Kamis, 30 Januari 2025

Tuntunan Berqurban (1)

Kata  “qurban”  berasal  dari  qaruba-yaqrubu-qurbanan yang berarti  hampir, dekat, atau mendekati. Dalam bahasa Arab kata  qurban  disebut  udhhiyyah. Kata udhhiyyah  merupakan  bentuk  jama’  dari  kata  dlahiyah  yang  berarti  binatang sembelihan, disebut juga nahr (ibadah qurban).

As-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, Jilid III, hal 197. mengatakan bahwa  al-udhhiyyah adalah;

al-udhiyah hiya

 

“Al-Udhhiyyah  adalah  nama  bagi  binatang  yang  disembelih  baik  unta,  sapi  dan kambing  pada  hari  Nahar  (10  Dzulhijjah)  dan  hari-hari  Tasyriq  untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala”.

Dr.  Wahbah  az-Zuhaily  dalam  kitab  al-Fiqh  al-Islamy  wa  Adillatuh,  Juz III, hal 594 menjelaskan tentang al-Udhhiyah sebagai berikut;

al-udhyah lughah

Artinya:  al-Udhhiyah  menurut bahasa adalah nama bagi hewan yang dikurbankan atau  nama  bagi  hewan  yang  disembelih  pada  hari-hari  ‘Idul  Adha.  Dengan demikian al-Udhhiyah adalah hewan yang disembelih pada hari Adha.

Menurut  MTT  PPM  qurban  adalah  udhhiyyah,  yaitu  sebagaimana  yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy.

hiya dhabhu khayawan

Dia (qurban) adalah menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri (kepada  Allah)  dalam  waktu  tertentu  pula  atau  hewan  yang  disembelih  dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari Nahar”.

 

Dasar Hukum Berqurban

Ibadah  qurban  merupakan  ibadah  yang  disyariatkan  berdasarkan  dalil-dalil al-Qur’an dan hadis Nabi;

1. Surat al-Kautsar (108): 1-2 sebagai berikut;

إِنَّآ أَعۡطَيۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ -١فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ -٢

Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberikan engkau (Muhammad) ni’mat yang  banyak,  maka  shalatlah  kamu  karena  Tuhanmu  dan  sembelihlah (kurbanmu). (Q.S. Al-Kautsar:1-2)

2. Surat al-Hajj (22): 36

وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَـٰهَا لَكُم مِّن شَعَـٰٓٮِٕرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيہَا خَيۡرٌ۬ۖ فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡہَا صَوَآفَّۖ فَإِذَا وَجَبَتۡ جُنُوبُہَا فَكُلُواْ مِنۡہَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ كَذَٲلِكَ سَخَّرۡنَـٰهَا لَكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ -٣٦

Dan  telah  Kami  jadikan  untuk  kamu  unta-unta  itu  sebagian  daripada  syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak daripadanya, maka sebutlah olehmu  nama  Allah  ketika  kamu  menyembelih  dalam  keadaan  berdiri  (dan telah  terikat).  Kemudian  apabila  telah  roboh  (mati),  maka  makanlah sebagiannya  dan  beri  makanlah  orang-orang  yang  tidak  minta-minta  dan orang-orang  yang  minta-minta.  Demikianlah  Kami  menundukkan  unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (Q.S.Al-Hajj: 36)

3. Hadis Nabi dari Jabir:

Saya  shalat  ‘Idul  Adlha  bersama  Rasulullah  saw,  kemudian  setelah  selesai, kepada  beliau  diberikan  seekor  kibasy  (kambing  yang  besar)  lalu  beliau menyembelihnya seraya berdoa: Bismillahi wallahu akbar, Allahumma hadza ‘anniy  wa  ‘an  man  lam  yudlahhi  min  ummatiy  (Dengan  menyebut  nama Allah, Allah Maha Besar, Wahai Allah, ini dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku). [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudziy].

Para  ulama  berbeda  pendapat  tentang  hukum  qurban,  ada  yang mengatakan wajib dan ada pula yang berpendapat sunnah. Terlepas dari adanya perbedaan  pendapat  mengenai  hukum  melakukan  qurban, tetapi  yang  jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan oleh Allah, seperti dalam surat al-Kautsar (108): ayat 1-2, termaktub di atas.

Sesungguhnya  Kami  telah  memberikan  kepadamu  ni’mat  yang   banyak.  Maka dirikanlah  salat  karena  Tuhanmu  dab  beribadahlah. (QS. al-Kautsar: 1-2)

 

Perbedaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut;

1. Abu Hanifah,  al-Auza’iy,  dan  Malik  berpendapat  bahwa  kurban  hukumnya wajib. Adapun dalil yang dijadikan dasar adalah

· QS al-Kautsar (108): 2; Maka shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (kurbanmu).  (QS. al-Kautsar: 2)

· Hadis Ahmad dari Abu Hurairah:

Dari Abi Hurarah  Ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda ”Barangsiapa yang  memiliki  keleluasan  harta  dan  tidak  menyembelih  hewan  qurban, maka  janganlah  mendekati  tempat  shalat  kami”.  (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Muhammad  Ibn  Ismail  al-Kahlany dalam  kitab  Subul  as-Salam Syarh Bulugh al-Maram  menjelaskan  bahwa  hadis  di  atas  dijadikan  dasar  oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu. Secara lengkap beliau mengatakan sebagai berikut;

Ulama  telah  berdalil  dengan  hadis  ini  untuk  menentukan   hukum  wajib berqurban  bagi  yang  mampu,  karena  Rasulullah  SAW  melarang  untuk mendekati  tempat  shalatnya  menunjukkan  bahwa  dia  (yang  tidak  berqurban padahal  ia  mampu)  meninggalkan  kewajiban,  seakan-akan  Rasulullah  SAW. bersabda: Tidaklah  shalat  yang  dilakukan  berfaedah,  karena  meninggalkan kewajiban ini (berqurban), karena firman Allah: “maka shalatlah karena Tuhan kamu dan berqurbanlah”  dan  hadis  Nabi  saw.  “Wajib  bagi  penghuni  rumah berqurban dalam setiap tahun”.

Catatan MTT-PPM:  hadis di atas sesungguhnya adalah hadis yang daif, karena keberadaan  seorang  perawi  yang  bernama  Abdullah  ibn  Ayyash  yang munkarul  hadis  dan  lemah  hafalan.  Namun,  Imam  al-Baihaqi  meriwayatkan hadis  di  atas  dengan  sanad  lain  yang  bernilai  sahih,  yaitu  sanad  yang  tidak terdapat  Abdullah  ibn  Ayyash  di  dalamnya.  Namun,  sayangnya  riwayat  al-Baihaqi tersebut mauquf, yaitu hanya sampai kepada Abu Hurairah.

2. Imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa hukum qurban adalah Sunnah Muakkadah. Pendapat mereka didasarkan pada dalil hadis Nabi SAW dari Ummu Salamah;

Apabila  telah  masuk  hari  kesepuluh  (bulan  Dzulhijjah),  dan  salah  seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya (HR Muslim)

 

 

Sumber       : Materi Pengembangan HPT Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

Sumber Artikel :  http://tuntunanislam.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *