MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Bergulirnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) semakin memanas di tengah masyarakat. Tercatat pada tanggal 27 Januari 2019, sebanyak 150.000 lebih masyarakat ikut menandatangani petisi penolakan RUU tersebut melalui laman situs https://www.change.org/.
Merespon fenomena itu, Korps Immawati Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM menggelar focus group discussion (FGD), pada Sabtu (16/2/2019) di Gedung PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat. Disksusi yang bertajuk "Indonesia Darurat Kekerasan Seksual; Membedah Pro Kontra RUU PKS" turut mengundang beberapa pakar dan aktivis perempuan, diantaranya DPR RI Komisi VIII, Komnas Perempuan dan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah.
Dalam kesempatan itu, Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengungkapkan kekecewaannya atas respon penolakan sejumlah kalangan terhadap draft RUU PKS. Menurutnya, tidak masuk akal apabila ada sekumpulan pegiat HAM dan para aktivis perempuan yang melegalkan perzinahan ataupun aktivitas seks menyimpang bebas berkembang di negeri ini.
"Kalau kita pikir logis, apa bener di Indonesia para aktivis pegiat HAM dan negara ini membebaskan zina, bebas pelacuran ataupun LGBT. Bahkan kawan-kawan yang mungkin terlibat didalamnya ingin sekali keluar dalam situasi itu," ujarnya.
Ia menambahkan, pembahasan RUU PKS hampir sama dengan UU PKDRT yang mengharuskan Negara hadir dan ikut mengatur hak privat warga negaranya, salah satunya dengan mengubah paradigma berpikir masyarakat.
Komitmen negara harus hadir dalam masalah kekerasan seksual juga di sampaikan oleh Dyah Pitaloka, Anggota Komisi VIII DPR RI. Ia mengatakan, hampir sebagian besar para anggota dewan sepakat untuk menanggulangi fenomena kekerasan seksual, hanya saja upaya yang dilakukannya berbeda-beda. Ia mengakui pembahasan draft RUU PKS cukup alot. Kendati demikian, ia yakin semuanya menghendaki agar Negara masuk mengambil peran untuk melindungi hak-hak para korban kekerasan seksual.
"Sebagian angggota DPR ingin sekali menanggulangi kekerasan seksual. Karena hal ini sudah menjadi keprihatinan kita semua. Semangat penghapusan kekerasan seksualnya ini harus dikurangi, ditindak, Negara mengambil peran disitu sudah masuk. Saya yakin banyak perempuan yang mendukung (RUU PKS), karena ini melalui pengalaman perempuan," ujar Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Sementara itu, Ketua bidang Kemasyarakatan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah (PPNA), Khotimun Sutanti mengatakan kekerasan seksual itu merupakan bentuk kemungkaran. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sementara korban termasuk kaum yang teraniaya.
"Jadi kepada kaum yang teraniaya, tugas kita pertama adalah memberikan perlindungan kepada kaum yang teraniaya, kalau kita sebagai masyarakat tidak bisa melakukannya ya Negara perlu menciptakan sebuah mekanisme," terang Khotimun Susanti.
Khotimun menambahkan, Muhammadiyah juga memiliki produk hukum Majelis Tarjih yang membahas persoalan hukum dan sosial, misalnya terkait poligami atau khitan perempuan. Sayangnya, kata Khotimun, produk fatwa Muhammadiyah itu belum tersosialisasikan dengan maksimal.
Di lokasi yang sama, Ketua DPP IMM Bidang Immawati Frisca Wulandari mengatakan, agenda ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam bagaimana akar permasalahan yang timbul dari pro kontra RUU PKS, mengeksploitasi pengetahuan mengenai RUU PKS yang dianggap dapat mencegah peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, sekaligus ingin mendapatkan masukan sekaligus pertimbangan dari RUU tersebut sebagai upaya darurat kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.
"Melalui kegiatan ini, kami berharap akan terbentuk sebuah paradigma kesadaran yang sama antara aktivis mahasiswa, pemuda dan masyarakat serta LSM bahwa sampai hari ini sudah darurat kasus kekerasan seksual dan membutuhkan solusi yang mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak," kata Frisca. (Andi)