Senin, 08 Desember 2025

Sikap Orang-Orang Mukmin Terhadap Al-Qur’an (3)

Pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan pada al-Qur’an, baik mengenai turunnya dari Allah maupun tentang hidayahnya bagi orang yang bertaqwa. Kemudian pada ayat ini, Allah menjelaskan sebagian tanda-tanda orang yang bertaqwa kepada Allah SWT, sebagai berikut:

1. Beriman kepada yang ghaib

Beriman kepada yang ghaib yaitu meyakini adanya maujud yang di luar jangkauan indera, apabila ada petunjuk dari dalil yang kuat atau akal yang sehat. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Dan apabila Rasul menjelaskan adanya alam yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, Malaikat atau Hari Akhir, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi Muhammad saw.

Orang yang tidak meyakini adanya maujud yang berada di luar jangkauan indera, sulitlah baginya meyakini adanya adanya Pencipta alam semesta, dan amat kecil kemungkinannya menemukan jalan untuk mengajaknya kepada kebenaran. (Al-Maraghi, I:41).

Rasyid Rida, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah,tidaklah mungkin memperoleh hidayah dari al-Qur’an, maka ia harus diberi penjelasan dengan argumentasi yang rasional mengenai adanya Pencipta alam semesta ini. Kemudian dimantapkan keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT. Oleh karena itulah pada ayat yang sedang dibahas ini Allah menegaskan, orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada yang gaib. (Rasyid Ridha, I:127).

2. Mendirikan salat

Dalam bahasa Arab, ash-shalah, berarti ad-dua’ (berdoa), seperti disebutkan dalam firman-Nya: Fa Shalli ‘alaihim (berdoalah untuk mereka). (QS. at-Taubah (9): 103). Berdoa kepada Allah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan atau dengan keduanya, memberikan pengertian bahwa orang yang berdoa mempunyai keperluan kepada-Nya sebagai rasa syukur terhadap kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadanya atau sebagai permohonan agar terhindar dari bencana.

Salat yang dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan oleh Islam, merupakan cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa keagungan Allah dan kebutuhan yang amat besar kepada-Nya, jika dilakukan sesuai dengan cara yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dengan khusyu’ (merendah) dan khudu’ (merunduk), jika dilakukan tanpa khusyu’ dan tanpa khudu’, maka salat tersebut kosong dari ruh, sekalipun bentuk dan caranya telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Pada ayat di atas dipergunakan istilah yuqimuna-sholah (mendirikan salat), mengandung pengertian bahwa salat harus dilakukan dengan sempurna, tanpa kekurangan apapun, seperti mendirikan batang kayu dengan tegak lurus, tidak condong sedikitpun (al-Maraghi, I:42). Maka ketika mendirikan salat harus menghadirkan hati dalam semua bagian-bagiannya, ketika berdiri, ruku, sujud, dan duduk, dan disertai rasa takut kepada azab-Nya serta berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, Allah pencipta alam semesta, seakan-akan melihat-Nya, sekalipun tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَانَّك تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Hendaklah menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, tetapi Allah melihatmu. (HR. al-Bukhari, I:11).

Maka mendirikan salat harus memenuhi dua unsur: unsur ruh salat yaitu khusyu’ dan khudu’, dengan menghadirkan hati dalam semua geraknya, dan unsur tubuh salat, yaitu: berdiri, ruku’, sujud dan duduk dengan sempurna.

Disamping itu, Allah juga memerintahkan agar dilakukan secara terus menerus, sebagaimana ditegaskan dengan firman-Nya:

 ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِہِمۡ دَآٮِٕمُونَ

Mereka yang tetap setiap mengerjakan salatnya” (Qs. al-Ma’arij/70: 23)

Juga memerintahkan agar dilakukan tepat waktu:

 إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَـٰبً۬ا مَّوۡقُوتً۬ا

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (Qs. an-Nisa/4: 103)

Bahkan Allah memerintahkan agar selalu dilakukan secara berjama’ah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

 وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” (Qs. al-Baqarah/2: 43)

 

Dalam suatu hadis Rasulullah saw. bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“(Pahala) salat berjama’ah melebihi salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat” (HR. al-Bukhari riwayat dari Abdullah bin Imran. I: 78)

Salat yang sempurna itulah yang mampu menjaga seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ‌ۗ

Sesungguhnya salat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar (Qs. al-Ankabut/29: 45)

Apabila akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian besar koruptor, pencuri, penipu, perampok, pencopet dan pelaku kejahatan lainnya adalah orang-orang yang rajin mengerjakan salat, maka kemungkinan besar mereka tidak melakukannya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Karena itulah Allah swt juga mengancam orang-orang yang salat dengan ancaman yang sangat menakutkan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya

فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥

ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ (٦) وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ (٧ 

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, oramg-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna” (Qs. al-Maun/107: 4-7)

3. Memberikan Infak

Para mufassir berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan infaq pada ayat 3 al-Baqarah, adalah infak dalam arti umum, mencakup infak wajib dan infak tatawwu’ (sunnah). Huruf mim yang terdapat pada kalimat min ma razaqnahum, mengandung makna ba’diyah (sebagian), maka nafkah yang diperintahkan untuk dikeluarkan hanyalah sebagian harta yang dimiliki, tidak semuanya. Yang demikan itu dimaksudkan agar pemberian nafkah itu dilakukan dengan ikhlas, hanya mencari keridaan Allah semata dan karena bersyukur kepada Allah, bukan karena riya’ (pamer) atau mencari popularitas. (Rasyid Ridha, I:130).

Mengeluarkan infak atau zakat memang belum mendapat perhatian dari kaum muslimin, padahal apabila infak atau sadaqah dikelola dengan baik, insya Allah dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sebab jumlah orang muslim yang tergolong mampu di Indonesia tidak sedikit. Namun mereka masih merasa berat mengeluarkan infak, padahal sebagian harta mereka adalah milik orang-orang miskin. Sebagian besar kaum muslimin, sangat ringan mengerjakan shalat, puasa, bahkan menunaikan ibadah haji, yang biayanya sangat besar. Tetapi apabila diajak untuk menginfaqkan sebagian rezekinya di jalan Allah, misalnya untuk membantu anak yatim, orang miskin, atau kemaslahatn umum lainnya, mereka merasa sangat berat.

4. Beriman kepada Kitab-kitab Allah

a. Beriman kepada al-Kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., Kitab suci yang terakhir. Pada ayat tersebut digunakan kata unzila (diturunkan), karena wahyu (al-Kitab) itu diturunkan dari Yang Maha Tinggi, Allah swt., pencipta alam semesta. (Rasyid Ridha, I: 132).

Menurut al-Maraghi, dimaksudkan dengan Bima unzila ilaika, ialah al-Qur’an dan penjelasan-penjelasan dari Nabi saw, seperti jumlah rakaat dalam salat dan hukuman kejahatan, sebab penjelasan dari Nabi saw adalah wahyu, sekalipun tidak termasuk al-Qur’an. (al-Maraghi, I:43). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:

 وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ (٣) إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ (٤

Dan ia tidak berkata menurut keinginan hawa nafsunya. (perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Qs. an-Najm/53:3-4)

Dan berdasarkan firman-Nya pada ayat yang lain:

  وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّڪۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡہِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Qs. an-Nahl/16:44)

b. Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi saw. Beriman kepada al-Qur’an harus secara rinci, meliputi semua bagian-bagiannya. Sedang beriman kepada kitab sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan sebagainya cukup secara garis besar. (Rasyid Rida, I: 131).

5. Yakin akan adanya Hari Akhir

Yakin ialah pembenaran dengan pasti yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun. Maka meyakini adanya kehidupan di Hari Akhir berarti membenarkan dengan pasti adanya surga, neraka, balasan dan sebagainya yang terjadi di hari Akhir kelak. Jika seseorang masih melakukan atau melanggar larangan-larangan Allah, seperti minum khamr, berzina, mencuri, korupsi, menipu, dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, maka imannya dan keyakinannya akan adanya Hari Akhir hanyalah khayalan belaka, sebab tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa dan perilakunya.

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa iman dapat dicapai dengan dengan salah satu dari dua jalan:

  1. Dengan penalaran dan pemikiran terhadap hal-hal yang memerlukan pemikiran, seperti wujud Allah, dan risalah Rasul.
  2. Melalui berita dari Rasul saw, atau berita dari para sahabat yang langsung mendengar dari Rasul secara mutawatir, yang langsung mendengar dari Rasul secara mutawatir, yang tidak terdapat keraguannya sama sekali (al-Maraghi, I:44)

Pada ayat 5 surat al-Baqarah, ditegaskan bahwa meraka, yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, menginfaqkan sebagian hartanya, beriman kepada al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya serta beriman akan adanya Hari Akhir, adalah orang-orang yang memperoleh hidayah dan keberuntungan, yaitu selamat dari siksaan di akhirat dan masuk surga yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman.

 

Penulis                        : Saad Abdul Wachid

Sumber                       : http://tuntunanislam.id/

 

Halaman Sebelumnya : Sikap Orang-Orang Mukmin Terhadap Al-Qur’an (2).......

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *