Selasa, 30 April 2024

Santri Millenial Vs Artificial Intelligence

Oleh : Irvan Shaifullah*

Sejak 2015, tepatnya 22 Oktober ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri Nasional. Bulan oktober menjadi bulan istimewa bagi para santri. Sebab pada bulan oktober inilah secara resmi diperingati hari santri nasional, walaupun pada praktenya timbul pro dan kontra di sana sini. Terlepas dari itu, perkembangan pesantren di indonesia sangatlah cepat dan signifikan. Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Kemudian pada tahun 2005 jumlah pesantren kembali meningkat menjadi 14.798 pesantren dengan santri berjumlah 3.464.334 orang.

Sementara, berdasarkan data Bagian Data, Sistem Informasi, dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada tahun 2016 terdapat 28,194 pesantren yang tersebar baik di wilayah kota maupun pedesaan dengan 4,290,626 santri, dan semuanya berstatus swasta.

Secara kuantitas, jumlah ini tentunya sangat menggembirakan bagi perkembangan islam kedepan. Apalagi modern ini, banyak wali/orang tua yang sadar betul pentingnya pendidikan islam bagi keberlangsungan kehidupan anaknya kedepan. Menyadari minat dan antusiasme orang tua dan santri yang memilih pondok pesantren sebagai basic pendidikan dasarnya. Banyak pondok pesantren berbenah dengan ciri khas dan program keunggulannya masing masing.

Di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang misalnya. Ponpes yang terletak di wilayah Sumatera barat ini memiliki dan menerapkan Quba Curriculum berbasis Al Quran dan Sunnah, Brain dan Attitude. Quba Curriculum mengedepan integrasi pendidikan Al Quran dan Sunnah dengan kurikulum pendidikan nasional dan mengkombinasikan pendidikan jepang dan filandia yang mengedepankan hasil attitude dari kerja kerja otak. Santri digembleng dengan kegiatan organisasi, kesenian, tataboga, public speaking dll. Ada lagi pesantren dengan ciri khas kewirausahaan, melatih santri untuk ikut terlibat dalam pembangunan perekonomian rakyat kecil, mandiri secara ekonomi kreatif dan inovatif dalam menangkap peluang usaha, tepatnya di PP Al Amin Dumai Riau. Ada juga pesantren yang punya ciri khas menerapkan kurikulum Agribisnis, PP Al Ittifaq Bandung Jawa Barat. Disana santri diajarkan cara menanam modern dan melakukan aktifitas pasca panen. Produk yang dihasilkan seperti sayuran dan madu.

Dikalangan lokal, PP Al Mizan Muhammadiyah Lamongan misalnya menggagas visi besarnya dengan tiga acuan penting, yaitu mencetak kader mubaligh, pemimpi dan ulama. Intinya, di zaman ini pesantren dituntut untuk menyelesaikan banyak hal dengan menanamkan ciri khasnya yang berbeda namun tetap mengedepankan aspek spiritual.

Revolusi industri 4.0 dan Artficial Intellegence adalah fenomena baru yang ditangkap pesantren dan santirnya. Pertanyaannya? Apakah AI akan membuat peran santri dan pesantren tenggelam? Atau malah hal ini mampu mendongkrak peran baru pesantren dan santri dalam menghadapi tantangan di masa depan?

Revolusi Santri Millenial

Sebagai bagian dari perjuangan bangsa indonesia dalam berbagai hal, santri sebagai output pesantren dididik untuk ‘merekam’ berbagai karakter dan ciri khas kehidupan dan penghuni pesantren sebagai sebuah miniatur negara dari berbagai sisi. Tidak hanya dituntut untuk menjadi intelektual dalam bidang keagamaan, santri Millenial juga diharapkan mampu melakukan modernisasi nilai yang ia pelajari di pesantren untuk diterjemahkan dalam aktualisasi hidup di lingkungannya.

Di pondok, santri diajarkan untuk bertoleransi antar sesama, solidaritas, tenggang rasa dan rendah hati, iptek, lmu sosial dan keterampilan bertahan hidup yang kesemuanya bersifat integral dan berhubungan antar satu sama lain. Sebagai bagian dari pranata sosial, santri dituntut untuk memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Pendek kata, dipesantren santri didik untuk selalu memiliki nilai dasar yang menjadi acuannya dalam bertindak, seperti kreatif dan inovatif, adaptasi lingkungan dan bekerjsama dengan tetap memegang prinsip nilai nilai yang luhur dan kejujuran.

Di zaman millenial, peran santri millenial sangat diharapkan untuk bersatu padu bersama masyarakat dalam membangun bangsa dan peradaban. Santri dituntut tidak hanya pandai dan benar dalam membaca kitab, tapi sebagai kapasitas dan tanggung jawab sosial yang dia sandang sebagai intelektual juga punya peranan penting dalam membangun bangsa secara global. Kiprahnya di masyarakat sangat ditunggu untuk mencipta ide dan gagasan baru dalam mencapai kesejahteraan sosial kemasyarakatan. Santri dapat berperan penting dalam wilayah diplomasi, ekonomi, politik maupun pemerintahan.

Secara garis besar, pendidikan pesantren dan santri adalah pendidikan yang sudut tujuannya untuk membekali pelakunya untuk mencapai kesejahteraan secara individual maupun kolektif. Tujuannya tak lain dan tak bukan sebagai upaya dalam mengembangkan potensi manusia seutuhnya. Tapi, di era Revolusi Industri 4.0 dan Artificial Intellegence, kemampuan dan karakter santri mau tak mau harus dihadapkan pada tantangan teknologi. Jack Ma, Mantan CEO Alibaba pernah mengungkapkan bahwa sebagian besar lapangan pekerjaan manusia akan direbut oleh AI. Sebagaimana dikutip dari Buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (Mizan,2019) Haidar Bagir, mengungkapkan bahwa AI bukan saja akan menguasai keahlian manusia diberbagai bidang, bahkan dalam banyak hal AI akan menunjukkan kinerja yang lebih baik dari manusia, karena kebebasannya dari kelemahan kelemahan manusiawi, termasuk dalam hal gangguan emosi, bias bias kognitif, kelambatan berpikir dan sebagainya. Stephen Hawking bahkan meramalkan akan terjadinya kiamat kemanusiaan dengan dominasi AI di masa yang akan datang.

Artificial Intellegence dan Zona ‘baru’ santri

Muncul pertanyaan penting, apakah kehadiran AI akan semakin melemahkan peran santri dan pesantren? Atau malah menjadi kekuatan baru bagi pesantren dan santri di masa depan?. Bagi sebagian orang, santri dan pesantren mungkin akan semakin tenggelam peranannya, pikiran itu wajar adanya jikalau ditilik dengan alasan pemanfaatan tekhnologi yang mungkin tidak menjangkau kehidupan para santri, jangankan teknologi mutakhir atau AI, kedapatan membawa HP atau barang elektronik lainnya yang dilarang di pesantren saja konsekuensinya sangat berat. Tapi ingatlah selalu bahwa bagi santri, pesantren adalah basic pembangunan mental yang paling mendasar dalam hidup. Boleh jadi beberapa hal akan tertinggal, tapi untuk urusan adaptasi dan kekuatan mental, ia sudah mengintegral dalam tubuhnya. Dengan kata lain, kedepan santri akan membuka zona ‘baru’ yang mungkin tidak terdeteksi dan terprediksi oleh tokoh intelektual manapun, tapi mengalami lompatan lompatan kemajuan yang luar biasa.

Dibandingkan dengan AI, secara rasional mungkin manusia (baca;santri) akan kalah dalam prosedur rasional  yang beberapa dekade ini memenuhi dunia ilmiah dan sains. Haidar Bagir (2019) menyebutkan bahwa mahdzab tunggal metode saintifik sudah mendapatkan tantangan dari berbagai mahdzab lain dalam pemikiran filsafat sains, ada kecenderungan dunia ilmiah untuk mengandalkan kemampuan manusia pada dua prosedur ilmiah saja, rasional dan empiris.

Ada tiga setidaknya, yang menjadi case (argumen) dengan mengemukakan kemampuan intuitif, imajinatif dan daya moral sebagai keunggulan atas AI, sebagaimana diungkapkan Haidar Bagir. Dan ketiganya itu, adalah karakter dasar yang dimiliki para santri untuk menyelesaikan dan beradaptasi dalam lingkungan pesantren.

Intuitif misalnya, dalam wikipedia, intuisi atau intuitif ini adalah isitilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu datang tiba tiba, semamacam hikmah, kalau para santri menyebutnya. Ia bisa datang kapan saja tanpa ada penalaran sosial dan intelektualitas mumpuni, dan tidak semua dapat dijelaskan sebab musababnya. Inilah yang disebut dengan kekuatan psikis yang sangat berperan penting dalam menunjang kesuksesan hidup. “Kulo nurut, dawuhe bapak ibu kaleh kyai kemawon”, bagi sebagian orang mungkin tidak masuk akal dan tidak rasional. Tapi tenyata hal itulah yang membuat daya intuitif ini tumbuh dan mengakar di kalangan santri. Dan itu tidak dimiliki oleh alat secanggih apapun produk AI.

Sedangkan imajinatif sendiri adalah daya pikir untuk menggambarkan dan membayangkan dalam angan angan berdasarkan pengalaman hidup secara umum dan natural. Impian menjadi begitu penting dikalangan para santri, cita cita hidup yang mulia, pemahaman hidup yang hakiki akan membentuknya menjadi pribadi yang ulet dan tidak mudah dikalahkan. Dan itu tidak akan ada dalam AI.

Terakhir adalah daya moral, mungkin semua santri akan sepakat bahwa akhlak dan moral adalah produk dan hasil keilmuan yang paling tinggi di pesantren. Orang akan mulia dengan ilmu, tapi ia akan hina jika tanpa disertai akhlak. Nabi Muhammad Saw, diutus oleh Allah SWT ke bumi salah satunya adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana sabdanya. “ Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanya untuk menyempunakan Akhlaq” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad no 273) dan Rasulullah juga menambahkan “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor” (HR Tirmidzi no 2002).  Dan saya yakin sekali, AI tidak akan mempunyai itu.

Akhir kata, santri akan tetap berkembang sesuai zamannya. Tinggal mau atau tidaknya. Sebab bekal ketiga diatas sudah dimilikinya jauh jauh hari sejak di pesantren. Zaman dan era ‘baru’ santri sedang berlangsung dan akan ditentukan oleh kualitas pendidikan pesantren dan ciri khas lulusannya. Semoga bermanfaat dan selamat hari santri Nasional.

*Penulis adalah Pengasuh di PA PP Al Mizan Muhammadiyah Lamongan, Ketua PDPM Bid Kaderisasi dan Pendidikan.   Dapat dihubungi di 085606821440

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *