MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Ketika berbicara tentang karomah, ingatan yang muncul pertama dan memiliki kaitan dengan kata tersebut adalah tokoh-tokoh ulama dari Nahdlatul ‘Ulama (NU). Namun banyak yang tidak mengetahui, ternyata di Muhammadiyah juga terdapap tokoh yang memiliki karomah. Diantaranya adalah KH. Abdul Razak Fachruddin, atau yang sering disapa Pak AR.
Menurut bahasa, arti karomah adalah sebuah kemuliaan, kehormatan dan anugerah. Maka sebenarnya, semua orang pasti memilikinya. Terlebih tokoh agama atau ulama yang memiliki kefaqihan dalam persoalan agama.
Diantaranya adalah Pak AR Fachruddin, Ketua Umum PP Muhamamdiyah yang menahkodahi Muhammadiyah paling lama yakni 22 tahun, mulai dari tahun 1968 mengantikan KH. Faqih Usman dan selesai pada tahun 1990 saat Muktamar di Yogyakarta. Namun bukan tentang lamanya kepemimpinan Pak AR yang menjadi karomahnya, tapi lebih kepada sikap hidup dan gaya komunikasinya.
Telah jamak diketahui oleh kalangan Muhammadiyah atau pun luar Muhammadiyah, Pak AR sebagai sosok ulama yang wara’ dan zuhud. Sosok utuh Pak AR adalah sosok yang tidak mau pandangan politiknya didikte oleh siapapun. Seperti yang disampaikan oleh Sukriyanto AR, Putra Pak AR ini pernah mengatakan bahwa, dalam urusan politik Pak AR tidak mau didikte ataupun ditekan oleh siapapun.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Pak AR ketika menulis surat terbuka untuk simpatisan Partai yang melakukan kampanye untuk Golongan Putih (Golput) atau kelompok yang tidak menggunakan hak memilihnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) di masa kampanye tahun 1992.
Termasuk ketika Pak AR menyarankan Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden. Menurutnya, lamanya Pak Harto menjabat sebagai Presiden akan banyak menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak. Baik kepada Soeharto sendiri, rakyat dan juga negara pun akan dirugikan. Padahal saat itu Soeharto sedang berada di posisi puncak karirinya sebagai Presiden.
Semua orang takjub dan takut kepadanya, Soeharto juga menjadi tokoh yang paling disegani saat itu. Namun di mata Pak AR, Presiden ke 2 RI itu sama dengan kawan yang sekali waktu bisa salah dan harus diluruskan.
Merujuk pada beberapa kisah Pak AR tersebut, dapat disinyalir bahwa, karomah yang dimiliki oleh Pak AR adalah etikanya dalam menjalin komunikasi yang bisa diterima oleh siapapun. Baik oleh kalangan atas, bawah, atau bahkan kelompok radikal sekalipun. Seperti yang terjadi pada tahun 1958 saat Pak AR menghadiri Musyawar Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Aceh di Blang Pidie.
Sebagai upaya menyamakan pengertian dengan kalangan Islam Garis Keras, Pak AR kemudian melakukan dengan beberapa tokoh yang tercatat memiliki jalan keras, seperti Kahar Muzakar dan Tengku Daud Beureuh. Ketika melakukan pertemuan dengan Daud Beureuh, tokoh DI/TII. Meski dengan tokoh yang memiliki perbedaan dalam melakukan perjuangan Pak AR masih bisa akrab dan tetap santun dengan lawan diskusinya. Hal serupa juga terjadi ketiak bertemu dengan Kahar Muzakar pada tahun 1960 di Sulawesi.
Menurut Sukriyanto AR, jalan dakwah santun yang dipilih oleh Pak AR merujuk pada perintah Rasulullah. Namun dakwah santun dan lembut bukan berati lembek terhadap persoalan yang menyangkut prinsip. Pak AR sebagai tokoh utama Muhammadiyah saat itu sangat terbuka atas semua pendapat yang disampaikan padanya. Tapi, Pak AR juga memiliki bagian di hidupnya yang tidak semua orang boleh mengotak-atiknya, yaitu terapat pada prinsipnya yang kuat.
Sumber : Buku, (Pak AR Sufi Yang Memimpin Muhammadiyah). Oleh Moch Faried Cahyono dan Yuliantoro Purwowiyadi.