MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL — Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Bachtiar Dwi Kurniawan mengajak kelompok difabel untuk bersama berdaya dan tidak boleh ada lagi diskriminasi karena semua warga negara berhak untuk memajukan Negara dan Bangsa Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Bachtiar disela acara Perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) pada Ahad (8/12) di Kecamatan Pleret, Bantul.
“Melihat kenyataan bahwa teman-teman difabel jika dihitung jumlahnya banyak. Kesadaran masyarakat tidak boleh memandang atau berstigma negatif kepada kelompok difabel. Kita harus bergerak bersama-sama, pemerintah seyogyanya lebih kuat lagi untuk memberikan perhatian kepada teman-teman difabel,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini menguraikan, terkait langkah yang bisa diambiloleh Pemerintah untuk memberdayakan kelompok difabel diantaranya adalah melalui pembuatan kebijakan publik yang berpihak kepada kelompok rentan difabel dengan segala macam kompleksitasnya.
“Kedua dalam aspek ketenagakerjaan, pemerintah bisa memberikan space terhadap difabel. Baik dunia kerja yang ada di Pemerintah, maupun peluang kerja di sektor swasta,” tambahnya.
Selanjutnya tidak boleh ada diskriminasi atas akses kelompok difabel terhadap permodalan usaha. Karena selama ini dalam prakteknya difabel memiliki keterbatasan akses untuk permodalan ke perbankan. Hal ini masih bertalian erat dengan stigma bahwa, kelompok difabel dianggap lemah atau tidak memiliki kemampuan untuk berwirausaha dan mengembangkan usahanya.
Untuk hal ini, Muhammadiyah telah bergerak untuk membuka dan mempermudah akses peminjaman modal terhadap mereka. Yaitu melalui Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang diinisiasi oleh MPM PP yang dijalankan oleh difabel dan semua anggotanya adalah difabel. Keempat, pemerintah harus lebih bijak dan serius lagi dalam menyediakan infrastruktur terhadap kelompok difabel.
“Entah di jalan, di kantor dan di aktifitas sehari-hari fasilitas yang tersedia dan inklusi terhadap difabel masih sangat minim. Malah mungkin tidak sesuai peruntukkannya, fasilitas yang harusnya untuk difabel tapi dipasang hanya sebagai aksesoris saja. Tapi secara fungsi tidak maksimal,” urainya.
Dalam penyediaan fasilitas yang inklusi, Bachtiar mencontohkan dibeberapa negara maju telah menerapkannya, fasilitas umum hampir semua bisa diakses oleh difabel dan terintegrasi. Ini merupakan contoh yang baik bagi Pemerintah Indonesia, jika negara lain bisa kenapa negara kita tidak.
“Penyediaan fasilitas yang inklusi juga merupakan amanat dari Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Sedangkan dalam akses perlindungan, atau proteksi terhadap kelompok difabel dari tindak kekerasan juga harus lebih dikuatkan. Sebagai kelompok rentan dan minoritas, difabel sebenarnya butuh proteksi yang lebih kuat dari Pemerintah. Sehingga selain infrastruktur yang inklusif, kebijakan yang diterapkan juga menjadi penjaga kelompok rentan dan minoritas di negeri ini dari tindakkan intoleran.
“Muhammadiyah melalui MPM hadir dalam rangka keberpihakan dan pemberdayaan untuk memajukan kelompok-kelompok rentan difabel,” pungkas Bachtiar. (a'n)