Tujuan penjelasan tentang sifat-sifat orang-orang munafik pada ayat-ayat tersebut di atas, ialah agar orang-orang mukmin tidak terpedaya oleh mereka dan agar terhindar dari segala macam kerusakan. Sifat orang-orang munafik sebagaimana disebutkan pada ayat 8-20 surat al-Baqarah antara lain ialah: mengaku beriman, berusaha menipu Allah SWT, Rasulullah SAW dan orang-orang mukmin dengan cara berpura-pura beriman kepada Allah, berpura-pura cinta kepada Nabi, dan berpura-pura cinta kepada orang-orang mukmin, tetapi sebenarnya mereka mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi Allah, Rasul dan orang-orang mukmin. Pada ayat-ayat tersebut (8-9) memang tidak disebutkan penipuannya kepada Rasul, tetapi secara rasional, setiap penipuan kepada Allah adalah penipuan kepada Rasul, sebab Rasulullah adalah utusan Allah yang menyampaikan perintah-Nya. Dengan demikian pula setiap penipuan kepada Rasul, adalah juga penipuan kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Qs. an-Nisa/4: 80).
Sifat munafik, sebagaimana disebutkan pada ayat 8-10, juga diungkapkan pada ayat-ayat lainnya, seperti dalam QS at-Taubah (9) ayat 64, 67, 68, 77, 97 dan 101, QS al-Ahzab (33) ayat 12, 60, 73, dan di beberapa ayat lainnya.
Sifat munafik juga diungkapkan dalam beberapa hadits, seperti: Kamu akan menemukan orang yang paling jahat bagi Allah pada hari kiamat, yaitu orang yang bermuka dua, jika bertemu dengan segolongan orang, bermuka begini, tetapi jika bertemu dengan golongan lainnya, bermuka lain. (Sahih al-Bukhariy, dari Abi Hurairah, kitab al-Adab, IV: 39).
Dalam hadis lainnya Rasulullah bersabda:
أَيَةُ الْمُنَافِقُوْنَ ثَلاَثٌ: إذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا أُؤْتُمِنَ خَانَ
Ciri-ciri orang munafik ada tiga: apabila berkata selalu berdusta, apabila berjanji selalu mengingkarinya, dan apabila diberi amanat selalu mengkhianatinya.
Dari penjelasan hadis tersebut, sangat tampak bahwa orang munafik di mana pun dan kapan pun sangat berbahaya. Karena itulah Rasulullah SAW sangat berhati-hati terhadap mereka, sebab sifat-sifat yang demikianlah yang merusak kehidupan masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini di terangkan ayat demi ayat. Pada ayat 8-10, sifat-sifat orang munafik diungkapkan sebagai berikut.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ (8) يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ (9) فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضً۬اۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ 10
Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (10).
Ketika menafsirkan ayat 8 dan 9 tersebut, Rasyid Rida menjelaskan bahwa ayat tersebut bukanlah berkenaan dengan orang-orang munafik yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an, maupun yang hidup pada masa sekarang ataupun yang hidup pada masa yang akan datang. Karena itulah pada ayat tersebut tidak disebutkan: “dan iman kepadamu hai Muhammad”. (Rasyid Rida, I: 149).
Pada ayat 10, dinyatakan bahwa “dalam hati mereka ada penyakitnya, lalu ditambah Allah penyakitnya.” Pada ayat tersebut digunakan kata isti’arah (metafora): pemakaian kata yang bukan dengan arti yang sebenarnya, karena yang dimaksudkan dengan penyakit dalam hati, bukanlah karena hatinya terkena kuman atau virus, melainkan yang dimaksudkan, ialah bahwa keyakinan mereka tidak sehat, sebab tidak sesuai dengan al-Qur’an. Maka hati orang-orang mukmin dikatakan sehat, sebab keyakinannya sehat, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٍ۬ سَلِيمٍ۬ 89
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (Qs. asy-Syu’ara/26: 89).
Karena orang munafik itu tidak sehat keyakinannya, maka akhirnya pendiriannya tidak menentu, terombang-ambing ke sana dan ke mari, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits Nabi SAW:
مَثَلُ الْمُنَافِقُوْنَ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْمَائِرَةُ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيْرُ إِلَي هَذَا مَرَّةً وَإِلَي هَذَا مَرَّةً
Perumpamaan orang munafik adalah seperti domba yang bingung antara dua kambing, kadang-kadang tersesat ke sini dan kadang-kadang tersesat ke sana. (Shahih Muslim, dari Ibnu ‘Umar, Sifatul Munafiqin: 17).
Sekalipun demikian, mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil, sebab mereka masih dapat diharapkan kembali kepada kebenaran, insya Allah, dan dengan tegas Rasulullah melarang berbuat sewenang-wenang kepada mereka, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah:
Datanglah seseorang kepada Rasulullah SAW di Ji’narah, dan baru saja keluar dari perang Hunain. Ketika itu Bilal membawa perak dalam bajunya, kemudian Rasulullah mengambilnya dan membagikannya kepada orang-orang yang berada di tempat itu. Lalu berkatalah orang tersebut: Hai Muhammad berbuat adil! Kemudian bersabdalah Rasulullah: Mengapa kamu berkata seperti itu? Siapa yang dapat berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Sungguh aku gagal dan merugi, jika tidak dapat berbuat adil. Kemudian berkatalah ‘Umar bin Khattab: Ya Rasulullah, biarlah saya bunuh orang munafik itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Jangan! Aku mohon perlindungan kepada Allah dari perbincangan orang, bahwa saya membunuh sahabatku. Sesungguhnya orang-orang munafik ini dan sahabat-sahabatnya juga membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai ke kerongkongan mereka, mereka melepaskannya sebagaimana lepasnya anak panah dari sasarannya.” (Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, Kitabuz-Zakah: 142).
Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridha menjelaskan, bahwa yang dimaksudkan dengan “qalb” (hati) adalah akal, dan yang dimaksudkan dengan penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menggangu akal, sehingga daya tangkapnya menjadi lemah dan timbullah keraguan dan kesamaran serta kegelapan. (Rasyid Rida, I: 153). Akal adalah salah satu unsur yang membedakan antara yang hak dan yang batil, jika akalnya sehat, ia akan lebih cinta kebenaran dan dapat terhindar dari keraguan dan kegoncangan. Orang munafik dilukiskan sebagai orang yang hatinya berpenyakit, karena ia lebih suka kebatilan, sebab akalnya tidak sehat atau lemah, sehingga merusak aqidah.
Menurut Muhammad Abduh, sebab-sebab kelemahan akal ialah:
- Karena pembawaan, seperti idiot.
- Karena kesalahan pendidikan dan pengarahan terhadap akalnya, seperti muqallid (orang yang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya), yang mengikuti nenek moyangnya tanpa mengetahui alasan-alasannya. (Rasyid Rida, I: 154). Orang seperti inilah yang dilukiskan dalam firmannya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ ڪَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ يَدۡعُوهُمۡ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ 21
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(tidak), tapi kami akan mengikuti apa yang kami dapati (dijalani) moyang kami”. Apakah mereka (akan mengikuti moyang mereka) walaupun syaitan memanggil mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Qs. Luqman/31: 21)
Akhirnya mereka menyesali perbuatannya, sebagaimana dilukiskan dalam firmannya:
وَقَالُواْ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۟ 67
Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) (Qs. al-Ahzab/33: 67)
Penyakit orang munafik terus bertambah dan berkembang setiap datang ajakan kepada kebenaran, bahkan semakin bertambah dendam dan dengkinya kepada Rasulullah SAW, sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah:
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَتۡہُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ ڪَـٰفِرُونَ 125
Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka bertambahlah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (Qs. at-Taubah/9: 125).
Kemudian ayat 10 ditutup dengan ancaman: bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih, karena kebohongannya.
Selain ancaman yang disebutkan pada akhit ayat 10, terdapat juga ancaman-ancaman terhadap oorang-orang munafik yang lebih keras, antara lain ialah:
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيرًا 145
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka (Qs. an-Nisa/4: 145).
Ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang munafik, bertujuan untuk memperingatkan bahwa dusta itu sangat besar dosanya, sebab dusta adalah sumber segala kejahatan.
Pada ayat 11 dan 12, sifat orang munafik diungkapkan sebagai berikut (terjemah)
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (QS al-Baqarah: 11-12).
Al-Qosimiy, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perbuatan kerusakan di muka bumi, ialah memberikan bantuan kepada orang-orang kafir dalam memusuhi oarang-orang Islam, dengan menyampaikan rahasia orang-orang Islam kepada orang-orang kafir, membuat provokasi, menjadikan orang-orang kafir sebagai teman karib, mengajak orang-orang kafir agar mendustakan Nabi SAW, menanamkan sikap keragu-raguan dan dendam, sehingga mengobarkan permusuhan orang-orang kafir terhadap Nabi dan menimbulkan peperangan yang mengakibatkan kerusakan besar di muka bumi ini (al-Qosimiy, II: 47). Namun, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka telah berbuat kerusakan. Bahkan lebih parah lagi, karena mereka telah menghalang-halangi orang-orang dari kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Pada ayat 13, kesombongan orang-orang munafik dilukiskan sebagai berikut (terjemah):
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu (QS al-Baqarah: 13)
Mereka beranggapan bahwa para pengikut Nabi SAW adalah orang-orang bodoh. Orang-orang Muhajirin dikatakan bodoh, karena mereka meninggalkan kampung halamannya serta rumah-rumah yang ada di Makkah. Adapun orang-orang Anshar, mereka dianggap bodoh, karena mereka bergabung dengan orang-orang Muhajirin. (al-Maraghiy, 1969, II: 45).
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Rasyid Rida menjelaskan bahwa diantara orang-orang munafik yang paling jahat adalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan para sahabatnya. Mereka tidak sadar bahwa merekalah sebenarnya yang bodoh. (Rasyid Rida, I: 161).
Kejahatan orang-orang munafik tidak terbatas hanya dalam masalah keimanan saja, melainkan juga dalam masalah sosial ekonomi, sebagaimana diungkapkan dalam firmannya:
هُمُ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنفِقُواْ عَلَىٰ مَنۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّواْۗ وَلِلَّهِ خَزَآٮِٕنُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ لَا يَفۡقَهُونَ 7
Merekalah orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami (Qs. al-Munafiqun/63: 7)
Penulis : Prof. Drs. H. Saad Abdul Wahid
Sumber : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya: Sikap Orang-Orang Munafik (1)....
Halaman Selanjutnya: Sikap Orang-Orang Munafik (3)........