Rabu, 15 Mei 2024

Pandai Bicara Karena Muhammadiyah

 

Oleh: Aulia Rahman Alboneh

-----

Tak kurang duabelas tahun, bangku sekolah Muhammadiyah memberi saya selain imtaq, juga iptek yang tetap relevan lintas zaman. Belajar di Muhammadiyah, bertemu guru yang bicara soal agama sekaligus ilmu kehidupan, mulai dengan cara halus, sampai keras. Kebijaksanaan yang saya dapat sekarang, bukan lewat waktu singkat, ada konflik pemikiran rumit dan pencarian jati diri panjang karena pernah suatu saat saya ‘ketanggor’ sebagia siswa Muhammadiyah, melakukan kesalahan bicara yang nyaris mempermalukan nama persyarikatan. Dengan dua belas tahun, saya harap anda tidak berpikir saya sedang bercanda soal kemuhammadiyahan.

-----

Saya sempat menulis ihwal menyebut saudara nahdiyin dengan ‘sesat’. Tapi dulu itu keluar dari mulut anak SMP dan sebatas gurauan. Akibat perkataan itu juga saya menemukan pencerahan (dan penyesalan) sampai akhirnya mendapat ilmu bagaimana memandang hidup dengan cara berbeda beberapa tahun kemudian. Mendapatkan kebijaksanaan Muhammadiyah, adalah seorang guru matematika SMA yang pernah berpesan –disampaikan secara umum untuk siswa satu kelas–, kalau melihat dan menyelesaikan masalah, lihatlah secara komprehensif. ‘Komprehensif’ adalah kata baru bagi saya dan dimaknai sebagai perintah untuk tidak terpaku pada satu sudut pandang. Sebuah ilmu tentang bagaimana bersikap terhadap perbedaan.

-----

Ada beberapa momen yang menjadi titik balik saya ketika mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. Pertama, berkaitan dengan stigma umum bahwa Muhammadiyah sebagai sekolah swasta, adalah tempat ‘buangan’ siswa yang tidak diterima sekolah negeri. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta punya sekolah negeri ‘level bawah’ yang siswa mending masuk Muhammadiyah unggulan daripada tidak masuk sekolah negeri ‘level atas’. Siswa ‘gagal masuk negeri’ semacam ini masih mending karena mereka adalah mantan-calon-siswa-pintar.  Meski tidak masuk kriteria ‘pintar tinggi’, tapi cukuplah ‘pintar menengah’. Mereka teman yang bisa diandalkan terutama saat ulangan. Disamping itu, cara berpikir mereka berbeda dengan siswa lainya. Melihat teman-teman seperti ini kadang saya kagum, betapa visioner mereka meski sebagai anak SMA.

-----

Lain kalau yang masuk sekolah Muhammadiyah adalah mereka yang memang ‘underdog’. Masuk Muhammadiyah karena hanya sekolah itu yang mau terima. Tentu mereka berada di kelas peringkat bawah. Saya katakan ini bukan hal buruk, karena kenyataanya anak-anak macam ini juga punya kecerdasan sosial tinggi meski kecerdasan akademik masih perlu banyak belajar. Saya akui, banyak pelajaran yang didapat dari mereka.

-----

Kondisi pertama ini memberi saya pandangan bahwa dalam lingkup mikro, satu sekolah Muhammadiyah, sudah terkondisikan secara alami dengan kemajemukan. Dari anak-anak pintar saya belajar bagaimana cara mendapat nilai bagus dengan ketekunan tapi tanpa peduli lingkungan. Pokoknya belajar dan belajar. Sedangkan dari anak ‘nakal’ (saya menyebutnya anak berjiwa sosial), saya belajar bagaimana caranya berteman dan take action. Perkara berteman ini terdengar remeh. Tapi hal remeh inilah kemampuan yang saya tak punya. Saya tak bisa berteman, dan tak tahu cara berteman.

-----

Romantika Muhammadiyah dari TK sampai SMA membuat saya bertemu beragam manusia, terutama menginjak SMP dan SMA dimana siswa mulai digolongkan berdasarkan nilai akademik. Saya melihat pengkastaan ini terlalu rasis karena pembagian kelas tidak hanya representasi nilai akademik, tapi juga nilai akhlak. Terlihat perbedaan akhlak siswa di kelas unggulan dan non-unggulan. Karena pembagian kelas berdasarkan huruf alfabet, setidaknya tiga kelas huruf awal bisa dibilang berisi manusia-manusia berakhlak mahmudah. Sisanya anda terka sendiri. Saya pernah merasakan duduk dengan semua golongan baik di kelas berakhlak mahmudah, maupun di kelas berakhlak mazmumah. Disadari atau tidak, klasifikasi itu model mini masyarakat yang juga berisi orang-orang baik dan tidak baik. Pernah berada di keduanya, memberi saya cakrawala bagaimana cara berintaraksi dengan dua kutub berlawanan.

-----

Titik balik ke dua adalah saat dimana saya menjadi mubaligh. Menjadi mubaligh adalah bahasa diplomatis untuk program corporate social responsibility sekolah dan persyarikatan yang mengirimkan caraka ke pelosok desa untuk ‘berdakwah’. Program ini tujuanya untuk mengimbangi misionaris desa. Meski begitu, saya tak ambil pusing soal misionaris atau sejenisnya. Bagi saya itu liburan dan ladang pembelajaran interaksi sosial. Menjadi mubaligh tidak secara harfiah kami menyebarkan agama Islam di pelosok desa, tapi lebih kepada mengajar anak-anak mengaji setiap sore sebelum berbuka puasa. Setahu saya yang menjadi tugas pokok adalah mengajar ngaji anak-anak. Tapi saat deploy, saya dibertahu bahwa selain mengaji, peserta juga ‘diharuskan’ memberikan ceramah di depan jamaah shalat tarawih. Tak pernah sebelumnya saya ceramah di atas mimbar, di depan orang-orang tua, menyampaikan satu dua ayat lengkap dengan muqadimmah ala-ala pengajian.

-----

Inilah yang saya katakan Muhammadiyah melakukan transfer of wisdom dengan penuh kejutan. Seorang bocah SMA culun diharuskan menyampaikan ceramah keagamaan di depan banyak orang. Jamaahnya terdiri dari pemuka agama setempat atau mbah kaum yang mestinya mereka lebih fasih soal ayat A, B, C dan hadist D,E, F. Ini gila. Mau tidak mau, suka tidak suka, demi nama baik persyarikatan, saya belajar bagaimana berceramah berbekal materi buku kultum akhir zaman yang sekardus. Baru satu minggu kemudian, saya mulai terbiasa berceramah diatas mimbar.

-----

Peristiwa itu menjadi titik balik karena saya yang sebelumnya tak bisa bicara, karena dipaksa oleh keadaan, menjadi bisa bicara, atau setidaknya mengungkapkan pendapat. Mulai dari situ saya mengembangkan kemampuan bicara hingga menjadi alur yang terstruktur, sitematis, dan tidak menimbulkan pertanyaan. Saat itulah saya sadar bahwa sebenarnya saya bisa bicara.

-----

Teringat salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah duduk di jajaran hoofd bestuur, pak AR, mencontohkan bagaimana seorang yang berilmu tinggi saat menghadapi orang awam hendaknya bersikap membumi. Berhadapan dengan siapapun harus bisa menyesuaikan diri. Bicara dengan orang pintar bisa mengimbangi, bicara dengan orang bodoh ya tak perlulah sok pintar. Yang terpenting ya itu tadi, melihat masalah secara komprehensif. Sehubungan dengan komprehensi, salah satu yang saya pelajari sampai sekarang adalah bagaimana melihat dari sudut pandang lawan bicara. Ini kemampuan mahal yang tak bisa ditebus dengan uang atau kursus.

-----

Meski terlambat, saya ingin mengucapkan selamat milad pada persyarikatan yang senantiasa menjadikan terang apa-apa yang nampak gelap. Dengan sang surya, meski tinggi, tetap tak enggan membagi cerah pada sudut-sudut bumi gelap. Muhammadiyah sudah berusia 100 tahun lebih. Banyak kader-kadernya yang tak hanya pandai agama tapi juga ilmuwan bidang sains. Ini artinya sebagai organisasi pengusung agama, Muhammadiyah mengajarkan tidak terpaku pada pembelajaran keagamaan, ilmu alam dan keduniawian juga dipelajari dengan porsi berimbang.

-----

Menjadi organisasi sosial di saat yang sama, Muhammadiyah punya badan usaha berupa rumah sakit dan perguruan tinggi. Darinya dihasilkan dokter-dokter pandai. Dokter itu ada tentu bukan karena ilmu agama saja. Penalaran ilmiah sudah menjadi kultur Muhammadiyah yang sejak awal dikenal ramah dengan kemajuan zaman. Penalaran ilmiah dan agama inilah setidaknya sedikit hal yang bisa disumbangkan untuk Indonesia. Dan dengan berpegang pada ‘amal ilmiah, ilmu amaliyah’-nya, persyarikatan tidak menjadi organisasi eksklusif bagi segelintir orang. Setiap mereka yang ingin maju dan ingin berilmu dipersilakan duduk sambil ngopi disini. Semua diskusi dilayani dengan dialog keilmuan.

-----

Bagi saya, menjadi Muhammadiyah berarti menjadi maju.

-----

Ngopi dulu..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *