Kamis, 16 Januari 2025
Home/ Berita/ Puasa Merajut Keadaban

Puasa Merajut Keadaban

 

Oleh: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir

Alkisah, suatu hari di bulan Ramadan. Rasulullah berkeliling menyambangi umat muslim di sekitar kediamannya. Tiba-tiba baginda nabi menjumpai seseorang sedang menghardik-hardik hamba sahayanya. Nabi lantas berkata, "Wahai fulan, makanlah roti ini."

Sahabat itu menjawab dengan tangkas, "Ya Rasul, aku ini sedang berpuasa!" Nabi kemudian berkata, "Bagaimana engkau berpuasa, tetapi memaki sahayamu? Kemudian, nabi akhir zaman itu melanjutkan sabdanya, "Betapa banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga (HR Thabrani)."

Bagi setiap muslim dewasa dapat dihitung berapa kali sudah berpengalaman puasa dalam rentang usianya saat ini. Semakin tua tentu kian banyak jumlah bilangan bulan puasa yang telah ditunaikannya.

Belum berbilang ibadah-ibadah lainnya seperti salat Tarawih dan salat sunah lainnya. Bahkan, tidak sedikit yang terbiasa puasa Senin dan Kamis. Malah berpuasa Daud yang rutin setiap selang satu hari. Sungguh hitungan yang tak berbilang.

Adakah puasa dan ibadah-ibadah mahdhah yang begitu tinggi frekuensinya membekas dalam diri membentuk pribadi takwa? Sebuah pertanyaan klasik yang elementer, yang tentu saja mudah menjawabnya secara lisan dan kalam. Namun, ketika jawabannya merupakan konfirmasi dalam perilaku dan tindakan nyata, tentu saja hanya diri dan orang-orang sekitar yang dapat membuktikannya di kehidupan sehari-hari.

Kisah sahabat nabi tentang sosok yang memaki sahayanya padahal tengah berpuasa adalah bukti faktual, betapa tak mu­dah menyinkronkan ajaran kebaikan puasa atau agama secara umum dalam kehidupan nyata yang sejalan.

Satu di antaranya ialah membuktikan sikap perilaku yang menunjukkan keadaban mulia. Bagaimana misalmya berujar yang baik dan membuktikannya dalam kehidupan di lingkungan terkecil pertemanan dan keluarga. Hingga ke lingkungan luas dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

---

Jika muslim itu rajin salat wajib dan sunah, puasa wajib dan sunah, sebagai ahli zikir, membaca Alquran hingga menjadi penghafal yang fasih, serta merasa diri paling taat beribadah atau menjadi ahli ibadah. Adakah diri terbiasa memproduksi ujaran-ujaran yang baik, lembut, bersih, patut, dan bermakna sehingga menimbulkan efek positif bagi orang lain. Tidak mengeluarkan ujaran atau pernyataan-pernyataan yang kasar, keras, kotor, tidak patut, serta menimbulkan kemarahan dan permusuhan bagi sesama.

Dalam perilaku atau tindakan pun terlahir keadaban utama. Sikap baik, cerdas, welas asih, pemaaf, toleran, hormat, dermawan, dan bersahabat dengan siapa pun meski dengan mereka yang berbeda agama, golongan, ras, suku bangsa, dan pilihan politik. Dalam kehidupan mampu bersikap adil hatta terhadap orang yang dibenci. Sehingga mampu menjadi pembawa ihsan atau kebaikan yang utama dalam kehidupan di ruang publik.

Muslim yang berpuasa dan ibadahnya baik tidak akan memproduksi perilaku dan tindakan yang buruk atau fasad (merusak). Misalnya, teror, aniaya, permusuhan, kebencian, kekerasan, dan segala anarki yang merugikan diri sendiri, keluarga, masyara­kat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Pendek kata tidak melahirkan perangai dan tindakan yang biadab atau nir-keadaban.

Bukankah puasa bertujuan membentuk kualitas pribadi takwa sebagaimana firman Allah tentang kewajiban berpuasa, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 183)." Takwa itu puncak terbaik kualitas insan muslim yang membuahkan segala perangai utama. Termasuk kualitas keadaban dalam perangai memaafkan orang lain dan menahan diri dari marah (QS Ali Imran: 134) serta segala kebajikan serbautama (QS Al-Baqarah: 177). Esensinya, puasa niscaya merajut keadaban mulia bagi pelakunya.

Di sinilah puasa dan segala ibadah mahdhah yang dilakukan setiap muslim secara intensif semestinya melahirkan mozaik perilaku yang berkeadaban utama. Nabi secara khusus menyampaikan sabda mulia dalam salah satu hadisnya yang artinya, "Jika pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan, serta tidak melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa,' (HR Bukhari dari Abu Hurairah)."

Dalam beragama malah merasa paling bersih dan suci, tetapi tidak memancarkan uswah hasanah. Sehari-hari melalui media sosial memelototi keburukan orang lain sambil lupa cacat perangai dalam diri sendiri.

---

Puasa yang menebarkan perangai keadaban mulia sungguh menjadi oase bagi dunia kehidupan yang makin serbabebas saat ini. Media sosial selain memberi manfaat positif sekaligus menunjukkan wajah garang dan apa saja boleh.

Fitnah, adu domba, dan kampanye hitam diproduksi dan dikapitalisasi untuk membunuh lawan politik sekaligus meme­nangkan pertandingan. Tak jarang mengatasnamakan umat dan agama demi menuju takhta. Yang sesungguhnya jauh panggang dari api. Sebab, agama hanya menjadi alat komoditas belaka. Agama tak menyentuh jantung terdalam hati dan membentuk kesalehan diri.

Maka, hadirkan puasa dan ibadah Ramadan saat ini untuk sublimasi diri agar setiap muslim benar-benar bersih diri dalam kesalehan otentik sebagai pancaran uswah hasanah setiap insan beriman yang sukses dalam puasanya guna meraih kualitas takwa. Jadikan puasa dan agama, meminjam Peter L. Berger, sebagai kanopi suci yang menghadirkan perangai-perangai berkeadaban mulia di tengah kegersangan spiritual manusia modern dalam kehidupan semesta saat ini! 

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan pada halaman Jawa Pos, Jumat (18/5)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *