Pendapat tersebut dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda: (Apabila kamu membaca al-hamdu lillah (al-Fatihah), maka bacalah “Bismillahir-Rahmanir-Rahim”, sebab al-Fatihah adalah Ummul Qur’an (induk al-Qur’an dan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, sedangkan “Bismillahir-Rahmani-Rahim” adalah salah satu ayat dari ayat-ayat al-Fatihah (Ad-Daruqutny).
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa basmalah merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri, diturunkan untuk menjelaskan permulaan surat dan untuk memisahkan antara satu surat dengan surat lainnya. Pendapat tersebut didukung ulama Madinah dan ulama Syam (Syiria) (al-Maraghi, 1969, I: 27).
Lafal “ism” yang berarti nama, adalah suatu lafal yang menunjukkan benda konkrit, seperti Zaid, lembu dan sebagai-nya dan benda abstrak, seperti: akhlak, kebenaran dan sebagainya.
Lafal “ism” yang dihubungkan dengan lafal jalalah, seperti Allah dan Rabb dalam al-Qur’an, dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 23 ayat, dan mengandung makna kesucian. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kepada kita agar menyebutkan dan mensucikan nama Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya Qs. al-Muzammil (73) ayat 8 (Dan sebutkanlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati)
Pada ayat lainnya Allah berfirman dalam Qs. al-Ihsan (76) ayat 25 (Dan sebutlah nama Tuhanmu, pagi dan siang).
Menyebut nama Allah tidaklah cukup hanya dengan ucapan, melainkan harus menghadirkan hati, sehingga dapat benar-benar mengingat keagungan, kebesaran dan kesucian-Nya.
Allah membuka al-Qur’an dengan basmalah mempunyai tujuan agar kita membiasakan membaca basmalah pada setiap memulai suatu pekerjaan.
Dalam suatu hadits, Nabi SAW. menegaskan sebagai berikut: “suatu perkataan atau perkara yang penting, jika tidak dimulai dengan menyebut nama Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia, maka pekerjaan itu sia-sia” (Musnad Ahmad, II, 359, dari Abi Hurairah).
Apabila seseorang memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, maka ia telah memenuhi perintah Allah dan telah berniat hanya mencari keridhaan-Nya, dan meyakini bahwa kemampuan yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT.
Pada ayat berikutnya Allah berfirman Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin (segala pujian hanya bagi Allah, Tuhan semesta Alam). Lafal al-hamdu dan asy-syukru sering disebutkan secara bersamaan. Namun demikian, para mufassir membedakan pengertian antara kedua lafal tersebut:
Syukru adalah pengakuan terhadap keutamaan, baik dengan hati, ucapan maupun dengan anggota badan. Para ulama berpendapat bahwa bersyukur dengan ucapan adalah lebih tepat daripada dengan hati atau dengan anggota badan. Sebab menyampaikan rasa syukur atau terima kasih dengan hati atau dengan anggota badan, tidak dapat dimengerti.
Selanjutnya, para mufassir juga membedakan antara pengertian lafal “Allah” dan “rabb”. Allah adalah Khaliq (Pencipta) yang disembah dengan haq (benar), dan nama “Allah” tidak dapat digu-nakan untuk nama selain-Nya. Sedangkan lafal “rabb” berarti Tuhan Yang Menciptakan, Mengasuh, Mendidik dan Mengatur semesta alam.
Lafal rabb kadang-kadang juga digunakan bagi selain Allah, dengan arti yang berbeda. Misalnya, “rabbud-daar”, artinya: yang mempunyai rumah. Ketika menceritakan Nabi Yusuf, Allah berfirman dalam Qs. Yusuf (12) ayat 23 (sesungguhnya suamiku adalah tuanku, ia telah memperlakukan aku dengan baik).
Yang dimaksudkan dengan (al-‘alamin) pada ayat tersebut ialah semesta alam; langit, bumi, manusia, malaikat, jin dan semua makhluk Allah, baik yang ada di langit maupun di bumi dan di ruang angkasa lainnya.
Ringkasnya, makna “alhamdu lil-lahi rabbil-‘alamiin” ialah: segala puja dan puji hanyalah milik Allah swt. Sebab, Dialah sumber seluruh alam. Dialah yang menciptakan, mengatur dan mengawasi alam semesta, dari permulaan hingga sempurna dan hingga akhir. Dialah yang memberi kenikmatan Dialah yang memberi ilham dan hidayah hingga dapat membedakan antara yang haq dan batil, antara yang baik dan buruk. (al-Maraghi, I: 30).
Kemudian, ayat berikutnya menyebutkan adanya sifat-sifat Allah yang lain: (arrahmaanir-rahiim – yang bermakna: Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Kedua lafal (ar-rahman) dan (ar-rahim) berasal dari kata ‘ar-rahmah”. “Ar-rahmah” mempunyai pengertian suatu nilai yang ada dalam hati yang mendorong untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Sifat “ar-rahman dan ar-rahim” hanya dimiliki Allah swt., sebab manusia mustahil menyamai sifat-sifat Allah SWT.
Para mufassir membedakan antara lafal “ar-rahman” dan “ar-rahim”. Sifat “ar-rahman” mengandung makna yang melimpahkan kenikmatan dan kebaikan kepada hamba-Nya, tanpa batas dan tanpa akhir. Lafal ini hanya digunakan bagi Allah. Karena itu, orang Arab tidak pernah menggunakan lafal tersebut selain bagi Allah swt. Sedangkan sifat “ar-rahim” adalah sifat yang melekat pada Allah SWT., yang dari sifat itulah muncul kebaikan-kebaikan.
Allah menyebut kedua sifat tersebut untuk menjelaskan bahwa ketuhanan Allah adalah ketuhanan rahmat, bukan ketuhanan kekejaman dan paksaan. Ancaman Allah kepada hamba-Nya di dunia dan di akhirat pada hakikatnya adalah sebagai rahmat. Tujuannya untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran terhadap syari’ah Allah. Tujuan syari’ah Allah sebenarnya untuk kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat (Rasyid Ridla, I: 51).
Pada ayat berikutnya disebutkan sifat lainnya: (Maaliki yaumid-Diin – yang menguasai hari pembalasan). ‘Ashim dan al-Kisa’iy membubuhkan huruf alif pada lafal “Maaliki” (). Sedangkan ulama lainnya tidak membubuhkannya, sehingga menjadi “Maliki”.
Az-Zamakhsyary lebih cenderung ke-pada bacaan para ulama al-harmain (Madinah dan Makkah). Sebab, mereka lebih mengetahui cara membaca al-Qur’an, lebih fasih, lebih memahami maknanya, dan selain itu didukung firman Allah Qs. al-Mu’min (40) ayat 16 (Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan).
Lafal al-Malik (tanpa huruf alif) artinya “yang merajai”, dan lafal “al-Mulk” yang artinya “kerajaan” mempunyai kesamaaan makna. Sementara itu, ulama lainnya berpendapat bahwa bacaan lafal al-Malik dengan “mad” (panjang), yaitu dengan menambah huruf alif lebih baligh (lebih fasih dan lebih tepat). Sebab, penguasa itulah yang mengatur segala urusan rakyat.
Jika dilihat dari segi keutamaan pahala, maka dengan menambah satu huruf, berarti menambah pahala. Sebab, membaca al-Qur’an setiap satu huruf diberi sepuluh kebaikan, sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadits: Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka ia memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan akan diberi sepuluh kebaikan (at-Turmuzy, dari Ibnu Mas’ud).
Menurut al-Qasmy, kedua bacaan tersebut, baik bacaan dengan mad (panjang) maupun tanpa mad, keduanya adalah shahih dan mutawatir (al-Qasimy, 1978, II: 9).
Kata ad-diin dalam al-Qur’an mempunyai beberapa makna, yaitu: tauhid, hukum, agama dan pembalasan. Menurut para mufassir, kata ad-Diin, pada ayat tersebut berarti pembalasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata ad-Diin pada ayat tersebut bermakna al-Hisab (perhitungan). Kami cenderung kepada pendapat pertama, sebab pembalasan sudah mencakup perhitungan.
Kata “al-yaum” pada ayat tersebut memberi pengertian bahwa pembalasan itu telah ditentukan waktunya. Pada hari itulah setiap orang memperoleh balasan dari Allah atas semua amal perbuatannya di dunia. Sebenarnya, para pelaku kejahatan di dunia telah memperoleh hukuman. Tetapi, pada hakikatnya, hukuman tersebut belum setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Demikian pula dengan orang yang melakukan kebaikan. Seakan-akan ia telah memperoleh balasan, seperti kekayaan, kesehatan dan sebagainya. Tetapi pada hakikatnya belum memperoleh semua haknya. Maka, pada hari pembalasan (yaumud-diin) itulah semua orang akan memperoleh balasan yang semestinya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Zalzalah (99) ayat 7-8, (Maka barangsiapa melakukan kebaikan seberat zarrah (biji yang sangat kecil) niscaya ia akan melihatnya, dan barang siapa melakukan kejahatan seberat zarrah niscaya ia akan melihatnya). Ayat ini menjelaskan bahwa seberat apa pun kebaikan atau kejahatan yang dilakukan di dunia, niscaya akan memperoleh balasan yang setimpal.
Firman Allah (yang menguasai hari pembalasan) diletakkan sesudah (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) memberikan pengertian bahwa Allah mendidik dan mengatur hamba-Nya dengan dua jalan, yaitu dengan kasih sayang dan pemberian balasan atas semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia. Maka semua hamba Allah wajib berbakti kepada Allah semata. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada ayat berikutnya: (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Yang dimaksudkan dengan ibadah (penyembahan) ialah sikap tunduk yang tumbuh dari hati kepada yang disembah. Sikap tunduk itu muncul karena mempunyai keyakinan bahwa yang disembah mempunyai kekuatan ilahiyyah, yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan pikiran. Karena itu, orang yang tunduk kepada raja tidak dapat dikategorikan ibadah (menyembah), karena sebab-sebab ketundukannya kepada raja dapat diketahui, yaitu karena takut akan kekejamannya dan kedzalimannya, atau karena mengharapkan belas kasihannya.
Penulis : Prof. Drs. H. Saad Abdul Wahid
Sumber Artikel : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya: Tafsir Surat Al-Fatihah (3)......
Halaman Selanjutnya: Tafsir Surat Al-Fatihah (5)....