Bandung -‘Aisyiyahsebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai kepedulian untuk ikut berperan aktif dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Salah satunya adalah melakukan pengkajian Rancangan Undang-Undang yang sedang di godog saat ini oleh komisi VIII DPR RI yaitu tentang Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU-KKG).
Untuk memberikan masukan terhadap RUU itu, PW Aisyiyah Jawa Barat melakukan pengkajian terhadap RUU-KKG tersebut yang diawali dengan kegiatan Round Table Discussion (RTD). Kegiatn itu sendiridiselenggarakan Selasa (1/5). Acara yang berlangsung dari pukul 09.00 sampai dengan 12.00 tersebut dihadiri oleh 25 undangan yang terdiri dari pakar hukum, pakar agama, akademisi, instansi pemerintah, LSM, pemerhati perempuan, serta unsur Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat.
Diskusi ini dimulai dengan paparan sejarah perundang-undangan yang berkenaan dengan hak perempuan. Berangkat dari tahun 1984, Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984, yang kemudian dalam penerapannyaternyata belum secara signifikan menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan di hampir seluruh negaratermasuk Indonesia.
Kemudian pada tahun 1995, KonperensidiBeijing menghasilkan BPFA (Beijing Paltform For Action) dengan 12 bidang kritis, seperti Perempuan dan Kemiskinan, Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan, Perempuan dan Kesehatan, Tindak Kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan Konflik Bersenjata, Perempuan dan Ekonomi, Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan, Mekanisme Kelembagaan untuk kemajuan perempuan, Hak Azasi perempuan, Perempuan & Media, Perempuan & Lingkungan Hidup, Anak perempuan.
Indonesia termasuk kategori negara yang belum berhasil menjadikan platform tersebut menjadi action dalam implementasi kebijakannya, kalaupun ada di pasal 65 (1) UU No. 12 tahun 2002 tentang Pemilu hanya sebatas aturan pencalonan legislative yang tidak mempunyai sangsi.
Upaya peningkatan kapasitas perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat inilah yang mendorong akan segera diundangkannya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender. RUU ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender (PUG) di segala sektor pembangunan mulai dari pusat hingga daerah. Selama ini kebijakan PUG di Indonesia diatur dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000.
Dalam diskusi yang berlangsung, undangan yang hadir menyepakati beberapa hal dalam mengkritisi RUU-KKG ini, yaitu: pertama, RUU-KKG ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender (PUG) di segala sektor pembangunan mulai dari pusat hingga daerah. Kedua, RUU-KKG ini harus difokuskan dan dibatasi pada bidang atau sektor-sektor pembangunan yang memungkinkan negara untuk campur tangan di dalamnya, yaitu Bidang Politik dan Pemerintahan, Bidang Kewarganegaraan, Bidang Pendidikan, Bidang Komunikasi dan Informasi, Bidang Ketenagakerjaan, Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana, Bidang Ekonomi dan Bidang Hukum. RUU-KKG tidak boleh mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah individu (masalah perkawinan RUU-KKG pasal 12). Selain Negara sudah mempunyai UU tentang perkawinan, pasal 12 akan menimbulkan multi tafsir yang memungkinkan untuk dibelokkan kepada hal-hal yang akan keluar dari aturan agama dan norma masyarakat kita.
Ketiga, Revisi pasal 14 ayat d. Pada pasal 14 ayat d ini berpotensi untuk dilakukannya perubahan UU yang sudah ada yang dianggap tidak relevan dengan RUU ini. Untuk menghindari tumpang tindih dalam pelaksanaan aturan perundang-undangan yang ada, sebaiknya dilakukan pengkajian secara terbalik yaitu terlebih dahulu mengkaji produk UU yang sudah ada,pada pasal-pasal yang berkaitan dengan Gender; UU Ketenagakerjaan, UU Pendidikan, UU Pemilu dll, baru kemudian kekurangannya dimunculkan dalam RUU ini.Namun ketika UU yang sudah ada masih relevan dan tidak mengindikasikan diskriminasi terhadap Gender, serta sudah cukup untuk dijadikan payung hukum bagi aparatur pemerintahan dalam mengoptimalkan Pengarus Utamaan Gender (PUG) pada masing-masing lini, maka sebaiknya RUU-KKG ini tidak dipaksakan untuk diundangkan.
Hasil dari Round Table Discussion yang diselenggarakan oleh Majelis Hukum dan HAM, Majelis Tabligh dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat tersebut selanjutkan akan dirumuskan secara lebih detail pasal demi pasal sebagai bahan masukan kepada Komisi VIII DPR/RI melalui Pemerintah Provinsi Jawa Barat .
Reporter : Ririn Dewi
Editor: Roni Tabroni