MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 dikenal sebagai organisasi pembaharuan Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan atas respon ketertindasan dan ketertinggalan umat Islam yang dilakukan oleh kolonial, dalam konteks Indonesia adalah Belanda.
Merespon hal tersebut Ahmad Dahlan mulai mendirikan sekolah-sekolah Islam modern yang pelajaranya bukan hanya tentang keagamaan saja, melainkan juga pelajaran-pelajaran umum. Dalam berjalannya waktu, peran sentral Muhammadiyah semakin mengakar serta pandangan-padangan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah berkesesuaian dengan arah moderintas.
Menurut Nico J.G Kapten (2004), perkembangan otoritas keagamaan di Indonesia yang awalnya dimiliki dan digerakkan secara personal/individu (ulama), yang merujuk kepada fatwa-fatwa ulama di Timur Tengah (Mekkah). Selanjutnya, setelah umat muslim mengenal budaya baca dan tulisan yang diwadahi oleh percetakan, otoritas keagamaan bukan lagi hanya dimiliki oleh individu, tapi berubah kearah otoritas kolektif.
Otoritas keagamaan yang awalnya dipegang oleh ulama yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang didapatkan melalui belajar secara mendalam tentang ilmu-ilmu keagamaan di pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan, namun kemudian ukuran tersebut mejadi ‘kabur’. Karena umat bukan lagi meminta atau mendengarkan fatwa “mereka” yang memiliki kedalaman ilmu dan telah melalui proses untuk mendapatkan ijazah tersebut. Umat lebih memilih fatwa yang diproduksi ‘media sosial’nya.
Untuk membedakan jenis otoritas keagamaan ini, Nico J.G Kapten membedakannya menjadi dua. Yakni, pertama, otoritas keagamaan tradisional, yaitu ulama yang secara khusus belajar ilmu-ilmu melalui lembaga pendidikan yang berada dan tinggal di Timur Tengah.Kedua, otoritas keagamaan modern yang diwakili oleh ulama-ulama lokal yang memproduksi fatwa secara kolektif yang disebarkan melalui majalah atau media cetak lainnya.
Terjadinya perubahan dan bergesernya otoritas keagamaan umat Islam disebabkan karena umat Islam secara luas telah mengenal budaya baca-tulis dan percetakan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, budaya baca-tulis dan percetakan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah yang telah memiliki majalah, yaitu Suara Muhammadiyah (SM) yang sudah terbit sejak tahun 1915.
Selain kepemilikan majalah, peran Muhammadiyah dalam mengarahkan umat Islam ke arah modernitas adalah melalui Amal Usaha (AUM) bidang pedidikan yang telah mengajarkan baca dan tulis yang bukan hanya bahasa Jawa dan Arab, tetapi juga bahasa latin. Berkat gagasan berkemajuan yang diimplementasikan oleh Muhammadiyah mengarahkan peradaban manusia kearah modern dan mengalir dengan deras menuju postmodern.
Menjelang milad ke 107 M yang jatuh pada tangal 18 November 2019, Muhammadiyah harus terus mampu menghadirkan kesegaran beragama melalui gagasan-gagasan pembaruan yang diberikan oleh pendiri dan generasi awalnya. Muhammadiyah kini ditantang dalam babak baru peradaban postmodern, babak peradaban yang banyak menegasikan peran manusia dalam kehidupan.
Seperti yang dikatakan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah harus hadir untuk mengguyur keringnya keruhanian atau spiritualitas umat di era postmodern, Haedar menekankan bahwa tidak bisa hanya dibasuh dengan fatwa agama yang sifatnya hanya banalitas. Serta mampu mengembalikan human dignity dalam setiap aspek kehidupan.
Sebagai dinnul hadharah (agama berkeadaban), Islam memiliki nilai-nilai utama tauhid yang bukan hanya menempatkan teosentris semata, tetapi keTuhanan yang juga melahirkan kemanusiaan (antroposentris). Sehingga sudah menjadi keharusan otoritas agama (Muhammadiyah) untuk menghidupkan akal budi manusia, yang jernih dan bebas dari kebebalan. (a'n)