Jum'at, 26 April 2024

Refleksi 1 Abad untuk Proyeksi Muhammadiyah: Menuju Universalisme Islam

Muhammadiyah (1330 H / 1912 M - sekarang) sebagai gerakan islam amar ma’ruf nahi mungkar bergerak dalam waktu hampir 100 tahun. Sebuah organisasi massa Islam, tidaklah mudah bertahan dalam kurun waktu tersebut. Menjelang usianya yang 1 Abad ini, Muhammadiyah telah berkontribusi dalam berbagai hal di Bangsa ini. Pemikiran KH A. Dahlan (1868-1923) sang founding father Muhammadiyah dalam bidang sosial, kemudian menggerakkan masyarakat pada sebuah transformasi sosial. Dengan diawali pengajian-pengajian, kemudian dijadikan pelembagaan dengan disahkan menjadi persayarikatan Muhammadiyah. Sebuah trobosan yang langka ketika itu dapat melakukan pengorganisasian massa.

Pembacaan A Dahlan yang cerdas dan kreatif dari realitas sosial, tampak dari gagasanya yang kemudian mengintegrasikan antara sekolah agama dengan sekolah umum. Pendidikan agama yang ketika itu hanya diajarkan melalui forum-forum tradisional di pondok pesantren maupun padepokan-padepokan oleh Kiyai mampu dimodifikasi dengan kemoderenan di dunia pendidikan. Disini Muhammadiah melalui A. Dahlan mampu menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang siap menerima kemoderenan.

KH AR. Fachruddin sendiri menawarkan Muhammadiyah sebagai “islam yang menghidupkan”. Bagaimana faham dan gerakan yang dilakukan Muhammadiyah sudah seharusnyalah memang bermafaat bagi masyarakat ketika itu. Sebagaimana esensi agama islam sendiri yang merupakan rahmatan lil ‘alamain. Muhammadiyah pada masa Ahmad Dahlan memang tidak banyak ide-ide besarnya, namun inovasi gagasan tampak langsung dari tindakan yang dilakukan. Gerakan Muhammadiyah yang mengedepankan amaliah, menjadi bukti membuminya gagasan-gagasan Muhammadiyah.

Saat ini Muhammadiyah sudah melewati berbagai macam zaman. Dari mulai zaman penjajahan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman orde lama (1950-1966), zaman orde baru (1966-1998), dan zaman reformasi (1998-sekarang) yang kini sedang kita langkahi. Melalui masa-masa itu Muhammadiyah melaluinya dengan sangat dinamis. Pada awal berdiri, Muhammadiyah dapat dikatakan hanya concern pada manhaj salafinya dengan melakukan pemurnian agama. Karena realitas masyarakat yang banyak melakukan taqlid, bid’ah dan khurofat, dengan rungan lingkup hanya di wilayah Yogyakarta. Pada zaman penjajahan tersebut juga terdapat pandangan perlawanan terhadap penjajah. Memasuki masa kemerdekaan, banyak tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam mengokohkan pondasi bangsa ini. Pada kekuasaan orde lama Muhmmadiyah sempat mengalami disorientasi jati diri yang tampak dari dualisme posisinya, antara sebagai gerakan sosial keagamaan dan sebagai gerakan politik praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis karena Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dalam partai Masyumi. Walaupun sesungguhnya Muhammadiyah tetap tegas sebagai ormas namun keanggotaan istemewahnya pada partai Masyumi secara kelembagaan, menyeret Muhammadiyah dalam konsentrasi yang tinggi pada politik praktis.

Pada masa hegemoni negara yang sangat kuat, Muhammadiyah dalam perjalanan dibawah kekuasaan orde baru, tidak terlalu tampak dinamisasinya. Rezim orde baru yang sangat kuat hingga dapat berkuasa selama 32 tahun mampu mengkebiri gerakan-gerakan perlawanan yang dilakuakan rakyatnya. Sehingga praktis termasuk Muhammadiyah tidak mampu menjadi gerakan alternatif bagi masyarakat sipil menjadi oposisi. Aspirasi masyarakat maupun konstituenya hanya di wadahi dalam dialog yang sangat kekeluargaan yang dilakukan Muhammadiyah dengan pemerintah. Pada masa ini gerakan perlawanan tampak hanya reaksioner terhadap beberapa isu-isu saja. Termasuk Muhammadiyah, tidak menjadi gerakan perlawanan atau pengawalan pemerintah yang konsisten.

Otoritarian orde baru kini mampu di bongkar dengan munculnya gerakan reformasi tahun 1998. Pada gerakan reformasi, Muhammadiyah mengambil peran yang amatlah vital. Munculnya figur Muhammadiyah, Mohammad Amien Rais sebagai aktor reformasi, serta kontribusi kader-kader muhammadiyah dari bebbagai ortom merupakan hal yang perlu diapresiasi. Dapat diakatakan masa ditegakkanya HAM, Keadilan Sosial, Demokrasi, Akuntabilitas dan Transparansi merupakan buah yang riil dari reformasi yang diinisiasi oleh Kader Muhammadiyah. Namun dalam pengwalanya hingga tahun 2010 ini masih banyak hal yang perlu dikritisi.

Belakangan ide-ide Muhammadiyah tidak tampak di permukaan. Jika kembali pada Pak AR (panggilan akrab KH AR Fachrudin) dengan istilah “islam yang menghidupkan” seharusnya gagasan Muhammadiyah terus berkontribusi di negri ini. Ironisnya pada masa reformasi yang telah menegakkan kebebasan berpendapat, tidak santer terdengar pendapat Muhammadiyah. Gerakan amaliah yang di galakkan A. Dahlan kini tampak eksklusif, hanya dirasakan langsung oleh kader-kader Muhammadiyah. Pemikiran Muhammadiyah terkesan tidak membumi lagi. Lalu bagaimanakan universalisme ajaran Islam? bukankah seharusnya apa yang dilakukan Muhammadiyah dirasakan oleh khalayak ramai, tidak tertutup pada orang Islam atau bahkan hanya dirasakan orang Muhammadiyah. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal, tidak terbatas pada kaum muslim saja tidaklah populer. Bukankah kita mengenal islam sebagai agama rahmatan lili ‘alamiin (terj: rahmat bagi semesta alam), ajaran-ajaranya memiliki nilai universal.

Menurut Prof Abdul Munir Mulkhan, “Saat ini Muhammadiyah sekedar meniru Kiyai Dahlan, tanpa tahu gagasan dan etos gerakanya”. Kebesaran Muhammadiyah sebagai organisasi kini mengarahkan pada rutinitas semata, serta tidak dapat dilepaskkan dari pengulangan-pengulangan gagasan sebelumnya. Mengenai hal ini Dr Haedar Nasir dalam sebuah diskusi buku terbarunya yang berjudul “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaruan” di jakarta beberapa waktu yang lalu mengatakan “Ada keterputusan tajdid Muhammadiyah karena yang terjadi hanya pemurnian, padahal ada pengembangan, ada pembaharuan”, tandas beliau. Muhammadiyah kini hanya berfokus pada pemurnian saja, namun ruh pembaharuan kurang di tampakkan.

Oleh karena itu pada momen yang mendekati Muktamar satu abad ini, penting bagi Muhammadiyah untuk melakukan refleksi seabad yang lalu. Bukan untuk romantisme sejarah, bukan nostalgia namun untuk kembali menangkap the basic of epistimology gerakan. Selain itu, lebih penting untuk kemudian memproyeksikan bagaimana Muhammadiyah 100 tahun kedepan, dimana arus perubahan terus bergulir. Bagaimana Muhammadiyah memposisikan dalam pembaruan pemikiran sosial, budaya, ekonomi dan politik di masa depan? Bagaimana gagasan Muhammadiyah dapat membuktikan universalisme Islam? Merupakan pertenyaan-pertanyaan penting yang harus segera dijawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *