Rabu, 01 Mei 2024

Ujian Terbuka atau Ujian Tertutup?

Ujian Terbuka atau Ujian Tertutup?

Oleh: Muh Fitrah Yunus

Kasihan sekali negara ini ditumbuhi banyak “pecundang” dan penghianat negara. Tidak tanggung-tanggung, ini menyangkut persoalan kekayaan alam negara dimana sudah sangat lama dieksplorasi oleh asing dan akhlak anak bangsa yang jauh dari karakter bangsa, Ia mencoba mengkhianati negara dan menjual negara kembali dengan upaya perpanjangan kontrak karya Freeport di Papua.

Jika kita sempat mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, serasa negara ini memang “dipecundangi” oleh bangsanya sendiri. Butuh kesadaran memahami bahwa negara-negara lain pun bahkan tertawa mendengar dan melihat segala pemberitaan yang ada di media-media massa dan elektronik. Bahkan, mereka dapat menilai bahwa memang negara ini menyimpan banyak penghianat yang mampu “memploncongi” bangsa dan negaranya sendiri.

49 tahun usia Freeport berada di Indonesia tanpa sedikitpun dapat mensejahterakan masyarakat, khususnya di Papua. 49 tahun pula Freeport membuat sedih dan memperpanjang penderitaan masyarakat Indonesia. Tentu itu bukan waktu yang singkat dan cepat. Dampak negatif yang diciptakan sangat beragam, dari pembagian keuntungan yang “unclear” antara Freeport dan Negara, juga dampak negatif yang mempengaruhi alam sekitar bahkan “tailing” yang banyak memakan korban akibat dari racun yang diciptakan oleh hasil olah mesin pertambangan.

Kesedihan-kesedihan masyarakat itu-anehnya-anak bangsa sendiri tidak dapat peka dengan persoalan-persoalan itu. Justru ia melegalkan segala bentuk penindasan dan “penghisapan” yang dilakukan oleh kalangan yang bukan bangsanya, yang sering kita sebut “bangsa asing”. Alhasil dengan bangsa sendiri kita saling berhadapan, dengan bangsa asing kita “gigit jari” di hadapan mereka.

Kasus yang bergulir saat ini, dimana seorang anak bangsa yang menempati posisi penting, nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar menyayat hati rakyat. Betapa tidak, kasus pencatutan nama presiden dan wakil presdisen agar kontrak karya Freeport dapat diperpanjang menegaskan bahwa banyak “makelar proyek” mengatasnamakan anak bangsa, dan parahnya lagi Ia bertopeng sebagai “wakil rakyat”.

Iming-iming saham menjadi tujuan utama mengapa “makelar proyek” ini melakukan hal yang melanggar konstitusi berbangsa dan bernegara kita. Hal ini justru menegaskan bahwa era reformasi dengan sistem demokrasi yang kita anut sekarang juga masih menyimpan rasa orde baru, dimana banyak tukang catut nama karena kepentingan pribadi dan kelompok tertentu saja. Bahkan, seringkali tidak hanya sekedar mencatut nama, juga menjadi aktor utama dalam setiap pengambilan keputusan ataupun kebijakan.

Sedari dulu, masyarakat sebenarnya sudah “muak” dengan para penyelenggara negara dan kepada mereka yang mengatasnamakan wakil rakyat. Muak karena masyarakat sadar bahwa mereka dipermainkan oleh wakilnya dan sudah amat banyak memberikan bukti bahwa keberadaan mereka sedikitpun tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

Sekarang, masyarakat menuntut agar rekaman pembicaraan Setya Novanto dan PT. Freeport dapat diperdengarkan luas kepada masyarakat sebagai bukti bahwa negara ini tidak tertutup dan sengaja menutup mata, terkait masalah-masalah yang merugikan bangsa dan negara. Masyarakat ingin mendengar secara langsung seperti apa yang didengarkan oleh masyarakat saat Anggodo menjadi tersangka kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Dimana saat itu pulalah pertama kalinya negara transparan terhadap masyarakat mengungkap sebuah kasus.

Sekarang, dalam percakapan yang singkat itu tidak hanya mencatut nama Jokowi dan JK akan tetapi salah seorang elit negara, Menkoplhukam, Luhut Panjaitan juga disebut-sebut berkali-kali dalam rekaman percakapan tersebut. Nama Luhut disebut sebanyak 17 kali. Bahkan, dalam transkrip yang beredar di sejumlah kalangan dikatakannama Luhut disebut hingga 66 kali.

Dengan itu, tokoh-tokoh sentral di negara ini memperlihatkanbagaimana mereka memainkan dan mempermainkan bangsa dan negara ini. Dengan menjual asset negara, mereka mampu memperkaya dirinya sendiri tanpa melihat apa yang menjadi kepentingan bangsa bersama, hajat manusia. Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa merekalah yang “mempergadangkan” sekaligus “memperdagangkan” negara ini.

Tidak tanggung-tanggung, nilai yang disebutkan dalam permainan yang dikenal dengan “Papa minta saham” ini menyebutkan angka fantastis, yaitu puluhan trilliun rupiah. Bahkan ini melebihi kasus-kasus yang sampai saat ini telah diungkap oleh KPK. Jika itu direalisasikan, begitu besar kerugian negara ini.

Namun, negara harus menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas, yaitu dengan membuka ke publik rekaman “papa minta saham” dengan tuntas. Bahka, masyarakat pun harus menjadi pengawal utama agar penyelesaian kasus ini bisa transparan. Akrtobat politik yang ada di Senayan bisa saja merubah semua tuntutan masyarakat, yang awalnya meminta kasus ini terbuka, akan tetapi pada akhirnya berhenti dan hilang tanpa bekas.

Sampai saat ini pun kasus ini masih menggantung masyarakat, para penyelenggara negara masih berkutat pada aturan main sidang. Mereka menghabis-habiskan waktu pada sesuatu yang tidak substansial. Padahal, tuntutan masyarakat sederhana, yaitu menggelar sidang, dan memperdengarkan rekaman berdurasi 1 jam 27 menit kepada seluruh rakyat Indonesia agar semua dapat melihat secara gamblang kelakuan para penyelenggara negara dan wakil rakyat memainkan peran “menelanjangi negara”. Masyarakat ingin berikan ujian terbuka, bukan tertutup!

Muh Fitrah Yunus

Staf Ahli DPD RI – Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *