Minggu, 19 Mei 2024
Home/ Berita/ Busyro Menilai Ada Proses Demoralisasi yang Terjadi di Tubuh MK

Busyro Menilai Ada Proses Demoralisasi yang Terjadi di Tubuh MK

MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA - Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menggelar konferensi pers membahas kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Selasa (30/1).

Dalam kegiatan yang diselenggarakan di Gedung PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat tersebut, hadir Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas, ahli hukum tata negara perempuan Bivitri Susanti, serta Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulianto.

Busyro Muqoddas menilai bahwa ada proses demoralisasi yang terjadi di dalam tubuh MK. Ia merunutkan kronologi bahwa proses itu mulai terjadi sejak MK menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap MK.

“Jika Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan, lantas siapa yang patut memilikinya?” ujar Busyro.

Hal ini menurut Busyro menjadi awal proses pengikisan moral di dalam tubuh MK. “Buktinya adalah kasus tertangkapnya dua hakim MK, yaitu Patrialis Akbar dan Akil Mochtar dengan kasus korupsi,” imbuhnya.

Busyro menegaskan bahwa gejolak demoralisasi tidak bisa ditolerir. Terlebih melihat sikap MK melalui humasnya yang tidak kooperatif, personal dan terlihat anti kritik atas reaksi pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap MK. Selain dianggap merendahkan kontrol yang dilakukan oleh masyarakat sipil, sikap Arief yang menolak untuk mundur dinilai menciderai komitmen delapan hakim MK lainnya.

“Dua tahun ke depan adalah tahun politik. Sudah pasti MK akan memiliki banyak pekerjaan. Jangan sampai integritas MK dipertanyakan akibat komitmennya terhadap integritas meragukan,” sambung Busyro.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mempertegas agar sembilan hakim MK segera mengambil keputusan secara kolektif kolegial atas dasar moral. Khusus kepada Arief Hidayat, Busyro menegaskan bahwa lebih cepat mundur lebih baik sebagai wujud menghormati hak moral masyarakat, yakni hak masyarakat akan hadirnya hakim MK yang teruji integritasnya.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menyebut kasus Arief adalah fakta hilangnya sikap yang wajid dimiliki oleh hakim MK, yakni sikap sebagai seorang negarawan.

Bivitri memandang bahwa etika memiliki nilai yang melampaui Undang-Undang. Sehingga kasus Arief Hidayat yang telah terbukti melakukan praktek katabelece sehingga dua kali mendapat teguran dari Dewan Etik MK dianggap cukup membuat marwah dan legitimasi MK dipertanyakan.

“Mundurnya Arief harus diakui sebagai usaha menjaga kepercayaan terhadap MK apalagi setelah 2 hakim MK terkena Operasi Tangkap Tangan,” ujar Bivitri.

Sementara itu Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulianto menyampaikan bahwa Pemuda Muhammadiyah sedari awal memiliki misi politik kebangsaan yang menekankan pada integritas dan moral.

Melihat bahwa MK adalah anak kandung reformasi untuk menjaga hak-hak konstitusional setiap warga negara, maka hak konstitusional dan hak berkeadilan sebagai negarawan oleh hakim MK harus diperhatikan dan bukan malah menuduh masyarakat yang melakukan kontrol terhadap MK dituduh sebagai agenda melakukan politisasi.

Virgo menegaskan bahwa ‘Surat Cinta’ yang dikirimkan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) pada Jum’at (26/1) di gedung Mahkamah Agung tidak perlu dibalas secara pribadi oleh Arief Hidayat maupun secara kelembagaan oleh MK.

“Jika masih memiliki sedikit rasa malu, cukup dibalas dengan surat pengunduran diri oleh seorang Arief Hidayat,” tegas Virgo. (afandi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *