Abdur Rozaq Fachruddin atau yang akrab disapa Pak AR, dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang bersahaja. Hidupnya sederhana dan tak banyak polah. Ia sangat suka berdakwah, terutama mendakwahi masyarakat pinggiran dari pinggir kali code, lereng gunung merapi, hingga kupu-kupu malam di pasar kembang. Menolak-nolak mengisi pengajian di DPR malah memilih pengajian yang tidak seberapa dipinggir kali.
Abdur Rozaq Fachruddin yang akrab disapa Pak AR banyak menjadi teladan bagi kader-kader Muhammadiyah, terutama karena kesederhanaannya yang luar biasa. Menolak diberi mobil dengan alasan mahal biaya bensin dan perawatannya, lebih-lebih juga karena menurutnya mobil tak bisa masuk ke gang-gang kecil hingga Ia merasa risau bila ada undangan pengajian di sana, bagaimana Ia harus memakirkan mobilnya, dan bahkan menyetir mobil pun tak bisa.
Rumahnya pun terletak di gang kecil di Kauman. Meski begitu,sejak jadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun 1968, rumah Pak AR banyak kedatangan pejabat, Gubernur sampai Panglima.
“Ketika Pak AR Fachruddin terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, itu Pak Ar ditawari oleh Pak Haji Prawiro Yuwono rumah di Taman Yuwono, taman yuwono belakang Malioboro disuruh disitu, karena sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah kurang layaklah rumahnya di Kauman saat itu, karena kecil dan sebagainya, banyak pejabat datang, gubernur, panglima datang kok tinggalnya ditempat sempit,” ungkap Sukriyanto AR salah satu anak Pak AR yang kini menjadi Ketua Lembaga Seni Budaya Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah, ketika ditemui pada Sabtu (15/6).
Dengan nada lugas, Sukriyanto bercerita bahwa tidak hanya Pak Haji Prawiro Yuwono saja yang menawari rumah kepada Pak AR. PP Muhammadiyah kala itu juga menawari rumah yang sebelumnya menjadi asrama Mahasiswa Muhammadiyah di Jalan Cik Ditiro.
“Kemudian PP Muhammadiyah menawari tinggal di rumah yang ada di Jalan Cikditiro itu, jadi Cikditiro itu bukan rumah milik Pak AR, melainkan bekas rumah menteri agama KH Fakih Usman itu, yang pemiliknya itu masih mantri Belanda yang sebelumnya tinggal disana,” ungkapnya lagi.
Sejarah panjang mencatat bahwa rumah itu pun menyimpan banyak kenangan. Dan hadirnya rumah yang berada di Jalan Cikditiro itu melewati proses yang panjang.
Saat itu Kota Baru sedang gencar-gencarnya dibangun, karena Pemerintahan Belanda banyak membangun pabrik gula yang jumlahnya hingga sembilan pabrik. Tak tanggung-tanggung para pimpinan pabrik pun difasilitasi, dari rumah, klinik, dan rohaniawan rohaniawati. Perumahan yang dibangun oleh Pemerintahan Belanda berada disekitaran Jalan Cikditiro, dan klinik-klinik yang disediakan kini menjadi RS Panti Rapih dan RS Bethesda.
Dahulu, rumah di Jalan Cikditiro 19 A Yogyakarta itu ditempati oleh seorang Mantri yang bekerja di klinik. Namun, saat Ibu Kota Indonesia berpindah ke Yogyakarta menjadi Republik Indonesia Serikat, rumah Mantri tadi ditempati oleh Menteri Agama KH Fakih Usman. Setelah Ibukota Indonesia berpindah lagi ke Jakarta, KH Fakih Usman menghibahkan rumah tersebut untuk Muhammadiyah yang kemudian digunakan sebagai Asrama Mahasiswa Muhammadiyah.
Kembali pada cerita Pak AR yang ditawari untuk tinggal di Taman Yuwono atau di Jalan Cikditiro, PP Muhammadiyah menyaranakan agar Pak AR menerima rumah yang dari Muhammadiyah saja. Sehingga pada tahun 1968, Pak AR memutuskan tinggal di Jalan Cikditiro 19A. Pada saat itu Pak AR juga menyarankan agar rumah itu dibeli dan diurus hingga ke Belanda, agar ahli waris rumah itu tidak meminta kembali di masa yang akan datang.
“Jadi setelah dibeli memang saat kepemimpinan pak AR, agar rumah itu selamat dan tidak diminta ahli waris maka disarankan pak AR agar rumah itu dibeli. Memang Pak AR tidak memiliki rumah, karena pada awalnya pak AR datang dari desa kemudian menyewa di Kauman sampai akhirnya pak AR diminta tinggal di Jalan Cikditiro. Kemudian Wakil Bendara PP waktu itu Pak Daris Tamimi mengurus pembelian tanah dan rumah dari Mantri yang dulu sebagai pemilik rumah tersebut, dibeli seharga 300.000 golden. Setelah dibeli ya jadi milik Muhammadiyah mulai tahun 1968 itu,” kata Sukriyanto.
Saat di Cikditiro itu Pak AR tinggal bersama empat anaknya, karena anak yang lainnya ada yang tinggal dan bersekolah di Jakarta dan Mesir. Disitu juga ada mahasiswa-mahasiswa yang kos.
“Kegiatan yang dilaksanakan di rumah itu diantaranya banyak kalau mahasiswa ya belajar kalau pak AR yayang berkaitan di Muhammadiyah. Ada kultum, jamaah, pertemuan kecil dan rumahnya setelah pak AR disana ramai,” katanya lagi.
Syaefudin Simon dalam bukunya ‘Pak AR Sang Penyejuk’, menceritakan bagaimana kisahnya selama tinggal di jalan Cikditiro 19A. Ia mengatakan bahwa pada awalanya Ia tidak mengenal siapa itu Pak AR dan akhirnya menyadari bahwa Pak AR adalah tokoh yang besar.
Dulu, Pak AR sangat memperhatikan anak-anak yang kos dirumahnya, dari mulai kebersihan dan ketertiban asrama. Kata Simon dalam bukunya, Pak AR sering sekali menegur anak-anak yang kadang slengekan, tidak rapi, dan sembrono. Anak-anak sering tak menyadari bahwa tamu-tamu yang datang kerumah di Jalan Cikditiro itu orang-orang penting.
Sukriyanto AR mengatakan saat tinggal disana memang rumahnya cukup ramai dan nyaman. Ia juga mengungkapkan bahwa sebenarnya Pak AR sudah berikhtiar untuk membeli rumah sendiri. Saat itu susah payah Pak AR menyewakan lahan warisan ibunya di desa selama 10 tahun yang hasilnya digunakan untuk membeli rumah. Namun, Allah terlalu sayang dengan Pak AR, setelah rumah terbayarkan senilai dua juta, Perusahaan pengembang di Semarang yang rumahnya akan dibeli Pak AR malah bangkrut dan tidak bertanggung jawab kemudian ikhtiar Pak AR itu akhirnya belum terwujud sampai Pak AR meninggal tahun 1995.
“Dulu kan memang PP pernah bilang untuk meninggali rumah itu sak kesele Pak AR lah, tapi tahun 1995 Pak AR itu meninggal kita satu keluarga raat dan ibu sudah dibuatkan rumah disebelah saya ini. Dulu rumah ini dibuat maksudnya juga untuk Pak AR, kalau sudah tidak menjadi anggota PP lagi. Rumah sudah jadi tapi tanggal 17 Maret 1995 meninggal sehingga yasudah begitu meninggal kami serahkan kembali dan kami pamitan ke PP,” jelas Sukri.
Penyerahan kembali rumah itu, karena kesadaran Keluarga bahwa rumah tersebut adalah titipan Muhammadiyah. Selain itu, anak-anak Pak AR telah memiliki rumah masing-masing. Pada dasarnya Pak AR juga telah dibuatkan rumah, yang berada dirumah Pak Sukriyanto AR untuk nanti kalau Pak AR sudah tidak menjadi anggota PP Muhammadiyah lagi. Namun mimpi itu harus sirna karena Pak AR telah dipanggil pulang ke rahmatullah lebih cepat.
Setelah menyerahkan rumah di Jalan Cikditiro 19A yang kini alamatnya menjadi Jalan Cikditiro no 23 Yogyakarta, Bu AR pun berpamitan pada PP Muhamamdiyah yang saat itu diterima oleh Pak Amien Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Penyerahan itu dilakukan tanpa seremonial, hanya pertemuan sederhana untuk menyerahkan rumah dan suratnya pada PP Muhammadiyah. Bu AR pun kemudian tinggal disebelah rumah Pak Sukriyanto AR yang memang rencananya rumah itu akan digunakan Pak AR dan Bu AR hingga akhir hayatnya.
Setelah diserahkan oleh Keluarga Pak AR kepada PP Muhammadiyah. Rumah tersebut dibangun menjadi Kantor PP Muhammadiyah yang sebelumnya terletak di Jalan Ahmad Dahlan. Sehingga Kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta memiliki dua Kantor. Kantor utama di Jalan Cikditiro no 23 dan Kantor di Jalan Ahmad Dahlan, Notoprajan.
Kantor PP Muhammadiyah Pusat yang di Jalan Cikditiro no. 23 digunakan sebagai Kantor Ketua Umum PP, sementara kantor di Jalan Ahmad Dahlan 103 yang diberi nama Gedoeng Moehammadiyah digunakan sebagai kantor Majelis/Badan/Lembaga PP Muhammadiyah, yakni Majelis Diktilitbang, Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis Tabligh, Lembaga Lingkungan Hidup, Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan, Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB/ MDMC), Majelis Pustaka dan Informasi serta Majelis Pendidikan Kader. Selain itu, dua organisasi otonom tingkat pusat yakni Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (NA) juga berkantor di situ.
Sayangnya, PP Muhammadiyah maupun Keluarga besar Pak AR tidak memiliki arsip foto rumah di Jalan Cikditiro dulu, sehingga sekarang rumah yang dulu ditinggali Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama itu tidak menyisahkan lembaran foto kenangan.
Sukriyanto mengatakan bahwa model rumah dulu yang Ia tinggali bersama keluarganya kurang lebih seperti yang ada disamping Kantor PP Muhamamdiyah Jalan Cikditiro sekarang. Bangunan itu masih lebih asli daripada bangunan yang lainnya disekitaran Jalan Cikditiro. (Syifa)
Foto : Ilustrasi