa kalimah thayyibah yang diucapkan seseorang. Langkah seseorang pergi ke masjid untuk melakukan shalat jamaah juga dipandang sebagai shadaqah. Menyingkirkan gangguan dari jalan juga disebut shadaqah.

Demikian luas arti shadaqah yang disebutkan Rasulullah itu, hingga tidak mungkin ada orang yang terhindar dari kewajiban shadaqah sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas. Menyebutkan macam-macam perbuatan yang bernilai shadaqah itu sejalan benar dengan ketentuan bahwa bershadaqah adalah wajib atas setiap orang Islam.

 

Shadaqah dengan Harta

Perintah shadaqah dengan harta antara lain disebutkan dalam QS al-Munafiquun ayat 10 yang menekankan agar orang menyedekahkan harta bendanya yang berasal dari pemberian Allah itu sebelum berpulang ke Rahmatullah. Orang yang tidak menggunakan kesempatan pada waktu hidupnya untuk bershadaqah kelak pasti akan menyesal, karena menyaksikan betapa besar pahala shadaqah yang diberikan kepada mereka yang menggunakan kesempatan hidupnya untuk melaksanakan perintah shadaqah.

وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَـٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ قَرِيبٍ۬ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ -١٠

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, agar aku dapat bersedekah sehingga aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS al-Munafiqun: 10)

Shadaqah dengan harta membawakan keuntungan bagi yang bershadaqah, baik di dunia maupun di akherat nanti. Keuntungan di dunia berupa ganti rejeki yang lebih besar, sebagaimana dijanjikan Allah dalam firmannya:

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَىۡءٍ۬ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۖ ۥ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٲزِقِينَ -٣٩

“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya”. (QS Saba’: 39)

Sebuah hadist dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW mengajarkan:

“Setiap pagi ada dua malaikat yang turun di langit dunia untuk memanjatkan doa kepada Allah yang satu berdoa: Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang mau membelanjakan hartanya. Yang lain memanjatkan doa: Ya Allah, berikanlah kerusakan pada orang yang tidak mau membelanjakan hartanya”. (HR Bukhari Muslim)

Hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

Allah Azza Wajalla berfirman: “Belanjakanlah hartamu, Aku akan memberi belanja kepadamu”, Rasulullah SAW bersabda pula, “Tangan Allah penuh, tidak berkurang karena dinafkahkan, amat banyak pemberiannya baik pada waktu malam maupun siang hari”. Nabi berkata lagi: “Beritahukanlah kepadaku apa saja yang dibelanjakan Allah sejak menciptakan langit dan bumi, sungguh hal itu tidak mengurangi kekayaan Allah sama sekali; singgasana Allah di atas air; di tangan Allah pulalah timbangan keadilan; Allah merendahkan orang yang dikehendaki dan mengangkat orang yang dikehendaki pula (melapangkan rejeki orang yang dikehendaki dan mempersempit rejeki orang yang dikehendaki pula)”.  (HR Bukhari Muslim)

Demikianlah beberapa ayat al-Quran dan hadist Nabi SAW mengajarkan bahwa bershadaqah itu akan membawakan keuntungan duniawi yang bersifat materiil kepada orang yang bershadaqah. Apa yang dishadaqahkan pasti akan memperoleh ganti dari Allah SWT dengan berlipat ganda.

Selain keuntungan duniawi yang bersifat materi, shadaqah dapat juga mendatangkan keuntungan yang bersifat maknawi, sebagaimana diajarkan dalam hadist Nabi SAW riwayat Turmudzi dari Muaz bin Jabal RA:

Dan shadaqah itu menghapus kesalahan seperti air memadamkan api.

Keuntungan ukhrawi daripada shadaqah antara lain dinyatakan dalam hadist Nabi SAW riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Adiy bin Abi Hatim RA:

Jagalah dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan shadaqah berupa sepotong tamar.

Masih banyak hadist yang dapat disebutkan yang menggembirakan shadaqah. Hal ini dapat dimengerti, karena shadaqah yang merupakan pelepasan harta untuk kepentingan orang lain itu merupakan hal yang amat berat bagi jiwa manusia. Ayat-ayat al-Quran menegaskan bahwa manusia berwatak amat cinta kepada harta benda; manusia amat senang mengumpulkan harta benda; manusia dalam hidupnya dihiasi dengan berbagai macam keinginan antara lain berupa keinginan memiliki harta benda, emas perak dengan sebanyak-banyaknya, manusia dikodratkan berwatak kikir; sekiranya kepada manusia diberikan khazanah rahmat Allah, niscaya ia tidak akan membelanjakannya, karena khawatir akan habis.

 

Shadaqah yang Utama

Bershadaqah mempunyai nilai bertingkat-tingkat. Hadist Nabi SAW riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA menerangkan, seseorang datang kepada Rasulullah bertanya tentang shadaqah yang paling besar pahalanya. Dijawab Nabi, “bahwa kamu bersedekah di waktu sehat dan amat sayang terhadap hartamu dan dalam waktu sama takut fakir dan mengharapkan kekayaan; jangan kamu tangguhkan bershadaqah sampai kamu hampir mati, baru mengatakan untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian, padahal sebenarnya harta tersebut telah menjadi hak si fulan”.

Al-Quran surat Ali Imran ayat 92 mengajarkan bahwa kita hanya akan memperoleh nilai kebaikan yang sebenarnya apabila bersedia membelanjakan sesuatu yang masih kita sukai.

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ‌ۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬ -٩٢

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran 92)

 

Batasan Kelebihan Harta

Sampai pada batas manakah harta dapat dikatakan telah merupakan kelebihan dari kebutuhan seseorang dan orang-orang yang menjadi tanggungannya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat relatif. Dalam kehidupan seperti yang berlaku pada zaman Nabi, kebutuhan hidup digambarkan dalam hadist Utsman riwayat Turmudzi dan Hakim: bahwa hak seseorang dalam hidup ini hanya terbatas memenuhi kebutuhan rumah untuk tempat tinggal, pakaian untuk menutup aurat, dan makanan serta minuman sehari-hari. Berdasar atas atas kebutuhan hidup pada masa Nabi itu, maka selebihnya dari kebutuhan primer itu telah merupakan kelebihan yang harus disedekahkan.

Apabila ukuran dalam hadist Utsman tersebut kita pegang teguh pada saat sekarang ini, tentu akan mudah menimbulkan tuduhan bahwa Islam tidak memberikan kesempatan untuk menikmati kehidupan melebihi dari kebutuhan-kebutuhan primer, padahal selain papan, sandang, dan pangan dalam perkembangan hidup manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang relatif dapat digolongkan kebutuhan primer seperti pendidikan, alat-alat pembantu seperti kendaraan, surat kabar, majalah, dan mungkin juga radio, televisi, pesawat telepon dan sebagainya.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa untuk menentukan batas kelebihan kebutuhan hidup itu amat relatif, maka untuk memudahkan memperoleh ketentuan umum dalam hal ini dapat diambil ajaran dari ayat 67 surat al-Furqan yang menyebutkan sebagian sifat ibaadurrahman ialah yang apabila membelanjakan harta tidak melebihi kebutuhan dan pula tidak kurang dari keperluan, tengah-tengah antara keduanya.

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَڪَانَ بَيۡنَ ذَٲلِكَ قَوَامً۬ا -٦٧

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS al-Furqan 67)

 

Mengukur Kebutuhan

Kebutuhan orang dapat diukur dengan kedudukannya dalam masyarakat. Kebutuhan seorang guru tidak sama dengan seorang buruh penunggu toko, kebutuhan seorang penjaga kantor tidak sama dengan kebutuhan kepala kantor dan sebagainya. Jangan berkecenderungan kepada hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Cukuplah kebutuhan yang wajar, selebihnya dapat termasuk kelebihan yang terkena wajib shadaqah.

Pada akhirnya, apakah seseorang dalam mencukupkan hidupnya termasuk wajar atau berlebih-lebihan, amat bergantung pada bisikan hati nuraninya yang dijiwai dengan iman kepada Allah dan Hari Akhir serta kesadaran akan fungsinya dalam hidup ini, yaitu hidup yang diliputi suasana pengabdian atau beribadah kepada Allah SWT baik dalam mencukupi kebutuhan diri sendiri, kebutuhan keluarga maupun tanggung jawab sosialnya.

Misalnya apabila seseorang akan membeli perhiasan yang dalam Islam dibolehkan. Perhiasan berharga berapa yang boleh dibeli, untuk dapat dikatakan wajar, tidak berlebihan, tidak bermewah-mewahan, amat sukar diperoleh ukuran berapa besar kemampuan orang yang akan membeli perhiasan itu, tetapi juga masih harus dikaitkan dengan kewajiban sosialnya yang wajib diperhatian bagi orang yang memiliki harta benda.

Orang yang membeli cincin bermata jamrut seharga satu juta rupiah, di tengah masyarakat yang kurang tempat pendidikan, di tengah masyarakat yang sebagian besar untuk mencukupkan kebutuhan makan sehari-hari saja tidak dapat terpenuhi, akan dinilai tidak mempunyai rasa tanggung jawab sosial.  Ia telah mengabaikan kewajibannya terhadap masyarakat karena membelanjakan harta untuk membeli perhiasan tersebut. Bila diukur dengan ajaran Islam yang menyangkut fungsi hak milik yang berfungsi sosial hal itu akan merupakan pembelanjaan yang berlebih-lebihan, hanya menuruti keinginan hawa nafsu untuk  hidup berkemewahan.

 

Penulis                        : Tim Redaksi

Sumber Artikel           : tuntunanislam.id

Halaman Selanjutnya  : Orang Islam Wajib Shadaqah (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *