Ramadhan, Al-Qur’an, Petunjuk dan Pembeda
Lebih lanjut, ayat 185 ini menegaskan al-Qur’an sebagai (1) petunjuk bagi umat manusia dan (2) sebagai bukti nyata dari petunjuk dan pembeda hak dan batil yang diturunkan Allah. Pernyataan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk untuk umat manusia mengekspresikan bahwa kitab suci ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Hal ini bukan suatu yang berlebihan. Di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak pesan-pesan universal yang dapat dipedomani oleh siapa pun yang mau menghayatinya, seperti pesan-pesan mengajak kepada kebaikan semisal membantu kaum yang lemah atau menginfakkan sebagian kekayaan yang kita miliki untuk kesejahteraan umum, serta pesan-pesan mengajak menghindari segala hal yang buruk semisal makan harta sesama dengan jalan batil termasuk perbuatan korupsi yang tidak ragu lagi merupakan makan harta sesama dengan jalan batil
Memang pada sejumlah ayat lain dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa (Qs [2]: 2) atau bagi orang-orang mukmin (Qs [27]: 2) dan di beberapa tempat lain. Ini tidak mengurangi Al-Qur’an sebagai petunjuk universal bagi semua manusia karena pernyataan-pernyataan ini umumnya muncul dalam konteks diskusi dengan orang-orang yang menolak dan tidak menerima Al-Qur’an. Sedangkan dalam ayat 185 yang sedang ditafsirkan ini konteks pernyataan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (petunjuk universal) adalah ketika menyatakan fungsi Al-Qur’an itu sendiri pada dirinya, bukan dalam konteks mendiskusikan penolakan orang tidak beriman.
Bulan Ramadhan, Dasar Berpuasa
Lanjutan ayat 185, Karena itu, barangsiapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya, dan barangsiapa sakit atau sedang dalam perjalanan (sehingga tidak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa) untuk diganti pada hari-hari yang lain, merupakan penegasan terhadap pangkal ayat.
Pangkal ayat menyatakan bahwa hari-hari dimana puasa diwajibkan adalah bulan Ramadhan. Potongan ini melanjutkan bahwa, oleh karena itu barangsiapa yang telah memastikan masuknya bulan hendaklah berpuasa selama bulan tersebut. Teks Arabnya berbunyi fa man syahida minkumusy-syahra falyasumhu.
Kata syahida mempunyai beberapa arti antara lain, pertama, berarti hadara ‘hadir, berada di tempat, tidak berpergian ke luar’. Kedua, berarti ‘alima ‘mengetahui’. Syahidallahu berarti ‘alimallahu ‘Allah mengetahui’. Asy-syahid berarti al-‘alim ‘orang yang mengetahui’. Asyhadu an la ilaha illallahu ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’ dalam pengertian saya mengetahui dengan pasti bahwa tiada Tuhan selan Allah. Ketiga, berarti memberikan kesaksian dalam arti menyampaikan apa yang diketahuinya.[10]
Kata asy-syahr berarti ‘bulan’ dalam pengertian: (1) periode waktu 29 atau 30 hari dan inilah pemakaian yang banyak berlaku, dan (2) bulan di langit menjelang sempurnanya. Kata tersebut berasal dari kata syuhrah dan kata kerja syahara yang berarti jelas, tampak terang, menonjol, masyhur. Bulan di langit disebut asy-syahr karena menonjolnya dalam arti tampak jelas dan terangnya.[11]
Frasa fa man syahida minkum asy-syahra dapat diberi beberapa kemungkinan terjemahan sesuai analisis gramatikal tertentu:
- Kemungkinan pertama, menjadikan kata asy-syahr sebagai keterangan waktu dan kata syahida diartikan ‘berada di tempat’/‘tidak bepergian’. Sehingga frasa itu diterjemahkan “Karena itu, barangsiapa di antara kamu berada di tempat pada bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.
- Kemungkinan kedua, menjadikan kata asy-syahra sebagai obyek (maf‘ul bih) dari kata kerja syahida. Analisis gramatikal ini mengharuskan adanya pelesapan (idhmar). Terdapat dua interpretasi terhadap kata yang dilesapkan itu, yaitu:
a. Kata yang dilesapkan itu adalah “masuknya” (dukhul) dan kata syahida diartikan mengetahui. Berdasarkan analisis gramatikal ini, frasa tersebut dibaca, “Karena itu, barangsiapa di antaramu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.
b. Kata yang dilesapkan itu adalah “hilal”. Menurut analisis ini, ayat itu dibaca, “Karena itu, barang siapa menyaksikan (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.[12]
Tafsir at-Tanwir mengikuti penafsiran 2.a., sehingga potongan ayat tersebut secara keseluruhan diterjemahkan, Karena itu, barangsiapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya. Alasannya adalah:
Pertama, sebab wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan adalah diketahuinya dengan pasti masuknya bulan tersebut, bukan keberadaan di tempat.
Kedua, terjemahan pertama dapat menjurus kepada pengertian bahwa puasa Ramadhan adalah puasanya orang mukim, sehingga apabila ia musafir, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya selama safar, dalam arti apabila ia tetap berpuasa karena ia mampu melakukannya, maka puasanya tidak memadai sehingga ia tetap wajib menggantinya di hari lain ketika telah kembali ke tempat mukimnya. Pada pemaparan terdahulu pendapat ini telah dikritik.
Ketiga, terjemahan 2.a. (memaknai syahida dengan mengetahui secara pasti) lebih sesuai dengan lanjutan ayat yang menyebutkan dua pengecualian terhadap kewajiban berpuasa Ramadhan saat telah mengetahui masuknya bulan, yaitu orang sakit atau musafir. Sementara, terjemahan pertama mengesankan suatu pengulangan, yaitu puasa diwajibkan kepada orang yang berada di tempat (tidak bersafar), padahal di belakang disebutkan lagi pengecualian tersebut.
Keempat, adapun terjemahan 2.b., Karena itu, barangsiapa melihat (hilal) bulan itu, menurut Ibn ‘Asyur, tidak tepat karena tidak ada kata syahida yang berarti melihat,[13] Lagi pula pada ujung penggalan itu ada anak kalimat fal yasumhu yang berarti ‘hendaklah ia mempuasainya.’ Kata ganti nama ‘nya’ di sini merujuk kepada asy-syahr dan apabila asy-syahr diartikan hilal, berarti puasa yang wajib hanya selama hilal. Ini jelas tidak tepat.
Jadi, dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa maksud potongan ayat di atas adalah untuk menjelaskan sebab timbulnya kewajiban berpuasa, yaitu masuknya bulan Ramadhan yang diketahui secara pasti. Namun, diingatkan kembali bahwa orang sakit atau orang musafir tidak diwajibkan melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, akan tetapi apabila ia tetap mengerjakannya meskipun sakit atau dalam perjalanan, puasa itu sah dilakukannya dan tidak perlu lagi menggantinya di hari yang lain. Hanya apabila mereka tidak melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, mereka wajib menggantinya pada hari lain di luar Ramadhan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof Dr. H Syamsul Anwar
Sumber : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya: Wajib Puasa, Ramadhan, Al-Qur’an (2).......