MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3). Dalam sambutannya Jokowi mengatakan bahwa persoalan politik dan agama harus dipisahkan. Menurut Jokowi, pemisahan tersebut untuk menghindari gesekan antarumat. Pernyataan Jokowi tersebut mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat.
Menyikapi pernyataan Jokowi tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa seharusnya politik dan agama dalam konteks Indonesia tidak dapat dipisahkan.
Haedar mencontohkan, dalam pancasila sila pertamanya mengungkapkan bahwa ketuhanan yang maha esa, selain itu dalam pasal 29 juga telah membahas tentang agama. “Jika dilihat dari konteks itu maka agama tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan negara,” ujar Haedar, Rabu (29/3) dalam acara Peresmian Gedung Baru Unit 3 SMK Muhammadiyah Imogiri.
Seharusnya, lanjut Haedar, yang perlu diatur yaitu dimensi struktural negara dalam mengatur urusan agama. “Perlu ada kejelasan dari negara dalam konteks politik dan agama, mana urusan politik yang tidak perlu diatur agama, dan mana urusan agama yang tidak perlu diatur politik,” ujar Haedar.
Haedar menegaskan bahwa moralitas agama harus menjiwai seluruh kehidupan kebangsaan, apa pun itu agamanya. “Karena tidak ada bangsa yang bebas dari kulturnya, kultur Indonesia sejak dulu yaitu kultur agama,” tegas Haedar.
Kedepan, Haedar menyarankan kepada Presiden untuk dapat berdialog dengan berbagai tokoh agama dan tokoh-tokoh swasta dalam memformulasikan dan menetapkan posisi politik dalam agama. “Harus ada pandangan posisi dan fungsi politik dan agama, karena dalam hal ini agama luas cakrawalanya,” terang Haedar.
Haedar juga menilai bahwa kekuatan-kekuatan agama perlu lebih moderat, karena ada dimensi-dimensi agama yang tidak bisa sepenuhnya sama dengan urusan-urusan ekonomi politik dan kehidupan secara keseluruhan. (adam)