MUHAMMADIYAH.ID, MAGELANG - Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah gelar Focus Group Discussion (FGD) kajian terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang dan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Muhammadiyah pada Selasa (26/2) di Ruang Sidang gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Magelang.
Supanto dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang juga merupakan anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, menyampaikan pandangan terkait kebijakan kriminal pengaturan penghapusan kekeradan seksual.
Supanto menegaskan RUU PKS, perlu memperhatikan nilai-nilai Pancasila dan agama, pengaturan perlu memperhatikan penal policy dalam penyusunannya. RUU belum konsisten memperhatikan nilai nilai yang dianut bangsa Indonesia.
Pemantik kedua Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan rumusan jenis tindak pidana dan sanksi pidana, dalam RUU PKS serta perbandingannya dalam pengaturan di Belanda.
Trisno mengatakan, jenis tindak pidana RUU tumpang tindih dengan beberapa peraturan pidana seperti dalam KUHP, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kesehatan, sehingga perlu perlu dilakukan perbaikan perumusan.
Dan pementik terakhir Arief Setiawan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga Ketua Mejelis Hukum dan HAM PDM Kota Yogyakarta membahas terkait hukum acara dalam RUU PKS.
Arie mengkritisi pengaturan hukum acara, yang tidak secara jelas mendefinisikan pengertian korban serta berbeda dengan rumusan korban sebagaimana dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban.
“Perumusan alat bukti perumusannya mengabaikan proses pembuktian karena menegaskan keterangan korban ditambah satu alat bukti telah dapat membuktikan kesalahan,” jelasnya.
Pandangan peserta FGD menyadari ada persoalan penegakan hukum terkait kekerasan seksual di Indonesia, karena banyak kasus yang tidak dapat diproses sampai ke persidangan.
Sehingga perlu dilakukan pengaturan yang mendukung penguatan terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Terkait perumusan upaya pencegahan terhadap kejahatan kekeradan seksual dalam RUU sudah cukup memadai, namun secara umum terkait norma pidana peserta FGD memandang perlu untuk melakukan perumusan ulang baik ketentuan pidana materiil, formiil dan pelaksana pemidanaan.
“Tanpa perbaikan terkait ketentuan pidana tersebut secara menyeluruh dalam RUU ini, maksud pengaturan untuk menghapuskan kekerasan seksual tidak dapat tercapai, sebab akan memunculkan permasalahan penegakan hukum, untuk itu perlu formulasi ulang dan harmonisasi dengan perundang-undangan lain,” pungkas Arie.