MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL—Agung Danarto, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan bahwa, majelis Tarjih selalu memberikan pencerahan dan penyegaran dalam konteks keagamaan, kebangsaan dan keumatan. Karena pembahasan yang dilakukan selalu memiliki kebaruan, dan beberapa kajian yang dilakukan oleh Tarjih sulit dicari dalam kajian kitab-kitab klasik.
“Pembahasan persoalan-persoalan kontemporer yang dilakukan oleh Tarjih merupakan pencerahan dan peyegaran. Ini menjadi pengisi kesepakatan Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah. Karena negara Indonesia ini bisa seiring dan sekonsep dengan yang ingin kita capai sebagai baldatun toyibatun wa rabbun ghafur," tutur Agung dalam sambutan di acara Seminar Nasional Majelsi Tarjih dan Tajidid PP Muhammadiyah pada Kamis (19/12) di Amphitarium Kampus Pusat UAD.
Beragama memang harus sesuai dengan yang dijelaskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi teks ajaran agama tersebut dimaknai dan diimplemntasikan sesuai dengan keadaan zaman dan implementasi fikih yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan. Tidak dimaknai secara tekstual, yang malah mundur kebelakang.
Jargon pencerahan yang dimiliki oleh Muhammadiyah harus dilekatkan pada tiap-tiap majelis yang berpayung dibawahnya, terlebih majelis Tarjih melalui putusan hukum atau fikih yang sifatnya selalu dinamis. Sehingga konsep ar ruju’ ila qur’an wa sunnah bukan suatu gagasan kosong, melainkan juga dikenalkan manhaj seusai dengan Tarjih Muhammadiyah.
Penyampaian dan pemahaman manhaj gerakan Muhammadiyah perlu untuk dipopulerkan, supaya konsep kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah tidak dibajak oleh golongan lain yang lebih mengarah kepada pemahaman secara literal-tekstual (makna dhahir). Sehingga dalam beberapa kasus, warga Muhammadiyah sendiri terjebak dalam metode seperti ini.
“Di Muhammadiyah banyak yang memahami ar ruju’ ila qur’an wa sunnah yang ws pokok’e setiap pembahasan ada ayatnya ada hadistnya itulah ar ruju’ ila qur’an wa sunnah. Padahal kalau merujuk kepada Kepribadian Muhammadiyah, itukan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam," urai Agung.
Terputus atau tidak lengkapnya pembacaan dan pemahaman terhadap Kepribadian Muhammadiyah terlebih dalam kalimat ‘dengan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam’, menjadikan kesalah pahaman warga persyarikatan dalam mendekati teks. Selain itu, konsep pendekatan yang lain dan sejalan dengan Manhaj Tarjih adalah pendekatan melalui bayani, burhani dan irfani.
“Menyadari pentingnya penggunaan manhaj tersebut akan membawa Muhammadiyah kepada pencerahan. Karena disebagian level anggota Muhammadiyah karena kesalah-pahaman tadi, akhirnya banyak diisi oleh kelompok-kelompok yang sedikit-sedikit membid’ahkan, mengkafirkan, bahkan dibeberapa tempat Muhammadiyah juga dibid’ahkan oleh anak didik Muhammadiyah," ucapnya.
Sedangkan, terkait persoalan agraria sebenarnya sudah masuk menjadi rekomendasi pada Tanwir 2009 di Lampung. Rekomendasi tersebut masuk di dalam bahasan revitalisasi dan karakter bangsa, untuk Indonesia kedepan Muhammadiyah waktu itu menyarankan tiga bentuk revitalisasi. Yaitu revitalisasi politik, ekonomi, serta sosial dan budaya.
“Pada revitalisasi ekonomi pada poin keempat usulan Muhammadiyah adalah agar pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi agraria. Ada tujuan reformasi tersebut agar segera dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, pertama dengan mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan dan untuk mengendalikan konversi lahan yang merugikan rakyat," pungkas Agung.
Persoalan konversi lahan menjadi salah satu isu serius yang dihadapi oleh Indonesia, misalnya konversi lahan pertanian menjadi perumahan, lahan hutan menjadi pertanian, menimbulkan kerusakan dan kerugian yang luar biasa. Muhammadiyah menawarkan empat cara melalui penataan aset pertanahan, redistribusi lahan, pemberian akses tanah negara kepada masyarakat miskin, dan penetapan lahan abadi untuk kepentingan pembangunan pertanian.