Senin, 29 April 2024

Patriotisme Berkemajuan Muhammadiyah

            Ratusan tahun lalu Plato pernah menuliskan bahwa ‘pendidikan itu bukan seperti mengisi air dalam bejana tetapi menyalahkan obor’. Artinya, pendidikan menjadi pintu gerbang peradaban zaman. Dengan ilmu pengetahuan manusia diharapkan mampu mendayagunakan kemampuannya, kreatifitasnya, karya, dan juga termasuk daya survivenya di tengah arus pancaroba zaman. Manusia yang dianugerahi nalar budaya: rasa, cipta, dan karya kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling memungkinkan untuk mengemban amanah melestarikan bumi, menjaga keseimbangan peradaban, dan dalam skope yang lebih sempit dapat menjaga martabat bangsanya. Dari sinilah kita bermula membincang idealisme suatu bangsa,merevitalisasi pencasila, dan juga memaknai nasionalisme dan bagaimana patriotisme seharusnya diwujudkan.

            Lebih dari lima belas tahun kita menjalani massa di mana kebebasan dan demokrasi diagungkan sejak tumbangnya era kekuasaan Orde Baru. Janji kesejahteraan yang disemai dalam beragam kemasan demokrasi dan proyek desentralisasi belum menggembirakan. Rezim berganti berkali-kali namun  mimpi-mimpi demokrasi ekonomi dan demokrasi pancasila belum benar menjadi kenyataan. Kita dapat secara obyektif melihat pembangunan ekonomi kita yang gagal (pemerintah berdalih  soal pelambatan); berbagai tragedi intoleransi, kecaman terhadap ‘bobroknya’ pancasila sebagai way of life dan banyak lagi kegaduhan politik yang kontraproduktif. Bangsa ini masih disibukkan dengan hal-hal yang remeh temeh perihal saling mengutuk, dan sementara bangsa lain di kawasan Asia sudah mengencangkan berbagai strategi dagang yang akan melibas republik ini jika tak punya jurus antisipasi. Pada saat tulisan ini diselesaikan, US Dollar senilai 14.296; dan Yuan dberitakan akan mengancam rupiah.

            Yudi Latif (2015) dalam buku terakhirnya yang ia berikan judul “Revolusi Pancasila” menggagas patriotisme progresif yang diartikan sebagai upaya untuk mencari jalan keluar atau solusi dari ancaman kehancuran bangsa dengan melakukan kegiatan yang nyata dan bukan hanya mengutuk kegelapan atau mencari lawan. Berbeda dengan devinisi konvensional yang terlalu abstrak memaknai patriotisme. Bisa jadi, kegelisahan ini berdasarkan pada fakta bahwa sebagian anak bangsa ini ada kecenderungan untuk selalu menolak keadaan, selalu tidak puas dengan capaian-capaian, bahkan tidak percaya pada kekuatan gagasan pancasila namun tidak diiringi dengan upaya nyata untuk mencegah keruntuhan bangsanya. Inilah barangkali pembacaan yang penulis dapatkan dari gagasan besar patriotisme progresif yang kemudian penulis artikan dengan patriotisme berkemajuan.

            Selain warning Yudi Latif, sebetulnnya sudah banyak tokoh bangsa ini memberikan risalah untuk penyelamatan bangsa ini dari kehancuran total seperti M Amien Rais (2008) dalam buku Selamatkan Indonesia, Nurkholis Majid dalam buku tipis yang sangat kuat pesan kebangsaannya yaitu yang ia himpun dalam buku Indonesia Kita (2004), dan juga yang tak kalah penting adalah naskah pidato Kebudayaan W.S Rendra yang dibacakan pada saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tanggal 6 Maret 2008. Selain itu, dalam buku “mencari autentisitas dalam kegalauan’ (2003) Ahmad Syafii Maarif mengajak bangsa ini siuman dari kerusakan di bidang pendidikan, agama, dan kebudayaan yang nyaris sempurna. Berbagai gagasan cemerlang oleh para tokoh bangsa tersebut di atas adalah wujud nyata dari patriotisme berkemajuan.

            Kita telaah singkat bagaimana prospek gagasan-gagasan anak bangsa tersebut jika kita teropong hari ini. Amien Rais yang melihat penyelamatan tambang dari penjarahan korporasi global sebagai tindakan strategis dan sebagai agenda mendesak bangsa untuk membabat ketimpangan ekonomi di republik ini. Salah satu solusinya adalah kontrak ulang dengan para investor asing yang sudah terlalu banyak mengambil keuntungan. Solusi radikal lainnya adalah dengan memutuskan kontrak, dengan kata lain ini yang disebut Sukarno sebagai tindakan ‘nasionalisasi’. Nurkholis Majid melihat lebih sistematis lagi yaitu dengan menjalankan sepuluh platform pembangunan yang meliputi (1) Mewujudkan good governance; (2)Menegakkan supremasi hukum; (3) Reformasi ekonomi (sektor riil); (4) Mengembangkan dan memperkuat pranata demokrasi, kebebasan sipil; (5)Ketahanan pangan dan keamanan; (6) Pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan; (7)Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga; (8) Melaksanaan rekonsiliasi nasional; (9) Memelihara keutuhan NKRI; (10) Berperan aktif menciptakan perdamaian dunia.

            Sementara Rendra melihat kemungkinan adanya zaman ‘Kalasuba’ (zaman kesejahteraan rakyat) yang mesti diantisipasi kehadirannya dengan kerjakeras dan bukan hanya sabar dan tawakal menunggu kehadiran “Ratu Adil” karena tegaknya kekuatan bangsa bukan karena sang “Ratu Adil” akan tetapi oleh negara yang adil, mandiri, dan terkawal. Sebagai upaya kongkritisasi gagasan Patriotisme progresif, Yudi Latif juga memberikan penjabaran bagaimana agar anak bangsa membangun optimisme untuk tidak larut dalam keterpurukan alam bathin, alam pikir, dan alam praksis sosialnya.  Revitalisasi ‘patrisotisme’ ini dapat dimulai dari pembangunan karakter  nilai kejujuran, kerja keras, adil sejak dalam pikiran, dan keberanian untuk berpihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan dan  juga diperlukan jihad (upaya sungguh-sungguh) untuk menjaga bangsa dari kehancuran, dari kebodohan sifat inlander  dan tikaman kapitalisme yang terkutuk.

            Dari dinamika pancaroba zaman atau babakan politik di republik ini sejatinya sangat baik kita apresiasi peran kesejarahan Muhammadiyah yang sangat konsisten. Dari awal mula pendirian Muhammadiyah ditahun 1912 telah berkobar semangat pencerahan yang sangat progresif (berkemajuan) dengan mengembangkan politik etis ala Muhammadiyah yaitu membangun lembaga pendidikan dan pelayanan sosial. Bersamaan dengan Taman Siswa, peran Muhammadiyah hari ini terlihat jauh lebih dirasakan bangsa Indonesia. Hal ini penting agar peran KH. Ahmad Dahlan tidak dikecilkan dengan melambungkan sosok Ki Hajar Dewantoro.

            Hari ini Muhammadiyah  di usianya yang ke 106 tahun terus menjadi bagian terpenting dari upaya meluruskan kiblat bangsa melalui upaya yang disebut jihad konstitusi, upaya menegakkan keadilan global lewat emansipasi ekologi dan juga penguatan komunitas yang dilahirkan dari Muktamar ke-47 di Makasar tahun lalu. Bukan hanya sebatas itu, bentuk pembelaan Muhammadiyah kepada kepentingan bangsa jelas track recordnya. Hal ini bisa terlihat dari upaya Muhammadiyah mendorong era politik kerja ketimbang politik bicara (Haedar Nashir, 2016), juga mendorong keterlibatan civil society untuk terus berbuat untuk negeri. Selain gerakan kultural Muhammadiyah yang mendeklarasikan Gerakan Indonesia Maju yang dipelopori oleh Prof Dien Syamsuddin di Muhammadiyah juga akan menyelenggarakan konvensi Nasional Indonesia berkemajuan (KNIB) yang pekan ini akan bergema di penjuru Nusantara. Inilah bentuk dukungan Muhamamdiyah melalui gagasan agar bangsa ini Move-On dan tidak ditarik mundur ke belakang sejarah.

            KNIB ini digaungkan pada saat hari kebangkitan nasional yaitu 20 Mei 2016 di mana hari ini pada awal abad keduapuluh merupakan fajar baru menuju kemerdekaan Indonesia. Seluruh komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah, bangkit untuk menjadi bangsa merdeka, yang akhirnya mencapai puncak perjuangan dalam kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hari ini kita juga bisa mengapresiasi sisi kemajuan bangsa ini di berbagai sektor kehidupan misalnya lahirnya pemimpin daerah yang kreatif, pembaharuansosial, capaian prestasi anak bangsa dalam membangun keberhasilan dan mendorong kemajuan. Kepada kekuatan-kekuatan inilah bangsa ini yakin akan menempuh jalan yang terang menapaki sejarah. Dan di sinilah pentingnya menghimpun kekuatan dan langkah nasional dalam sebuah momentum "Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan" sebagai gagasan kebangsaan Muhammadiyah mereaktualisasikan spirit Kebangkitan Nasional. KNIB ini dimaksudkan “untuk menghimpun pengalaman dan gagasan putra-putri terbaik bangsa, dalam rangka membangun komitmen bersama para elite strategis lintas-kalangan, dari pusat hingga daerah dalam membangun Indonesia ke depan berdasarkan nilai, visi, dan cita-cita nasional.” Suatu terobosan gagasan besar yang teramat penting dan perlu diapresiasi sebagai salah satu bentuk patriotisme berkemajuan.

            Patriotisme hari ini tak cukup hanya untuk diperbincangkan namun harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh, dengan kerja keras yang konsisten tidak mengenal lelah untuk menyemai perubahan yang diharapkan. Gagasan sudah lebih dari cukup untuk kembali memperkuat negara-bangsa ini, tentu political will dari the rulling elites yang mengelola negara ini harus juga didorong untuk mengarahkan kiblat bangsa ini ke kiblat yang menuju kemantapan ekonomi, sosial, budaya, politik yang pro kepentingan rakyat dan bukan diarahkan kepada keadaan kalatida atau kalabendu. Kegalauan harus diusir. Nilai-nilai autentisitas bangsa ini cukup menjadi modal untuk kembali ke jalan yang benar yaitu dengan merevitalisasi nilai luhur pancasila dengan tekad juang paripurna untuk mewujudkan revolusi pancasila.

 

Oleh :  David Efendi, SIP, M.A.,M.A.,

 )* Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, wakil ketua LHKP PW Muhammadiyah DIY.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *