Minggu, 12 Mei 2024

Tergerusnya Kualitas Ramadhan Karena Pragmatisme Lebaran

 

oleh :  Dani Kurniawan

Sekretaris Majelis Pelayanan Sosial (MPS)

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta

 

Ramadhan sebagai perjalanan spiritual harus dijalani dengan kesungguhan dan keyakinan. Hal ini agar kita mendapatkan predikat orang bertaqwa. Apalagi bila ramadhan sudah akan berakhir maka amaliyah seperti berpuasa, sholat tarawih, membaca alqur’an, berinfaq dan bersedekah kualitasnya semakin ditingkatkan supaya ramadhan tahun ini berakhir khusnul khatimah.

Setelah ramadhan maka ada lebaran atau hari raya idul fitri. Lebaran bagi sebagian besar umat Islam dimaknai puncak eforia dari ramadhan. Karena selama sebulan penuh  telah menahan lapar dan haus dalam menjalankan puasa. Lebaran sebagai moment eforia maka bagi kaum muslimin telah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari.

 Dalam mempersiapkan lebaran di Indonesia telah berkembang kultur di kalangan kaum muslimin yang kurang pas dan itu telah turun-temurun. Beberapa contoh tradisi yang kurang pas yaitu : dalam lebaran harus memakai pakaian baru atau diistilahkan sapengadek (mulai dari sandal, celana dan baju harus baru). Kemudian harus mempersiapkan makanan dan minuman yang enak-enak. Bahkan kadang sampai terjadi persaingan dalam  lebaran mulai apa yang disandang dan apa yang dihidangkan.

Hingga terlalu semangatnya mempersiapkan lebaran tersebut banyak umat islam lebih banyak memakmurkan mall-mall (membeli pakaian baru), pasar, swalayan (mencari dan membeli makanan-minuman seperti roti, cemilan, sirup) dan mereka di sana sangat khusyu betah sampai berjam-jam. Sementara masjid-masjid semakin sepi dan sunyi karena ditinggalkan jama’ah.

Fenomena ini sesungguhnya telah mengarah pada sifat pragmatisme karena perilaku yang konsumtif. Yang kadang bila tidak hati-hati justru melunturkan spiritualitas ibadah di bulan ramadhan. Oleh sebab itu sebagai kaum muslimin harus mampu menghindari hal tersebut.

Sifat pragmatisme dan perilaku konsumtif merupakan gaya hidup yang boros dan berlebih-lebihan. Dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak baik dan itu telah diingatkan Allah SWT dalam satu firmannya :”Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27)

Selain itu pragmatisme lebaran juga menggerus kualitas ramadhan. Sebab akhir ramadhan sebenarnya momentum yang tepat untuk bermunajad, bermuhasabah dan meningkatkan kualitas dan kuantitas amal sholeh kita seperti berpuasa, mendirikan sholat tarawih, bersedekah, berinfaq, membaca qur’an justru ditinggalkan dan dilupakan.

Aktivitas diakhir ramadhan digantikan dengan mencari pundi-pundi rupiah. Kemudian pundi-pundi rupiah itu dibelanjakan di mall, supermarket, pasar dan swalayan. Sebagai kaum muslimin sebaiknya kita bisa menghindari perbuatan seperti itu karena itu adalah perbuatan merugi.

Agar tidak menjadi orang yang merugi dalam bulan ramadhan sebaiknya kita ittiba (meniru/mencontoh) Nabi Muhammad SAW dalam menjalani aktivitas di bulan ramadhan. Ittiba Nabi SAW merupakan cara yang tepat dalam mencapai ramadhan yang berkualitas.

Rasulullah dalam ramadhan seperti diakhir ini, melakukan itikaf di masjid. Disana beliau lebih banyak bertafakur, bermuhasabah kepada Allah SWT. Kemudian memperbanyak beramal sholeh seperti berzikir, membaca qur’an, menghidupkan sholat sunah, berzakat, berinfaq, bersedekah dll.

Komitmen Rasulullah dalam setiap ramadhan adalah ramadhannya harus lebih baik dari tahun kemarin. Sebagai orang yang mengaku umat Muhammad SAW seyogyanya juga demikian. Diakhir ramadhan harus lebih khusyu di masjid dengan memperbanyak tobat dan beramal sholeh. Ini merupakan ikhtiar agar mampu meraih mutaqin.

Bukan justru lebih banyak mengerjar dunia dengan khusyu mendatangi mall, swalayan dan pasar sehingga melupakan masjid. Apabila seperti itu bisa jadi ramadhan sekarang ini berakhir dengan  su’ul khatimah.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *