MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Maryono, atau sering disapa Pak Mar adalah sosok gigih di balik kepanjangan aksi pemberdayaan yang dilakukan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, Pak Mar merupakan ketua kelompok pemulung dampingan MPM PP Muhammadiyah, Makaryo Adi Ngayogyakarto (Mardiko) yang berada di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul.
Diusianya yang lebih dari satu abad, Pak Mar matanya masih jelih memilah sampah yang disetor oleh para pemulung kepadanya. Karena selain sebagai ketua kelompok pemulung Mardiko, Pak Mar juga pengepul kecil sampah. Posisi sentral Pak Mar menjadi jembatan penyambung antara Kelompok Pemulung dengan program yang digencarkan oleh MPM PP Muhammadiyah, juga sebagai penyambung pemerintah dengan pemulung yang berada di kawasan TPST Piyungan.
Sosok bapak yang bertanggungjawab, menghidupi tiga anak dan istri. Selain itu, dia juga bertanggungjawab atas 454 pemulung yang tergabung dalam kelompok Pemulung Mardiko. Pesentuhan intensif antara Pak Mar dan Kelompok Pemulung Mardiko dengan MPM dimulai pada tahun 2016, yang diresmikan secara langsung oleh Ketua PP Muhammadiyah, Agus Taufiqurrahman.
Pak Mar beserta ratusan pemulung yang tergabung di Mardiko dan dari luar kelompok, selama ini banyak mengantungkan hidupnya dari melimpahnya sampah yang diantar truk-truk sampah yang hilir-mudik ke TPST Piyungan. Meski demikian, aktifitas mendulang berkah ditumpukan sampah bukanlah jalur pekerjaan yang mereka idamkan. Tapi keadaan yang memaksa mereka menjadi seperti sekarang ini, hal tersebut disebabkan banyak faktor, salah satunya adalah rendahnya tinggkat pendidikan.
Semenjak dilakukan pendampingan, mereka mulai sadar dan bergerak menuju perbaikan saat ini sekurangnya sudah ada 2 Kepala Keluarga yang mulai meninggalkan pekerjaan mereka sebagai pemulung dan beralih profesi menjadi pedagang makanan. Hal ini menjadi bukti bahwa memulung bukanlah cita-cita utama yang mereka idamkan. Namun demikian, mereka masih membutuhkan banyak perhatian serius dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan, seperti Muhammadiyah.
Terlebih seperti sekarang ini, terjadinya kekarut-marutan sistem pengolahan sampah sampai menyebabkan terjadinya penutupan akses ke lokasi TPST, sehinggamenjadi accident yang banyak merugikan banyak pihak, bukan hanya pemulung,tetapi juga masyarakat yang membutuhkan tampungan atas sampah yang diproduksinya.
Merujuk data dari TPST Piyungan, dalam sehari tidak kurang dari 700 ton sampah yang masuk dari Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Sleman. Melimpahnya jumlah sampah yang masuk ke TPST Piyungan menjadi berkah tersendiri bagi Pemulung, karena bisa menghasilkan pundi ekonomi. Namun disis lain, menumpuknya sampah pada satu tempat menimbulkan persoalan lingkungan dan juga kesehatan.
Selain sebagai tempat mengantungkan hidup manusia, keberadaan TPST Piyungan juga merupakan lahan gembala bagi ratusan sapi milik pemulung. Kini, sejak ditutupnya pada Sabtu (23/3) lalu, aktifitas pemulung yang mendulang berkah di tumpukan sampah menjadi terganggu. Seperti yang dikatakan Wuri Rahmawati, Ketua Komunitas KhsususMPM PP Muhammadiyah yang secara intens mendampingi Kelompok Pemulung Mardiko.
Kepala Program Studi (Kaprodi) Komunikasi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta berpendapat bahwa, dengan ditutupnya TPST Piyungan, menyebabkan turunnya volume sampah yang secara otomatis akan mengurangi sampah yang bisa dipilah oleh pemulung. Sehingga menyebabkan turunya pendapatan pemulung, yang berdampak secara langsung pada matinya kepul asap dapur rumah tangga pemulung. (a'n)