Ibadah itu mempunyai bentuk dan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan, perubahan dan pergantian Rasul atau Nabi. Semuanya itu disyariatkan untuk mengingatkan manusia agar taat kepada Allah Yang Maha Tinggi dan untuk meluruskan akhlak serta mendidik jiwa. Jika ibadah itu tidak mempunyai pengaruh terhadap jiwa dan akhlak, maka tidak dapat dinamakan ibadah sebagaimana yang dimaksudkan dalam syariat Islam. Misalnya, ibadah shalat. Allah memerintahkan melakukan shalat dengan sempurna, agar shalat itu berpengaruh terhadap jiwa, sehingga dapat mencegah dari perbuatan yang munkar, baik yang nampak maupun tidak tampak, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Ankabut (29) ayat 45 (Sesungguhnya shalat itu mencegah orang berbuat keji dan munkar).
Jika shalat itu tidak ada pengaruhnya terhadap jiwa, maka shalat itu hanya merupakan gerakan-gerakan yang kosong dari ruh dan makna ibadah. Keagungan dan kemuliaan ibadah shalat itu hilang tanpa bekas. Karena itulah Allah mengancam dengan kata wail (kecelakaan) terhadap orang yang melalaikan shalatnya, yaitu tidak mengerjakannya dengan sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Ma’un ayat 4-5 (Celakalah orang yang shalat, yang melalaikan shalatnya).
Ayat ke-5 surat al-Fatihah ini menegaskan bahwa kita tidak layak menyembah selain Allah, sebab hanya Dialah yang mempunyai kekuasaan mutlak, dan kita tidak pantas menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain Allah, seperti: patung, batu, kuburan, laut, gunung dan sebagainya. Demikian juga, kita tidak layak meminta pertolongan kepada selain Allah mengenai hal-hal yang di luar jangkauan manusia, seperti: menghilangkan bencana alam, mendatangkan manfaat dan sebagainya.
Adapun mengenai hal-hal yang dapat dijangkau manusia tidaklah dilarang, seperti tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan sebagainya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Maidah (5) ayat 2 (Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, tapi janganlah tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan).
Selain itu, ayat ke-5 surat al-Fatihah ini juga merupakan perintah agar kita mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata dan membebaskan jiwa dari segala macam kemusyrikan.
Karena itulah kita harus mohon petunjuk kepada Allah dan bimbingan kepada jalan yang benar, sebagaimana disebutkan pada ayat berikutnya: (tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Lafal ihdina pada ayat ini berasal dari lafal al-hidayah, yang berarti petunjuk.
Rasyid Ridla membagi hidayah yang diberikan kepada manusia menjadi empat macam:
- Hidayah al-wijdan ath-thabi’iy dan al-ilham al-fithry, yaitu hidayah perasaan pembawaan alami dan ilham naluri. Hidayah semacam ini telah diberikan Allah kepada manusia sejak mereka dilahirkan. Misalnya, merasa lapar, kemudian menangis minta minum, setelah ditempelkan ke dada ibunya, ia langsung menghisap air susu ibu tanpa diajari lebih dahulu.
- Hidayah al-hawasy wa al-masya’ir, yaitu hidayah inderawi dan hidayah perasaan. Hidayah ini diberikan kepada manusia dan binatang. Bahkan kedua hidayah ini lebih cepat sempurna pada binatang daripada yang diberikan kepada manusia. Kedua hidayah ini telah sempurna pada binatang setelah dilahirkan beberapa saat, sedang pada manusia kedua hidayah tersebut tumbuh sedikit demi sedikit.
- Hidayah al-‘aql (hidayah naluri). Hidayah ini lebih tinggi nilainya dari hidayah ilham dan inderawi. Manusia di dunia ini dipersiapkan untuk menjadi khalifah, hidup bermasyarakat, beribadah, mencari ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Hidayah ilham fitri (ilham naluri) dan hidayah inderawi belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itulah Allah SWT. memberikan akal kepada manusia agar dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diterima indera. Sebab kadang-kadang penangkapan indera tidak benar. Misalnya, benda yang lurus jika dimasukkan dalam air, kelihatan menjadi bengkok, padahal benda tersebut masih tetap lurus.
- Hidayah ad-diin (hidayah agama). Hidayah ini sangat penting, terutama bagi orang yang akal dan jiwanya didominasi oleh hawa nafsu, dosa dan kejahatan serta suka mengadakan permusuhan dalam masyarakat. Akal dan pikiran sering melakukan kesalahan. Bahkan sering menemukan kesulitan-kesulitan untuk mencari kebenaran dan mencapai kebahagiaan hidup yang hakiki. Maka, hidayah ad-diin sangat diperlukan untuk membantu akal dan pikiran dalam mencari kebenaran dan kebahagiaan hakiki, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (Rasyid Ridla, I: 63)
Sehubungan dengan hidayah ini Allah berfirman: (Wahadaiy-naahun najdaiin – Kami tunjuki ia dua jalan) (Qs. al-Balad [90]: 10). Yang dimaksudkan dengan dua jalan ialah jalan kebajikan, yaitu ad-diin (agama) dan jalan kesesatan atau kekafiran. Namun, sebagian besar manusia memilih jalan kesesatan.
Di samping hidayah Allah yang empat itu, terdapat hidayah lainnya yang disebut ma’unah dan taufiq. Hidayah semacam ini hanya dimiliki Allah swt. Tidak seorang pun dapat memberikan hidayah ma’unah dan taufiq ini kepada orang lain, bahkan Nabi pun tidak dapat. Sebagaimana di-tegaskan dalam surat al-Qashah (28) ayat 56 (Sesungguhnya engkau tidak dapat memberikan hidayah kepada siapa pun yang engkau cintai, tapi Allahlah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah).
Pada ayat yang lain, Allah berfirman Qs. al-Baqarah (2) ayat 272 (Bukanlah kewajibanmu memberikan hidayah kepada mereka, tapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki).
Adapun hidayah dalam arti dhalalah, yaitu bimbingan kepada kebaikan dan kebenaran, serta penjelasan bahwa siapa saja yang melakukan kebaikan dan kebenaran akan memperoleh keuntungan dan kebahagiaan. Hidayah macam ini dapat dimiliki manusia, sebagaimana telah ditegaskan Allah SWT. dalam firman-Nya Qs. Asy-Syura (42) ayat 52 (Dan engkau sungguh membimbing ke jalan yang lurus).
Selanjutnya, yang dimaksud dengan jalan yang lurus, ialah ajaran yang dapat mengarahkan kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu: akidah, syariah dan akhlak (al-Maraghi, 1969, I: 36).
Pada ayat berikutnya dinyatakan bah-wa orang yang diberi hidayah kepada jalan yang lurus, berarti diberi kenikmatan: Shiraathal-ladziina an’amta ‘alaihim (jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan) yaitu, para Nabi dan orang-orang shalih pada masa lampau.
Ayat tersebut hanya menjelaskan secara garis besar dan singkat, kemudian dirinci pada surat-surat lainnya agar dapat dijadikan sebagai teladan bagi generasi berikutnya. Kita diwajibkan mengikuti jalan yang ditempuh mereka, karena sebenarnya agama Allah yang sepanjang masa hanyalah satu, yaitu: iman kepada Allah, para Rasul-Nya, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir, serta wajib berbuat kebajikan, berakhlak mulia dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya. Adapun masalah hukum dan lain-lainnya, merupakan furu’ (cabang) yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman dan pergantian Nabi.
Agama yang diajarkan kepada orang-orang yang telah lalu, yang disampaikan oleh para Nabi adalah sama dengan agama yang diajarkan kepada orang-orang yang hidup pada masa sekarang, yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya Qs. an-Nisa’ (4) ayat 163 (Sesungguhnya Kami turunkan wahyu kepadamu sebagaimana Kami turunkan wahyu kepada Nabi Nuh dan Nabi-Nabi sesudahnya).
Kemudian, pada ayat berikutnya lebih ditegaskan bahwa jalan yang lurus, bukanlah jalan orang-orang yang sesat: Ghairil maghdhubi alayhim waladhdhaalliin (Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat).
Orang yang dimurkai Allah ialah orang yang menolak agama yang haq (benar), yang disyariatkan oleh Allah swt. kepada hamba-Nya. Agama yang haq itu sebenarnya telah disampaikan kepada mereka, tetapi mereka lebih suka mengikuti agama yang mereka warisi dari kakek-kakek mereka, sekalipun agama tersebut bertentangan dengan agama yang haq.
Adapun orang yang sesat ialah orang yang tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, atau orang yang pe-mahamannya tidak benar karena dakwah Islam tidak sampai kepada mereka, atau sampai kepada mereka tetapi mereka tidak mengerti dengan jelas, sehingga mereka dalam keadaan bimbang. Sekalipun mereka tidak sesat dalam urusan keduniaan, tetapi mereka sesat dalam urusan keakhiratan. Jumhur ulama (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa orang yang hidup di suatu zaman yang kosong dari Rasul, tidak dibebani suatu kewajiban dan tidak dikenakan suatu hukuman di akhirat, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT. Qs. al-Isra (17) ayat 15 (Dan tiada Kami beri siksaan sebelum Kami mengirimkan seorang Rasul).
Sebagian ulama berpendapat bahwa akal yang diberikan kepada mereka cukup dijadikan dasar untuk membebani kewajiban kepada mereka. Sebab orang yang telah diberi akal wajib memikirkan dan mencari siapa pencipta alam ini dan wajib melakukan ibadah sesuai dengan petunjuk yang diperoleh dari akal dan pikirannya. Jika tidak mengerjakan ibadah, maka mereka dikenakan hukuman (al-Maraghi, I: 37).
Bacaan “Amien” setelah usai membaca al-Fatihah
Para ulama berpendapat bahwa membaca “Amien” sesudah selesai membaca al-Fatihah hukumnya adalah sunnah Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW.: Apabila imam telah selesai membaca [Ghairil maghdlubi ‘alaihim waladh-dhaal-liin], kemudian orang yang berada di belakangnya (makmum) membaca “amien” bersamaan dengan ucapan penghuni langit (malaikat), maka dosanya yang telah lampau diampuni Allah swt. (HR Muslim, dari Abi Hurairah, I: 175).
Hadits tersebut dikuatkan oleh hadits berikut: Apabila imam mengucapkan “Amien”, maka ucapkanlah “Amien”. Sungguh, orang yang mengucap “Amien” bersamaan dengan ucapan “Amien”-nya malaikat, maka dosa-nya yang telah lampau diampuni Allah (HR Muslim, dari Abi Hurairah, I: 174).
PENUTUP
Para ulama sepakat bahwa membaca al-Qur’an termasuk kegiatan ibadah. Maka, agar dapat tercapai tujuannya, hendaklah ketika membaca al-Qur’an memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
- Sebelum mulai membaca al-Qur’an, hendaklah membaca ta’awwudz. doa mohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan syaitan. Hal ini sebagaimana diperintahkan Allah swt. Qs. an-Nahl (16) ayat 98 (Apabila engkau membaca al-Qur’an mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang mendapat kutukan).
- Hendaklah memperhatikan maknanya dan kaidah-kaidah tajwid dengan tidak berlebihan. Ketika membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun di luar shalat, bacalah dengan khusyu’, tenang, tartil (perlahan-lahan), fasih dan niat dengan ikhlas hanya mencari keridhaan Allah swt. Sebab, membaca satu ayat al-Qur’an secara khusyu’ dan memperhatikan maknanya, lebih baik daripada membaca banyak ayat tetapi melalaikannya.
Penulis : Prof. Drs. H. Saad Abdul Wahid
Sumber Artikel : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya: Tafsir Surat Al-Fatihah (4)....