Minggu, 19 Mei 2024

Surga Haji Mabrur (2)

Puncak ketaatan hamba kepada Allah disimbolkan dalam penyembelihan hewan Qurban. Para ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan qurban adalah simbol dari ajaran Islam yang mengajarkan agar sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia harus dikorbankan, seperti sifat rakus, ingin menang sendiri, hidup dengan mengandalkan ototnya dalam mengatasi permasalahan, bukan dengan akalnya yang merupakan kelebihan manusia, dan sebagainya. Menapak tilas kisah Nabi Ibrahim dalam ketaatan melaksanakan perintah menyembelih putranya Ismail, Allah menggantikan Ismail a.s. dengan seekor gibas yang gemuk, padahal kedua bapak-anak itu sudah pasrah mentaati perintah Allah, hal ini menegaskan bahwa mengorbankan manusia (atau kemanusiaan) untuk tujuan ritual, sebagaimana tradisi umat-umat sebelumnya, tidak diperkenankan lagi.

Inilah puncak ketaatan hamba kepada Rabb-nya; bahwa apabila perintah Allah telah datang, maka segala sesuatu menjadi tidak berharga, bahkan nyawa sekalipun. Melalui kisah ini, Allah menegaskan bahwa Dzat-Nya, berikut perintah-perintah-Nya, harus diletakkan lebih tinggi melebihi dari apapun yang ada di dunia ini.

Ketika melaksanakan ibadah haji atau umrah, selain Ka’bah dan Makkah, kaum mukminin dapat juga menelusuri jejak perjuangan Rasulullah dari Arafah, Mina, Gua Hira’, Gua Tsur, Tan’im, al-Hudaibiyah, Muzdalifah, Masjid Namirah, hingga Darul Arqam, dan sebagainya. Biasanya, mereka mengunjungi juga kota Madinah al-Munawwaroh untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan Umar ibn Khattab r.a. serta sahabat-sahabat lain yang dimakamkan di pemakaman Baqi’ al-Gharqad, dan memberi salam kepada mereka.

Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorangpun yang memberikan salam kepadaku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku kepadaku, agar aku bisa membalas salamnya”. (Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa hadits ini jayyid, sedangkan menurut al-Albani, hadits ini hasan).

Mengunjungi (ziarah) ke Madinah bukanlah rukun haji maupun umrah. Mengunjungi Madinah dilakukan banyak kaum mukmin sebagai bentuk ta’dhim (rasa hormat yang tinggi) kepada Nabi SAW dan para sahabat, sekaligus dalam rangka mengenang jerih payah perjuangan mereka dalam menyebarkan risalah Islam, agar umat Islam terdorong untuk meneladani dan mengembangkannya di segenap penjuru bumi.

Rasulullah menganjurkan untuk mengunjungi Masjid Nabawi dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (Masjid Nabawi, Madinah) dan Masjidil Aqsha“. (Muttafaq ‘alaih)

Makna Haji Mabrur

Haji mabrur adalah sesuatu yang istimewa, sebagaimana istimewanya Tanah Suci. Namun, ada salah kaprah dalam masyarakat, bahwa haji Mabrur seolah-olah merupakan suatu gelar yang semata-mata melekat begitu saja sepulang dari Tanah Suci. Tidaklah demikian! Menjadi haji mabrur adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan amal. Sebab, kata ‘mabrur” itu berakar dari kata ‘al-birr” yang bermakna baik atau kebaikan. Kebaikan tidak akan terwujud tanpa diiringi dengan usaha dan amal shaleh.

Sebagian ulama mengartikan “mabrur” dengan “maqbul”, yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Dengan kata lain, gelar haji mabrur harus berefek pada sikap dan perilaku sehari-hari yang menunjuk pada hal-hal yang baik dan dapat diterima dalam pandangan Allah dan manusia. Artinya, haji mabrur harus dapat menggabungkan antara aspek keberimanan (amana) dengan amal shaleh (amila al-shalihat), serta harus dapat menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah (hablun minallah)  dan mu’amalahnya dengan sesama manusia (hablun minannas).

Tidak menyakiti orang lain, menghina, berbohong, menipu, dan segala bentuk perbuatan buruk lainnya adalah perilaku yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Sebaliknya, Menepati janji, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, menolong orang yang sedang kesusahan, ikut berkiprah dalam mengembangkan lembga pendidikan Islam, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan segala sesuatu yang baik adalah diantara perilaku yang harus diwujudkan dan senantiasa menghiasi kehidupan seorang haji mabrur.

Banyak orang telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah, mulai dari orang biasa yang mampu mengumpulkan uang guna membeli tiket ke Tanah Suci, para pedagang, karyawan, guru, dosen, pengusaha, lurah, camat, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi, apakah hajimereka mendaat kemabruran? Ataukah hanya sekedar ‘mabur’ (terbang, bhs. Jawa, karena naik pesawat terbang) Itulah permasalahannya.

Haji mabrur, jika dipikirkan secara mendalam, adalah potensi yang luar biasa sekaligus investasi umat Islam. Seandainya setiap jamaah haji mendapat kemabrurannya, maka alangkah mudah dan cepatnya kita bisa melakukan perbaikan kehidupan dalam segala bidang. Setiap tahun, Indonesia memberangkatkan lebih kurang 200 ribu jamaah haji. Maka, minimal setiap tahun kita akan mendapatkan 200 ribuan orang yang siap melakukan perbaikan-perbaikan, apalagi jika meeka bersedia mentransfrmasikan kebaikannya itu kepada orang lain. Baik melakui jabatan strukturalnya maupun secara cultural.

Inilah antara lain makna yang harus dihayati dan dilaksanakan oleh seorang yang merasa mendapatkan haji mabrur. Sebab, haji mabrur itu balasannya tak lain adalah surga, sebagaimana sabda Nabi yang kita tuliskan di muka. Tidak mungkin kiranya haji mabrur adalah buah dari ibadah ritual pribadi seseorang kepada Allah, tanpa diikuti oleh usahanya melaksanakan kebaikan-kebaikan yang menjadi kewajiban setiap muslim. Bukanlah disebut kebaikan jika sekedar menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, sebagaimana firman Allah berikut.

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآٮِٕلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَـٰهَدُواْ‌ۖ وَٱلصَّـٰبِرِينَ فِى ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِ‌ۗ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan (al-birr), akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah/2: 177)

   

Penulis                        : Tim Redaksi

Sumber Artikel           : tuntunanislam.id

Halaman Sebelumnya  : Surga Haji Mabrur (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *