MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pola pendidikan Islam di Indonesia memiliki kedudukan dualisme, yakni yang diurusi oleh pendidikan nasional (diknas) dan departemen agama (depag). Sehingga dari segi mutu dan materi yang diberikan tentu berbeda, jika porsi depag mencapai 70% sedangkan diknas 30%.
Dalam rangka menciptakan siswa yang berkarakter dan berakhlaq mulia memang sulit, karena dari segi porsi dan isi materi yang diberikan saja berbeda. Adapun jika materi sudah bagus, maka yang dapat dilakukan harusnya dengan menambahkan waktu belajar menjadi 2 SKS.
Tetapi hal tersebutpun tidak menjamin, karena selama ini pendidikan agama yang diajarkan hanya bersifat menghapal, sehingga yang terjadi banyak anak pintar dalam hapalan dan ujiannya, tetapi tidak pandai mengamalkan, alhasil perilaku siswa menjadi kurang baik.
Akif Khilmiyah Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyebutkan beberapa persoalan yang menghambat pengoptimalan pendidikan Islam di Indonesia, sederhananya yakni masih banyak orang tua yang belum menjadi contoh atau suri tauladan bagi anak. Kebanyakan orang tua disibukkan kerjaan dan karir, sehingga anak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang kurang.
Kemudian, masih banyak guru yang belum memahami metodelogi pembelajaran.
Lalu, persoalan lainnya adalah minimnya peluang yang disiapkan oleh pemerintah bagi guru agama khususnya di sekolah umum. “Sekarang banyak sekali sekolah-sekolah dari tingkati dasar hingga atas itu kurang memiliki guru agama, hal tersebut salah satunya karena tidak adanya lowongan untuk menjadi PNS, dan malah milih guru yang bukan dari jurusan atau dasar pendidik,” ujar Akif, saat ditemui pada Selasa (18/7).
Mengatasi persoalan tersebut, optimalisasi pendidikan Islam yang harus dilakukan adalah; pertama, guru dan orang tua harus menjalin kerja sama atau komunikasi yang baik guna mengetahui perkembangan anak di sekolah.
Kedua, guru dan orang tua ortu harus menjadi suri tauladan yang baik bagi anak. Mendampingi anak dalam bermain, terutama dalam hal gadget, karena pengaruh kecanggihan teknologi menyebabkan rusaknya mental anak.
Ketiga, perlunya pembinaan tentang kreatifitas Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pengenalan pada IT bagi guru.
Keempat, perlunya Peningkat Tindakan Kelas (PTK) terhadap guru baik dalam materi maupun metodelogi, yaitu guru yang dinilai baik atau bagus dapat mendampingi guru yang masih kurang dalam metodelogi pembelajarannya. Adapun yang menjadi penilainya yaitu kepala sekolah.
Lanjut Akif, berjalannya PTK tergantung dengan kebijakan kepala sekolah. “Jika kepala sekolah bagus maka sekolah akan bagus. kepala sekolah yang bagus adalah guru yang paling bagus mengajarnya dibanding guru yang lain, sehingga ia bisa mengontrol guru-guru yang kurang bagus mengajarnya. Istilahnya dalam kepemimpinan hal tersebut disebut instructional leadership yaitu orang yang paling bagus mengajarnya yang dapat menjadi contoh bagi yang lain,” jelasnya.
“Makanya sekolah yang bagus tidak hanya membenah bangunan saja, tapi juga menyiapkan sebagian dana untuk pembinaan guru melalui penelitian, dengan contoh penelitian PTK yang menyiapakn metode pengajaran dan pembelajaran yang kreatif dan inovatif serta menyenangkan bagi siswa,” imbuhnya.
Menurut Akif, dengan melihat berbagai persoalan yang terjadi dalam pola pendidikan Islam di Indonesia, maka disinilah peran penting Fakultas Agama Islam (FAI) dalam sebuah Universitas yang bertujuan untuk menyiapkan guru-guru yang siap dalam metodelogi pembelajaran yang inovatif, bagus dan menarik
“At-toriqotu ahammu minal maddah wal mudarrisu ahammu min kulli syai’, artinya metode itu lebih penting dari materi dan guru lebih penting dari segalanya baik dalam materi maupun metode” pungkasnya.
Disamping itu, sekolah juga diharapkan dapat menghadirkan guru yang baik dalam pemahaman Islamnya, agar materi yang disampaikan pada anak tidak keliru sehingga tidak radikal.
Akif berharap, pendidikan Islam dapat membenah karakter anak yang memenuhi unsur-unsur spiritual. Kecerdasan spiritual anak harus diasah, karena hal tersebut mencakup kecerdasan emosional. Adapun contohnya seperti dalam membuat soal-soal ujian, guru harusnya tidak hanya memberi soal yang berupa cek poin tetapi juga berupa kasus. (tuti)