Kamis, 02 Mei 2024

Perguruan Tinggi dan Pendidikan yang Membebaskan

Oleh :

Dr. Anjar Nugroho

 (Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Purwokerto)

Pendahuluan

Mansour Fakih dalam tulisan pengantarnya pada buku Pandidikan Populer: Membangun Kesadaran Kritis (2001), melihat bahwa dalam prospektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan “ideologi yang dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini, lanjut Fakih,  dimanifetasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Konsekwensi dari pemikiran Fakih itu adalah bahwa, pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif maupun “detachment” dari kondisi masyarakat.

Pendidikan harus berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, begitu kata Paulo Freire dalam kitab yang menjadi magnum opus-nya, Pedagogy of Opressed (1978). Bagi Freire, pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tetapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif.

Gambaran teoritis yang telah dipaparkan baik olah Fakih maupun Freire itu seolah bertolak belakang dengan gambaran realitas yang menyeruak dalam fenomena pendidikan di sekitar kita. Pendidikan yang sedang dijalani oleh bangsa ini lebih menggambarkan sebagai sebuah proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai “obyek” yang siap “digarap” oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia “mekanik”. Antara materi yang diajarkan dengan problem realitas terdapat kesenjangan yang luar biasa. Akibatnya peserta didik menjadi terasing dengan realitasnya dan mereka menjelma sebagai sosok yang menguasai teori tetapi gagap dalam melakukan transformasi masyarakat.

Kondisi seperti itu, dipertontonkan secara apik oleh sistem pendidikan kita mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan ini hanya akan melahirkan intelektual “mekanik” yang mengabdi kepada struktur dan ideologi dominan dari pada intelektual “organik” yang tampil sebagai agen perubahan (agent of change) masyarakat. Tulisan ini akan menyorot problem perguruan tinggi kita dalam kaitanya dengan proyek pendidikan yang membebaskan seperti yang sering dikumandangkan oleh para tokoh pendidikan kritis yang kian hari kian muak dengan realitas pendidikan yang ada.

Problem Perguruan Tinggi

Sistem yang digunakan dalam praktek pendidikan di Perguruan Tinggi sejalan dengan sistem pendidikan nasional yang berlaku pula di semua jenjang pendidikan. Ada nuansa baru dalam sistem pendidikan nasional kita yang bisa memberi peluang kearah pendidikan yang mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan. Hanya saja persoalanya adalah pada kultur pendidikan kita yang sudah terpola sekian lama untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis. Padahal orientasi pendidikan seperti ini sulit untuk mengarahkan pada pembentukan karakter manusia kritis-konstruktif-inovatif yang peka terhadap problem-problem masyarakat sebagai manifestasi insan tercerahkan dan cerdas. Orientasi mekanistis-matrialistis ini pula yang kebanyakan dipraktekkan oleh banyak perguruan tinggi kita baik negeri maupun swasta yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Dikatakan mekanistis karena sistem pendidikannya terpaku pada bentuk kurikulum dan teaching plan yang kaku, yang steril terhadap unsur-unsur dinamika pengetahuan peserta didik dan problem masyarakat. Dosen dalam sistem ini seolah telah melakukan tugasnya dengan baik ketika ia telah menjalankan kurikulum dan teaching plan dengan baik tanpa peduli ada proses pencerahan dan pencerdasan dalam diri mahasiswa atau tidak. Sistem mekanis ini menghalangi proses interaksi yang diskursif dalam ruang-ruang kelas yang lebih memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan ilmunya tanpa harus menunggu “suapan” dari sang dosen. Mahasiswa yang terlalu kritis dalam sistem mekanis akan dicap sebagai “mahasiswa sulit” yang akan merusak kurikulum, silabi, dan segala tetekbengek perangkat perangkat pendidikan lainnya.

Dalam teori filsafat, materialisme diartikan sebagai faham yang menegasikan dimensi ruhiyah (spiritual) dan salah satu doktrinnya adalah menganggap agama sebagai candu (Lorens Bagus, 1996). Ironisnya, pembelajaran yang berlangsung di perguruan tinggi-perguruan tinggi justru menggunakan pendekatan-pendekatan materialistik yang kental. Ini terlihat dalam proses transformasi pengetahuan dan nilai-nilai moral yang lebih cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual memadai. Akibatnya, pendidikan tinggi tidak mampu-untuk tidak mengatakan gagal-membentuk karakter manusia cerdas dan bermoral.

Di kelas, mahasiswa hanya disodori setumpuk pengetahuan material, baik dalam buku-buku teks maupun proses belajar mengajar. Yang terjadi adalah proses pengayaan (enrichment) pengetahuan kognitif tanpa upaya internalisasi nilai. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang jauh antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehar-hari mahasiswa. Pendidikan bagi mereka laksana pisau yang tumpul, tidak mampu mengubah sikap-perilaku mereka.

Pedagogi yang diterapkan dunia pendidikan Indonesia, termasuk pembelajaran di perguruan tinggi, sejauh ini lebih menekankan unsur kognitif ketimbang afektif. Transformasi ilmu bersifat amat mekanis di mana siswa dijejali seperangkat materi ilmu pengetuan atau informasi. Pembelajaran yang demikian akhirnya berubah menjadi proses pembebanan berlebihan yang memasung anak didik. Mahasiswa lalu merasa ditekan dan tersiksa tanpa bisa menikmati-nya. Inilah mungkin sebuah pedagogi yang oleh Kurt Singer disebut sebagai schwarzer paedagogic, pedagogi hitam.

Tak bisa dipungkiri bahwa dunia perguruan tinggi dewasa ini adalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan user (pengguna). Para user perguruan tinggi sebagian besar berasal dari dunia industri yang kapitalistik, sehingga berakibat langsung terhadap pola-pola kapitalisme dalam dunia perguruan tinggi. Perguruan Tinggi yang semestinya sebagai ujung tombak dalam melakukan kritik ideologi dan kritik sosial-politik-ekoniomi, malah terjebak dalam kubangan kapitalisme global yang menguntungkan para pemilik modal. Kapitalisasi pendidikan juga berakibat pada mutu pendidikan yang senantiasa diukur oleh standar-standar pendidikan yang dikehendaki kalangan industri. Kapitalisasi ini pula yang menjerat perguruan tinggi untuk mengikuti logika pasar sehingga biaya pendidikannya juga terdongkrak tinggi. Dalam situasi seperti ini, mereka yang berduit sajalah yang bisa mengakses dunia perguruan tinggi.

Masih dalam jebakan kapitalisme perndidikan, perguruan tinggi pun banyak yang rela menjual idealismenya sebagai institusi pendidikan terkemuka kepada sistem permintaan pasar yang liberatif, sehingga tak heran jika pasar menghendaki sistem pendidikan instan, maka perguruan tinggi pun akan melayani itu demi menjaga market (pasar). Berbagai macam bentuk perkuliahan, seperti kelas ekstensi, kelas pararel, kelas jauh, kelas kerjasama yang merupakan bentuk dari sistem pendidikan instan, juga jual-beli gelar yang marak dewasa ini dapat dimaklumi dalam kerangka kapitalisasi pendidikan.

Menuju Pendidikan Tinggi Yang Membebaskan

Pendidikan di mata Freire, sebagaimana yang dikutip oleh Henry A. Giroux (1999), merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Sebagai dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan wadah dan “surat perjanjian” dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire, pendidikan memuat konsep sekolah di dalamnya, yakni tempat di mana manusia menciptakan, sekaligus menjadi hasil, hubungan-hubungan sosial dan pedagogis. Sehingga, masih menurut Freire, pendidikan perupakan tempat, pertama, untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya makna, hasrat, bahasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang disebut manusia dan apa yang menjadi impiannya. Dan ketiga, untuk merumuskan dan memperjuangkan masa depan.

Sebagai sebuah dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara rekayasa politik dan upaya untuk menciptakan berbagai alternatif kehidupan yang baru. Pendidikan juga menjadi ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik guna menciptakan sistem politik yang lebih emansipatif, bukan sekedar memenuhi tuntutan pedagogis semata. Ini semua dilakukan oleh dunia pendidikan untuk mendekatkan pendidikan dengan perubahan struktur masyarakat dan negara yang lebih memberi peluang terciptanya keadilan sosial tanpa penindasan. Dalam sistem pendidikan ini, seluruh elemen pendukung proses belajang mengajar diarahkan untuk menciptakan manusia kritis-emansipatif-partisipatoris.

Perguruan tinggi adalah salah satu yang dipilih untuk menjadi yang terdepan dalam melakukan emansipasi pendidikan. Apalagi tugas-tugas transformasi sosial-politik pendidikan akan lebih pas jika pergruan tinggilah yang menjadi ujung tombak. Hal ini logis, karena dalam lingkungan perguruan tinggi tersedia sumber daya manusia yang siap melakukan “praksisasi” teori, sekaligus ditunjang oleh peserta didik yang sudah cukup dewasa untuk terjun langsung di masyarakat. Akan tetapi, jika melihat problem yang dihadapi perguruan tinggi sebagaimana tertulis di atas, rasanya cukup berat upaya-upaya untuk merevitalisasi perguruan tinggi sehingga menjadi perguruan tinggi yang membebaskan.

Sedikitnya adalah ada lima hal yang perlu diperhatikan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang membebaskan. Pertama, perguruan tinggi harus menyiapkan kurikulum yang lebih banyak menyerap kearifan lokal dalam rangka menjadikan problem masyarakat sekitar sebagai laboratorium ilmiah paling otentik. Mahasiswa sebagai partisipan aktif proses pendidikan akan terbiasa menjadi problem solver masyarakat dan diharapkan bisa terus berperan akfif dalam proses-proses transformasi masyakatar. Mahasiswa akan menjadikan problem yang ada di masyarakat sebagai wahana untuk diobservasi, diteliti, dan dicoba untuk diberi solusi-solusi alternatif. Mahasiswa dalam hal ini akan terlibat, misalnya, dalam resolusi konflik, penanggulangan penyakit masyarakat, pemberdayaan petani dan nelayan, advokasi tindak kekerasan, advokasi nasib buruh, pembelaan terhadap nasib pedagang kaki lima, melakukan kontrol terhadap proses politik di parlemen dan sebagainya.

Kedua, perguruan tinggi harus mendayagunakan potensi ilmiahnya untuk proses-proses sosial dan politik. Banyak dijumpai dalam kegiatan ilmiah perguruan tinggi sesuatu yang “mewah” bagi masyarakat. Penelitian dosen dan mahasiswa lebih banyak mengarah kepada pelembagaan teori ketimbang aplikasi dan uji teori dalam menyelesaikan problem sosial-politik-budaya masyarakat. Hasilnya, teori semakin berkembang, sekaligus persoalan masyarakat kian menjamur dan tak tertanggulangi. Kegiatan ilmiah perguruan tinggi harus berkiblat pada dinamika sosial-politik masyarakat.

Ketiga, Mahasiswa dan dosen diberi kebebasan mimbar akademik untuk lebih mengekspresikan sikap ilmiah yang kritis dan bertanggungjawab. Kebebasan mimbar akademik adalah atmosfer untuk membangun sikap kritis-inovatif-kreatif. Manifetasi dari uapaya ini adalah mengembangkan kelompok-kelompok kritis dosen dan mahasiswa dan memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi mereka untuk berekspresi dalam ranah ilmiah-politis dan politis-ilmiah. Untuk hal ini mahasiswa dan dosen harus mempunyai wadah yang independen, yang steril dari campur tangan kepentingan-kepentingan tertentu.

Keempat, dalam proses belajar mengajar lebih mengarah kepada model pembelajaran partisipatoris yang active learning. Dosen sebagai sumber ilmu dalam paradigma pembelajaran konvensional harus digeser dengan pembelajaran partisipatoris yang menjadikan mahasiswa sebagai pusat (students centre). Konsekuensi dari model pembelajaran seperti ini adalah banyak dibutuhkan strategi pembelajaran aktif seperti: active knowledge sharing (saling tukar pengetahuan), assessment search (mencari kesan), active debate (debat aktif), team quiz (kuis kelompok), inquiring minds want to know (melihat kemampuan siswa), keep on learning (belajar terus), peer lessons (mengajar sesama teman), information search (mencari informasi), silent demonstration (demonstrasi bisu), practice-rehearsal pairs (simulasi perpasangan), lightening the learning climate (menghidupkan suasana belajar), dan sebagainya.

Kelima, perguruan tinggi harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada segenap lapisan masyarakat untuk dapat mengaksesnya. Perguruan tinggi jangan hanya menjadi “kumpulan” masyarakat tertentu yang ada bakcing modal, karena ini akan mempersempit ruang perguruan tinggi sebagai ajang pembelajaran rakyat. Memang kendala untuk bisa mewujudkan hal ini tidak mudah, apalagi di tengah iklim kompetitif antar perguruan tingi yang menuntut perguruan tinggi bisa menunjukkan branch image sebagai perguruan yang modern dan “wah”, dan ini membutuhkan biaya mahal (high cost). Perguruan tinggi dalam hal ini harus mampu menggali dana dari sumber lain sehingga bisa menekan biaya pendidikan yang dibayar mahasiswa. Jika seluruh kelas dan lapisan masyarakat mampu mengakses dunia perguruan tinggi, maka akan tampak lebih dinamis dan diskursif suasana pembelajaran di ruang-ruang kuliah.

Penutup

“Jika sekolah adalah penjara, maka bebaskan manusia dari sekolah” kata Ivan Illich. Statemen ini mengandung maksud bahwa sekolah (termasuk di dalamnya) perguruan tinggi, harus mampu menjadi ajang pembebasan manusia dari sistem hegemonik. Sekolah bukanlah instrumen untuk mencetak insan mekanik yang siap “dijual” di pasar kerja semata, tetapi sekolah adalah proses pembebasan yang hakiki yang mengantarkan manusia pada hakekat kemanusiaannya yang otentik.

Perguruan tinggi sebagai bagian dari sekolah rakyat dituntut untuk dapat memberi kesempatan munculnya intelektual-intelektual organik (sebagai lawan dari intelektual mekanik, meminjam istilah Antonio Gramsci), yakni intelektual-intelektual yang akan terlibat dalam problem masyarakat dan menjadi inspirator perubahan soaial. Jika perguruan tinggi hanya menciptakan intelektual mekanik, maka misi pembebasannya menjadi gagal. Dan perguruan tinggi semacam itu adalah penjara, sehingga bebaskan mahasiswa dari perguruan tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *