Minggu, 28 April 2024

Pendidikan Keberagaman; Praktek dan Tantangan Guru

Oleh: Brenny Novriansyah (Ketua PCIM India)

Lembaga pendidikan sejatinya merupakan suatu kawah “candradimuka” bagi generasi bangsa untuk menimba cakrawala menembus lintas batas budaya, ras, dan agama. Sehingga membentuk generasi menjadi insan yang humanis dan relijius menerima semua keberagaman dan menjadikan keberagaman sebagai suatu kekayaan dan anugerah dari Tuhan.

Guru sebagai tenaga edukasi adalah kunci utama dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif menopang tumbuhnya pluralisme, demokrasi, dan menghargai keberagaman. Karena guru bukan hanya melakukan transfer ilmu tetapi juga duplikasi dari sikap, perilaku, perkataan, dan perbuatan yang mencerminkan pribadi bangsa Indonesia yang mengamalkan Pancasila.

Berat nian tugas guru. Menjadi suri tauladan bagi anak didiknya dan membentuk karakter bangsa ke depan. Karena penerimaan terhadap keberagaman oleh generasi di masa mendatang akan menciptakan kedamaian serta persatuan dan kesatuan sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Tentunya ini menjadi tantangan bagi para guru dalam menjalankan tugas yang mulia.

Pendidikan keberagaman bukan hanya pekerjaan rumah pemerintah, tetapi juga bagian dari kearifan bangsa yang mesti kita lestarikan. Upaya positif dalam pembangunan karakter bangsa melalui penerapan kurikulum 2013, untuk menghargai keberagaman serta mengedepankan nilai-nilai gotong royong, persatuan dan kesatuan pada prakteknya membutuhkan guru-guru yang handal serta memiliki wawasan keberagaman dan arif dalam berprilaku.

Praktek keberagaman di Sekolah

Praktek keberagaman yang berlangsung di sekolah selama ini, terutama di daerah-daerah yang masih awam dengan keberagaman karena populasi pendatang yang masih sedikit serta sulitnya akses maupun rendahnya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah terbukti, tidak sedikit sekolah merekrut siswa yang berasal dari ras dan agama yang berbeda. Meski mereka mendapatkan perlakuan yang sama, tetap saja mereka sering mendapatkan ejekan dari teman-teman sekelasnya. Ejekan itu ia terima karena ia berbeda dari teman-teman yang lainnya. Sehingga mereka terkucilkan dan merasa rendah diri dari teman-teman sebayanya di sekolah. Kondisi ini sering kali menimpa siswa minoritas baik secara ras maupun agama. Potensi yang mereka miliki tidak optimal dibangkitkan akibat dari perbedaan itu. Tapi kondisi ini justru menambah nilai positif bagi siswa, karena ia mampu bertahan dan meraih prestasi belajar dengan baik meski diposisi sebagai minoritas.

Selain itu, guru yang berasal dari ras dan agama minoritas, mengajar pada sekolah yang muridnya mayoritas. Tentunya akan melakukan pendekatan dan cara yang berbeda dalam proses pembelajaran. Sering kali guru tersebut tidak disukai dan dibenci oleh murid-muridnya. Hal ini menjadi masalah bagi lembaga pendidikan tersebut dan sekaligus menjadi tantangan. Untuk menciptakan iklim saling menghormati dan menghargai antar sesama.

Sisi realitas lain dari praktek keberagaman di dunia pendidikan kita adalah dimana para orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang relijius tempat berkumpulnya anak didik yang berasal dari ras dan agama yang sama. Hal ini bisa bernilai positif karena siswa akan merasa aman bersama teman-teman yang berasal dari latar belakang yang sama dan bebas mengekspresikan kemampuannya. Tapi, pada kenyataan nya juga menyebabkan lemahnya kemampuan berkomunikasi dan menjalin persahabatan dengan orang lain yang berlatar belakang ras dan agama berbeda.

Lain halnya pada negara-negara sekuler yang mengenyampingkan pendidikan agama dan hanya menekankan pada pendidikan sains dan sosial secara umum, mereka hanya diajarkan nilai-nilai kemanusiaan secara general dan sedikit alergi dengan agama. Sehingga murid yang berlatar belakang agamis, kurang mendapatkan kenyamanan untuk mengekspresikan nilai-nilai keyakinannya. Pendidikan seperti ini pada akhirnya berujung pada kekosongan, kebingungan dan penuh tanda tanya dalam diri peserta didik. Karena mereka mempertanyakan keyakinan yang dianut orang tuanya, akan tetapi juga bingung dengan ajaran moral yang didapat dari bangku sekolahnya.

Tantangan Pendidikan Keberagaman bagi Guru

Akar-akar konflik keberagaman bila dibiarkan ia akan terus tumbuh, meski seiring berjalan waktu dan perkembangan kedewasaan berfikir anak, bibit penolakan terhadap keanekaragaman itu akan redam dan membaur dengan masyarakat. Tetapi, tetap saja ia menjadi bom waktu yang potensial suatu saat akan meledak, sehingga persatuan dan kesatuan yang dijunjung tinggi lenyap seketika.

Tentunya ini menjadi tantangan bagi para guru, untuk memupuk rasa kekeluargaan dan persaudaraan antar sesama dengan mengedepankan nilai-nilai humanis serta kearifan bangsa. Pendidikan menjadi sarana bagi para generasi untuk membiasakan diri dalam menjalin komunikasi dengan sesama meski berlatarbelakang ras dan agama yang berbeda. Suatu pekerjaan rumah paling besar adalah bagaimana mendidik siswa untuk hidup dalam kebersamaan, menerima perbedaan sebagai kelebihan dan mampu bekerjasama meski berbeda.

Sebagai individu yang menjadi panutan bagi para siswanya, guru dituntut untuk memiliki minimal empat kompetensi guru diantaranya: kompetensi pedagogik terkait dengan kemampuan dalam pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan, kompetensi akademik terkait dengan keahlian dan keilmuan yang dimiliki, kompetensi kepribadian terkait dengan ketauladanan, sikap, prilaku individu yang dijadikan model dan figur bagi peserta didik, serta kompetensi sosial terkait dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama termasuk diantaranya adalah menghargai keberagaman.

Ketika sang guru berada di era dimana media sosial dan internet telah menembus batas-batas ruang dan waktu, perbedaan dan keberagaman menjadi hal unik sekaligus menjadi potensi luar biasa yang membanggakan. Sang guru justru diuntungkan karena akan menjadi lebih mudah untuk membelajarkan siswa akan keberagaman.

Pekerjaan utama bagi para guru adalah menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling menghormati terhadap mereka yang berbeda ras maupun agama, baik dalam tindakan maupun ucapan serta membiasakan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sikap menerima terhadap keberagaman terpatri didalam diri para siswa.

Ketika profesi guru menjadi pilihan bagi para calon guru, maka seyogyanya guru melengkapi diri dengan wawasan keberagaman yang ditunjukkan melalui sikap dan prilaku yang humanis serta mengamalkan Pancasila. Karena sikap arif dan bijaksana terhadap keberagaman sudah menjadi suatu kebutuhan bagi profesi mulia ini. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi penyelenggara pendidikan keguruan untuk menyiapkan tenaga pendidikan yang handal dan sesuai dengan cita-cita bangsa.

Tentunya belajar dengan mengalami langsung dalam lingkungan keberagaman akan memberi ruang pengalaman baru bagi calon pendidik untuk menjadi bagian dalam perbedaan budaya, bahasa, agama dan prilaku. Calon pendidik perlu diberi soft-skill untuk bisa menerima keberagaman itu, dan tetap menjadi seorang professional untuk mencetak generasi mendatang yang berkarakter. Maka, sejatinya sekolah calon pendidik memfasilitasi pembelajaran keberagaman ini melalui program-program ekstra-kurikuler antar kelembagaan dengan melibatkan kaum agamawan dan para budayawan.

* Penulis  adalah Ketua PPI India 2016-2017, saat ini Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah India, sedang menempuh studi S3 Ph.D in Education, Department of Education, Aligarh Muslim University, Uttar Pradesh - India.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *