JAKARTA, MUHAMMADIYAH.OR.ID ― Merespon proses pembahasan RUU KUHP sebagai bentuk kodifikasi hukum pidana, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai masih ada catatan serius yang harus diperhatikan oleh DPR sebagai lembaga legislatif dan Presiden sebagai pengusul sebelum RUU itu sendiri disahkan pada kisaran Agustus 2018 nanti.
“Catatan kita terutama terhadap substansi yang ada di DPR berkaitan dengan keinginan DPR dan Presiden yang memasukkan delik pidana khusus pada beberapa hal, terutama tindak pidana korupsi. Kami menolak upaya itu karena dalam keyakinan publik dan HAM kami, tidak ada mandat konstitusi untuk melakukan hal di atas,” ujar Wakil Ketua Majelis Hukum HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution dalam Konferensi Pers Majelis Hukum dan HAM bersama Lembaga Hikmah Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya 62 Jakarta, Kamis (7/6).
Manager lebih lanjut menilai bahwa kekhawatiran dimasukkannya Pidana Khusus Tindak Pidana Korupsi malah akan membuat penanganan terhadap kasus korupsi menjadi amburadul, sebab selama ini kasus korupsi sudah memiliki lembaga sendiri yang menanganinya secara khusus.
“Undang-Undangya (tentang pidana korupsi) kan sudah ada, lex specialis. Jika ini masuk ke KUHP maka bukan Tindak Pidana Khusus lagi dan menjadi kewenangan polisi. Sementara kita saat ini masih meyakini lembaga kepolisian dan kejaksaan belum sepenuhnya dapat diandalkan. Karena itu kita butuh KPK sebagai lembaga khusus. Saat ini masalah korupsi masih darurat. Presiden seharusnya sensitif,” ungkap Manager.
“Kami menengarai dan menganalisa bahwa sulit untuk membantah dengan masuknya tindak pidana korupsi ke RKUHP adalah operasi senyap untuk melemahkan KPK. Kalau publik tidak hati-hati ini bisa jadi lonceng kematian KPK,” imbuh Manager.
Sementara itu Abdullah Dahlan mewakili Lembaga Hikmah Kebijakan Publik PP Muhammadiyah turut mengkritisi proses pembahasan dan pembentukan RUU yang menurutnya jauh dari kriteria sebab banyak pihak terkait seperti civil society yang tidak dilibatkan.
“Bagi kami, usulan tindak pidana khusus terhadap beberapa ranah tersebut malah nampak melemahkan lembaga khusus, bukan malah menguatkan,” ungkap Dahlan.
Kendati mengkritisi langkah RUU KUHP, Muhammadiyah sendiri sebetulnya juga turut mendukung langkah DPR dan presiden dalam mewujudkan pembentukan Undang-Undang yang berlandaskan pada nilai dan semangat nasional bangsa Indonesia.
“Oleh karena itu kami mendorong untuk segera selesai. Dan kami menyarankan agar DPR dan presiden tidak memasukkan delik khusus ke dalam RKHUP. Kami berharap DPR meninjau kembali terhadap delik khusus, dan kami juga mendorong berbagai lembaga yang punya wewenang khusus agar bersikap lebih terbuka, terang dan mendesak DPR dan pemerintah,” imbuh Nasution.
Selain tindak pidana korupsi, Nasution menegaskan bahwa perhatian yang sama juga diberikan pada tiga ranah lain selain tipikor yang dimasukkan dalam RKUHP agar ditinjau kembali.
“Muhammadiyah berharap presiden berkenan mengambil inisiatif dan tanggung jawab untuk mempertimbangkan usulan pemerintah tentang masuknya tindak pidana khusus di KPK, pengadilan HAM, Narkotika, dan isu Lingkungan Hidup,” pungkasnya.(afandi)