MUHAMMADIYAH.ID, BENGKULU -- Kesatuan dan persatuan Indonesia bisa goyah karena tumbuhnya kecenderungan orientasi politik yang mengeras, sehingga satu sama lain mudah terbelah, berbenturan, dan bermusuhan secara saling berhadapan.
"Orientasi politik yang keras membuat setiap orang menjadi sangat ambisius, sehingga politik menjadi to be or not to be atau “urusan hidup dan mati”," kata Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam sambutan pembukaan Tanwir Bengkulu Jumat (15/2).
Haedar menguraikan, politik bukan lagi urusan mu’amalah dunyawiyah yang dasar hukumnya ibahah (kebolehan) yang memberi ruang bagi perbedaan dan toleransi tetapi menjadi urusan keyakinan keagamaan secara absolut sesuai tafsir, pandangan, dan kepentingannya sendiri secara ekslusif.
"Politik di negeri ini menjadi serba frontal, bahkan oleh sebagian dibikin bersuasana gawat, sehingga berrpotensi menimbulkan benturan tinggi. Dalam suasana politik yang terbelah dan membelah itu, media sosial pun makin bebas kian menambah aura politik panas," urainya.
Haedar mengatakan, di media sosial setiap orang boleh mengeskpresikan apa saja tanpa kendali yang mencukupi. Orang sangat terbuka untuk meluapkan marah, ujaran kebencian, menghujat, menyerang, dan menulis semaunya nyaris tanpa pagar pembatas moral.
"Politik melalui media sosial bahkan semakin garang, yang berbeda dengan media cetak dan elektronik yang masih dikontrol oleh redaktur, meski kedua media massa tersebut sebagian mulai menjadi corong politik yang sarat kepentingan dan kehilangan objektivitasnya yang jernih," kata Haedar.
Di akhir, Haedar mengajak seluruh warga Muhammadiyah untuk menampilkan sikap kenegarawanan untuk belajar berjiwa besar dalam berbangsa dan bernegara, lapang hati dalam menghadapi perbedaan, dewasa dalam berkontestasi, saling menghargai dan menghormati.
"Mari kita menjadi suluh penerang hati dan pikiran, peredam konflik, pemberi solusi, serta mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dan golongan sendiri," ajak Haedar.