Senin, 06 Mei 2024

Sekolah Kebebasan Ala Freedom Writers

 

Penulis : Irvan Shaifullah S.Kep

MPK PCM Lamongan, Alumnus dan Pengajar di Ponpes Al Mizan Muhammadiyah Lamongan

 

Pendidikan menjadi salah satu kunci penting dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Berbagai masalah yang menerpa bangsa ini membuat banyak kemerosotan menjadi tampak nyata terutama dalam pembangunan karakter dan akhlak. Sebabnya tentunya adalah sistem pendidikan yang terbengkalai. Moratorium ditiadakannya Ujian Nasional yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Prof. Muhadjir Efendi juga mengalami nasib yang sama dalam mengawal perubahan, ‘tumbang’. Pendidikan sudah tidak lagi dibangun atas naluri mengabdi pendidiknya. Kesejahteraan pendidiknya memasuki ranah politik penguasa yang rentan sekali ditunggangi oleh banyak pihak. 

Anak - anak kita punya tradisi ‘dihafal, bukan dipikir’, hal itu yang membuat mata pelajaran yang dipelajari menang kuantitas dan kalah kualitas. Banyak tetapi tidak mendalam.  Cara yang demikian itu, mengutip tulisan Prof Renald Kasali dalam bukunya Lest Change (2014), berpotensi menghasilkan ‘penumpang’ daripada ‘pengemudi’. Banyak orang lebih senang duduk menunggu, hidup ‘menumpang’, dituntun’, atau diarahkan ketimbang  menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis. Transformasi mengubah mindset ‘penumpang’ menjadi ‘pengemudi’ menjadi sangat penting dan mendesak. Dan sudah pasti akan berdampak sangat luas, baik dari segi pro dan kontra maupun pelaksanaan yang bertahap dan memakan waktu yang sangat lama.

Perubahan ini menjadi sangat penting, karena riset-riset terbaru menunjukkan bahwa mindset seperti itu harus segera diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.

Rhenald Kasali dalam bukunya, Lest Change (2014)  menyebutkan bahwa bangsa besar tak akan membiarkan generasi penerusnya dibesarkan dalam lingkungan kacau.  Karena itulah, sejak Confusius, bangsa-bangsa Asia percaya keluarga adalah alat pendidikan penting. Oleh karena sangatlah wajar, dengan keadaan pendidikan kita yang serba diukur dengan angka dan peringkat, orang tua berbondong-bondong membuat kurikulum sendiri yang harus dijalankan oleh anaknya.

“Pintu awal kekacauan” ini diperparah dengan laporan kemajuan pendidikan anak yang diukur  hanya semata-mata dengan angka. Orang tua sangat butuh mendengarkan perkembangan verbal anaknya, disiplin, diskusi, pergaulan, minat, kepatuhan, kreativitas, metodologi, hubungan vertikal-horizontal dan sikap sosial. Akibatnya memang, pendidikan  yang seharusnya didapatkan anak di dalam lingkungan keluarganya menjadi persoalan yang lepas diperhatikan, dan tertimbun pendidikan formalnya.

Tujuan pendidikan kita seharusnya membebaskan serta memperbaiki cara pandang dan berpikir seseorang. Karena kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Pendidikan diciptakan bukan untuk membentuk belenggu-belenggu baru, sekat -sekat baru. Pendidikan seharusnya mampu mengantarkan masyarakatnya menjadi pribadi yang saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan. Salah satu ‘pintu masuknya’ adalah pendidikan dalam keluarga.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembaruan, gerakan sosial dan karya-karya monumental berawal dari lingkungan sekolah. Tapi hanya guru inspiratif-lah yang melihat potensi dan kreativitas itu. Dan itu sangat jarang sekali. Maka itu menjadi perkara mudah, apabila pendidikan di dalam keluarga sudah terbentuk dan terjalin berkesinambungan sejak awal. Di dalam lingkungan keluarga, hal hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki menjadi mudah untuk diperbaiki, hal hal yang dipercaya banyak orang sulit dihubungkan menjadi sangat mudah dihubungkan. Dan itu tidak ada yang mustahil. Misalnya, sejak kecil anak (belum baligh) dididik untuk melakukan sholat tepat 5 waktu bersama orang tuanya. Bagi sebagian keluarga, mungkin itu sangat sulit. Tetapi apabila dilakukan secara terus menerus dengan komunikasi yang baik. Sampai dewasa pun, pendidikan sholat tepat waktu itu akan tertanam.

Kisah lain, karya guru inspiratif Erin Gruwel yang ditulis Prof Renald Kasali dalam Kompas hal 40 Rabu, (29/9/2007). Dikisahkan bahwa Erin Gruwel adalah guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Erin Gruwel memulai dengan segala kesulitan. Selain “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, tempramental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Diluar sekolah mereka terkenal saling mengancam dan membunuh.

Erin Gruwel tak putus asa. Ia membuat kurikulum sendiri yang bukan berisi ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup. Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah dilantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng.

Line gamesmenyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain, dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa rileks terhadap guru dan teman temannya serta saling sepakat untuk memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif mereka membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hillary Swank.

Memang sudah seharusnya, pendidikan kita mengambil semangat “Freedom Writers” dalam implementasinya di sekolah. Rasa percaya diri, hubungan personal dan pengendalian hidup adalah elemen-elemen penting pembentuknya. Tidak hanya untuk  “murid-murid” Erin Growel, konsep pendidikan ala Freedom Writers ini juga menjadi sangat hebat apabila mampu diterapkan dalam kelas kelas pintar dan disiplin. Menjadi penyeimbang, ilmu pengetahuan dan kehidupan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *