MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Membuka Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta, Jumat (13/12) yang bertema “Regulasi Majelis Taklim: Perlukah?” Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti berharap kebijakan pengaturan majelis taklim tidak menimbulkan efek kontraproduktif bagi umat Islam.
“Majelis taklim itu sudah mapan, bahkan ada jam’iyah-jam’iyah lain. Regulasi ini arahnya ke mana? Jangan sampai menyulitkan dakwah atau mencurigai orang yang berdakwah dan berbuat baik. Muslim Indonesia ini kan moderat dan jumlahnya mayoritas, pertanyaannya ada apa? Arahnya ke mana?,” tanya Abdul Mu’ti.
Meski tidak memungkiri adanya fenomena banyaknya pendakwah instan yang tidak mencerminkan sikap moderat, menurut Mu’ti, masyarakat terlalu sering disibukkan untuk meributkan hal-hal terkait agama yang remeh dan tidak perlu,
Menjawab Abdul Mu’ti, Direktur Penais Kemenag RI Achmad Djuraidi menyatakan Peraturan Menteri Agama No. 29 Tahun 2019 Tentang Majelis Taklim dimaksudkan sebagai pendataan guna menguatkan majelis taklim sehingga kebijakan dakwah dapat diukur.
Menanggapi Djuraidi, Ketua Fraksi PAN MPR RI Ali Taher Parasong menyatakan UU yang baru diteken tersebut cacat secara hukum mulai dari tujuan, proses pengkajian dan perumusan, penetapan, hingga penjiwaan UU.
“Menurut saya segera dicabut saja karena tidak bakal jalan. Secara sosiologis tidak rasional,” tegas Djuraidi.
Memungkasi acara, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad berharap pemerintah sensitif terhadap perasaan masyarakat dan berhenti melakukan framing terhadap umat Islam di Indonesia.
“Majelis taklim ini bagian dari masyarakat Indonesia, bahkan peranannya dalam kemerdekaan luar biasa. Mengapa berumur panjang? Karena bermanfaat. Indonesia ini tingkat toleransinya juga tinggi. Itu terjadi karena Islam mayoritas. Framenya (UU Majelis Taklim) jangan anti-radikalisme, jangan itu. Anti radikalisme sebaiknya diubah menjadi moderisasi. Jangan sampai dikoyak oleh kepentingan politik sesaat,” pesan Dadang. (afandi)