Rabu, 15 Mei 2024

“EKONOMI TAJDID” MUHAMMADIYAH

(Dosen STAI Muhammadiyah Bandung)

 

Analogi yang barangkali dapat menggambarkan perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah adalah seperti teori petani anggur. Sejak awal, petani itu berusaha menanam, memupuk, menyirami dan membuat kerangka pohon yang tinggi. Hasilnya sangat membanggakan. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah banyak buah anggur yang dapat dipanen. Dengan mudah petani itu memetik bunga sambil berdiri, tanpa alat bantu tangga apapun. Waktu terus berlalu, perubahan besar pun terjadi pada pohon anggur itu. Pohon itu terus tumbuh merambat dan semakin meninggi. Buahnya pun sangat melimpah. Dalam perubahan ini, petani itupun dengan sangat bangga memanen buah anggur tersebut. Tetapi, sayangnya petani itu hanya melingkar-lingkar memetik buah anggur yang dapat dipetik dengan berdiri dan sekali-kali dengan cara melompat-lompat—tanpa membuat tangga yang kuat. Akhirnya, buah anggur yang berada pada bagian pohon yang agak tinggi tidak dapat tersentuh.

Seperti petani anggur itu, pada masa-masa awalnya Muhammadiyah berusaha menanam, memupuk, menyirami dan membuat kerangka pohon tajdidnya yang tinggi. Dalam waktu yang panjang, Muhammadiyah juga telah berhasil menumbuhkan dan banyak memanen buah tajidnya tersebut. Namun, seperti petani anggur itu, saat pohon tajdid itu tumbuh meninggi dan membesar, Muhammadiyah masih tetap memetik buahnya yang ada di bawah. Sementara buah-buah tajdidnya yang berada di atas, tak tersentuh. Dalam perspektif teori ekonomi keagamaan (religious economy), “perusahan” tajdid Muhammadiyah dianggap bergerak lamban, produk tajdidnya malah banyak yang sudah kadaluarsa, dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk tajdidnya pun semakin rendah.

 

Penawaran Baru

Menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat, Muhammadiyah tampaknya perlu dan dituntut untuk menciptakan tangga-tangga atau alat-alat memanjat yang baru untuk dapat memetik kembali buah tajdid yang lebih tinggi. Dalam teori ekonomi keagamaan, sisi penawaran (supply-side) menjadi penting. Muhammadiyah perlu mengemas kembali produk tajdid yang baru dan lebih kreatif sehingga dapat diterima dan dinikmati secara baik oleh pasar dan konsumen yang lebih luas. Dalam kerangka ini, barangkali penting untuk membaca kembali spirit pencerahan pendidri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan, dalam sisi penawarannya yang baru.

Setidaknya ada lima spirit pencerahan yang telah digagas oleh Kyai Dahlan. Pertama, spirit kritis terhadap tradisi. Sejak awal, Muhammadiyah mengambil sikap kritis terhadap tradisi-tradisi yang dianggap menghambat kemajuan. Kyai Dahlan tampaknya sangat memahami kecenderungan zamannya–ketika meluasnya kolonialisasi dan modernisasi—yang tidak mungkin dapat dihadapi dengan berpegang pada tradisi kolot yang tidak menerima berbagai kebaruan. Kedua, spirit rasional dalam beragama. Kyai Dahlan selalu menyerukan untuk menggunakan akal pikiran dan tidak taklid buta dalam beragama. Menerima ijtihad dan pengembangan pemikiran (modernisasi) dalam Islam dengan tetap berpijak pada sumber otentik Islam. Ketiga, spirit inovasi dan terbuka dalam mencerdaskan masyarakat. Spirit ini Kyai Dahlan wujudkan dalam bentuk pengajaran dan pendidikan modern. Saat nalar zamannya merasa asing dengan bangku, kursi, papan tulis dan biola, Kyai Dahlan justru dengan kreatif memperkenalkannya sebagai model pendidikan yang berkemajuan. Saat pengajian membiarkan para muridnya pasif, Kyai Dahlan justru mengajak para murid untuk aktif. Keempat, spirit pembebasan. Muhammadiyah sejak awal sangat memberikan perhatian terhadap nasib kaum lemah, anak-anak yatim, kaum miskin dan mereka terpinggirkansecara sosial dan ekonomi. Spirit ini didasarkan pada akar teologisnya sangat kuat, yakni teologi amal al-Ma’un. Kelima, spirit akhlaqul karimah. Dalam Muhammadiyah, apapun aktivitas dan gerakannya harus selalu dibingkai oleh spirit akhlaqul karimah tersebut.

Kini, sudah satu Abad Muhammadiyah berdiri. Zaman telah berubah. Tantangan dan persoalan umatpun jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, spirit pencerahan di atas, perlu dikembangkan dalam penawaran yang baru. Spirit kritis terhadap tradisi misalnya, tidak lagi berorientasi kaku pada bentuk-bentuk tradisi seperti zaman satu abad yang lalu. Muhammadiyah harus menjawab tradisi-tradisi, takhyul, bid’ah dan churafat kontemporer yang menghambat kemajuan, seperti bid’ah intoleransi dan bid’ah ekslusivisme, bid’ah pemasungan dan perendahan martabat perempuan, bid’ah panatisme negatif dan radikalisme keagamaan, bid’ah gaya hidup konsumerisme dan hedonisme serta bid’ah-bid’ah yang lainnya.

Berkait dengan spirit rasional dalam beragama, Muhammadiyah perlu mengembangkan berbagai perluasan dan pemekaran dalam pemikiran keagamaan ummat. Muhammadiyah perlu terus mengembangkan pemikiran keagamaan “Islam yang berkemajuan”, yaitu Islam yang menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang mengelorakan misi anti perang, anti terorisme, anti kekerasan, anti penindasan, anti keterbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.

Begitu juga dengan spirit inovasi dalam pencerdasan masyarakat dan spirit pembebasaan perlu penawaran baru. Spirit inovasi dalam pencerdasan, misalnya diperlukan pengembangan model-model inovasi baru dalam pendidikan. Sedang  spirit pembebasan, diperlukan model-model baru program pembebasan atas  “perbudakan baru” dan eksploitasi kemanusiaan, seperti yang terjadi dalam kasus TKI, perlakuan buruh, perdagangan anak, pengangguran kaum terdidik, dan bentuk-bentuk pemiskinan baru yang memberikan dampak penderitaan, kesengsaraan dan marjinalisasi di level ummat. Dengan demikian ekonomi tajdid Muhammadiyah diharapkan dapat diterima dan dinikmati kembali secara baik oleh pasar dan konsumen Abad baru, sehingga memberikan pencerahan dan solusi bagi persoalan bangsa, keumatan dan kemanusiaan universal. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *