Banyaknya pikiran dan paham yang berkembang saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah dalam meneguhkan identitas. Muhammadiyah memiliki setting ideologi dan ciri gerakan tersendiri sebagai usaha menjangkau ruang lingkupnya. Dan Muhammadiyah memilih identitas berkemajuan yang diutarakan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai afirmasi dan peneguhan identitas dan arah gerakannya. Istilah berkemajuan merujuk kepada pesan yang disampaikan kepada santri/muridnya.
“Dadiyo kyai sing kemajuan lan aja kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah.”(Jadilah Kyai yang berkemajuan dan jangan pernah lelah berjuang untuk Muhammadiyah). Abdul Mu’ti dalam tulisannya yang diterbitkan pada tahun 2018, mengartikan kiyai yang berkemajuan sebagai pemimpin muslim yang menguasai ilmu agama, taat beribadah dan berakhlak al-karimah serta menguasai ilmu dan pranata masyarakat modern.
Menghadapi derasnya informasi dan era keterbukaan keberagamaan yang disebabkan kemajuan teknologi sekarang ini, diperlukan peneguhan identitas Islam Berkemajuan. Meski telah memiliki identitas sendiri, rekam jejak sejarah Muhammadiyah yang memiliki irisan dengan beberapa pemikiran tokoh Islam lain seperti Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab, juga persentuhan KH Ahmad Dahlan dengan Kolonial (Barat) menimbulkan tarik ulur kesepakatan ‘bentuk wajah’ Muhamamdiyah oleh warga persyarikatan di kalangan muda dan kelas menengah kekinian.
Rekam sejarah tersebut memicu disorientasi warga persyarikatan, Haedar Nashir mengatakan bahwa, disorientasi yang terjadi dikalangan warga persyarikatan disebabkan karena kepahaman warga persyarikatan terhadap rumahnya sendiri belum menyeluruh atau mendalam. Sehingga wajah berkemajuan sebagai identitas Muhammadiyah dengan mudah diubah dan ditarik ulur sesuai kepentingan pribadi dan kelompok.
Terkait jejak sejarah tersebut, menyebabkan Muhammadiyah mendapat justifikasi sebagai gerakan yang radikal, fundamentalis, ekstrimis juga sebagian di dalam maupun luar kalangan Muhammadiyah menjustifikasi sebagian yang lain sebagai liberalis. Justifikasi yang didapatkan merupakan dampak dari kecenderungan warga persyarikatan terhadap ideologi-ideologi tertentu yang disebabkan dari persentuhan dengan ‘tamu-tamu’ luar. Sebagai contoh ialah ditolaknya pembangunan Masjid Muhammadiyah oleh masyarakat Bireun yang mayoritas berpaham ahlusunnah wal jama’ah, karena Muhammadiyah dianggap sebagai representasi dari gerakan Wahabi.
Padahal sebagai organisasi dan pergerakan, Muhammadiyah tentu memiliki Anggaran Dasar yang mengatur alur gerakan jama’ah dan organisasinya. Di dalam Anggaran Dasar disebutkan Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan tajdid yang berdasarkan Al Qur’an dan as Sunnah. Berdirinya Muhammadiyah bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah memiliki karakter dan sistem tersendiri yang berbeda dengan gerakan organisasi Islam lain. Hal utama yang menjadi pembeda adalah ‘manhaj’, karena gerakan Islam tidak bisa bersifat tunggal sehingga manhaj merupakan sunatullah (lihat, al Ma’idah; 48). Di dalam ayat tersebut lafadz “syir’ah” dan “minhaj” disebutkan berurutan. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Syir’ah/syariah berarti jalan yang luas, sedangkan minhaj/manhaj berarti jalan yang khusus, yang dipilih dan dilalui seorang untuk mencapai tujuan.
Dalam penjelasan, syariah sebagai kaidah umum yang didalamnya terdapat kesamaan ajaran di antara semua organisasi Islam. Sedangkan manhaj adalah metode dan metodologi yang dipergunakan untuk menemukan jalan terang dan benar yang dipilih dan dilaluinya. Sebagai contoh, Al Qur’an memerintah manusia untuk sholat, hal ini sebagai wilayah syariah. Sedangkan dalam menentukan waktu shalat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat berdasarkan dalil-dalil tertentu.(a’n)
Referensi: Abdul Mu'ti, 2018, Mengarusutamakan Manhaj Islam Berkemajuan