Oleh Fahd Pahdepie
Nusantara. Nuswa-swa-anta-tara. Negeri kepulauan yang mandiri tempat berlindung orang-orang yang disucikan.
Dulu saya bertanya-tanya, apa gerangan makna dari nama itu? Mengapa negeri ini disebut Nusantara? Bukan sekadar negeri kepulauan di antara laut-laut (nusa-antara), tetapi lebih dari itu… Sebab nama nusantara merupakan gabungan dari empat kata dalam Bahasa Sansakerta, nuswa-swa-anta-tara. Konon suku kata ‘swa’ dan ‘ta’ di sana terkena hukum sasandi, mirip hukum ‘tasydid’ dalam Bahasa Arab, sehingga akhirnya dibaca ‘nusantara’.
Rasanya makna yang terkandung dalam nama itu tak berlebihan. Kita memang hidup di atas sebuah negeri kepulauan (nuswa), yang mandiri (swa), yang di sana berlindung para ‘anta’ (anto), orang-orang yang disucikan. Makna lain yang lebih luas, bila kita mengasumsikan kata ‘tara’ semakna dengan kata ‘terra’ (bumi) dalam Bahasa Latin, ‘anta-tara’ barangkali bisa diterjemahkan sebagai ‘keturunan orang-orang yang ruhnya disucikan bumi’.
Bagaimana bumi mensucikan ruh kita semua? Menyaksikan para penyintas bencana Banten dan Lampung, mereka yang selamat dari terjangan tsunami Selat Sunda, saya termenung lama. Saya berfikir, dari mereka yang selamat dan bertahan inilah, rupanya, anak-anak negeri yang mewarisi generasi selanjutnya akan lahir. Sementara garis keturunan dan pohon silsilah dari mereka yang menjadi korban, barangkali akan hilang, terhenti, atau paling tidak menjadi tak seperti sedia kala.
Lalu kita kembali berkaca ke belakang, ribuan korban gempa Palu, Lombok, Padang, Jogja, dan lainnya, garis-garis keturunan mereka barangkali juga terhenti. Sementara yang bertahan, yang selamat, bisa melanjutkan kehidupan… Bisa jatuh cinta, menikah, beranak, bercucu, terus hingga bergenasi-generasi.
Ketika tsunami dahsyat menerjang Aceh tahun 2004, lebih dari 250.000 korban kehilangan nyawanya. Bukankah kini, masyarakat Aceh yang bertahan dan melanjutkan kehidupan adalah mereka yang selamat dari amuk laut mahadahsyat itu? Kalau kita renungkan bencana alam besar lain sebelumnya, misalnya letusan Gunung Galunggung tahun 1918 atau letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang menewaskan ribuan korban… Leluhur kita adalah mereka yang selamat dari bencana-bencana itu, yang bertahan, yang akhirnya bisa melanjutkan kehidupan dan memungkinkan kita semua ada saat ini. Sekarang ini.
Demikianlah negeri ini adalah negeri tempat bencana; Dilintasi sabuk api (ring of fire) di mana gunung-gunung berapi berdenyut, lempeng-lempeng bergerak dan bergesekan, juga laut dan samudera yang terbentang dengan palung-palung yang dalam. Dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, bencana tak pernah jauh dari negeri ini. Bahkan mungkin terasa biasa… tragedi dan ironi yang barangkali kita nikmati saja sebagai puisi.
Dari banyak hal yang bisa kita pelajari seusai bencana, dari berbagai hikmah yang bisa kita petik, mungkin sudah saatnya kini kita menyadari: Bahwa kita adalah bangsa yang ruhnya terus disucikan oleh tragedi, oleh bencana-bencana yang menimpa kita terus-menerus, dari generasi ke generasi. Bahwa kita adalah anak-anak, cucu-cucu, cicit-cicit dan seterusnya dari mereka yang berhasil selamat atau bertahan menghadapi bencana. Kita adalah para penerus dari leluhur kita yang para penyintas.
Akhirnya, sebagai sesama orang yang seharusnya hati dan pikirannya ‘disucikan’ dari bencana ke bencana yang panjang ini, bijakkah kita jika menyebut bencana-bencana itu sebagai azab Tuhan? Bajikkah kita menyebut mereka yang menjadi korban sebagai penerima azab itu? Apakah tidak cukup semua bencana ini membuat kita tersucikan hati dan pikirannya untuk menjadi individu dan masyarakat yang lebih baik dan bijaksana? Padahal tak lebih, kita semua hanya anal-cucu para penyintas yang selamat dari bencana-bencana hebat sebelumnya.
Semoga cukup semua ini membuat kita menjadi bangsa yang lebih baik, lebih sadar, lebih mawas diri, lebih bersatu, lebih saling melindungi dan menyayangi lagi satu sama lain. Sebab kita sudah terus dicuci dan disucikan dari bencana ke bencana… Semoga layak kita menjadi para ‘anta-tara’ yang bisa hidup secara mandiri, mawas diri, di atas negeri berpulau-pulau ini.
Mari kita kirimkan doa terbaik untuk para korban bencana, juga untuk para leluhur kita yang terselamatkan dari bencana-bencana sebelumnya. Semoga kita semua tak terlalu pandir untuk menjadi manusia yang terus layak hidup dan bertahan.