Kamis, 16 Januari 2025
Home/ Berita/ Catatan Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia

Catatan Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia

MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL — Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) selenggarakan Refleksi Akhir Tahun padaKamis(26/12) di Ruang Sidang FH UMY, Kompleks Kampus UMY terpadu dengan tema kajian korupsi, terorisme, dan narkotika.

Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, Trisno Raharjo, memaparkan bahwa, tindak pidana korupsi, narkotika dan terorisme merupakan bentuk tindakan kejahatan luar biasa (ekxtra ordinary crime). Karenanya memerlukan cara-cara yang luar biasa untuk menanggulanginya.

Dalam temuannya pada tahun 2019, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengungkapkan beberapa catatan menarik. Diantaranya adalah terjadi pada tindak pidana korupsi. Dimana diawal tahun 2019 terjadi penyerangan terhadap pimpinan KPK, tindakan tersebut dilakukan sebagai motifuntuk memperlemah penegakan hukum KPK.

Selanjutnya terjadi dalam tindak pidana narkotik, pada tahun yang sama terbongkarnya jaringan internasional dalam kasus narkotika, serta terjadi kritik yang sangat keras terhadap Badan Narkotika Nasional (BNN). Dan dalam tindak pidana terorisme, terjadi pengeboman di Kantor Kepolisian Medan, serta penusukan mantan Mentri Koordinasi Politik Hukum dan Ham (Menkopolhukam) Wiranto.

Menurut Trisno, dengan segala temuan yang terjadi selama tahun 2019. Masih ditemukan kesimpang-siuran terkait cara penanggulangannya, menurutnya ada ketimpangan dalam memperlakukan antara kasus dalam tindak pidana yang satu dengan yang lainnya.

”Misalnya cara penyadapan dalam kasus korupsi sering dipertanyakan atau dipersoalkan, tetapi berbeda dengan kasus yang lain. Serta dalam tindakan yang dilakukan oleh KPK berupa Operasi Tangkap Tangan (OTT), sering dianggap tidak benar meskipun telah melalui prosedur yang ada,” tuturnya.

Terkait dengan jumlah personil belum ditemukan jumlah yang jelas, untuk personil penindakan korupsi sampai dengan 23 April 2019 terdiri dari 117 penyidik. Dalam kasus terorisme juga sama, perkiraan jumlah personil yang terdapat di Densus 88 diperkirakan sebanyak 400 personil. Sedangkan untuk kasus narkotika, setidaknya dalam setiap provinsi dibutuhkan sebanyak 90 penyidik.

Dalam hitungan anggaran yang digunakan selama tahun 2019 dalam penindakan teorisme sebesar Rp 117.193.638.000, narkotika sebesar Rp 570.989.578.000, dan untuk penangulangan korupsi sebesar Rp 209.636.891.000. Sedangkan data kepolisian untuk dana penindakan korupsi tidak  kurang dari Rp 200.000.000, dan untuk dana penindakan terorisme terdapat pagu anggaran sebesar Rp 2.759.323.435.000.

Tahun 2019 juga mencatat terjadi pemenuhan Lembaga Pemasyarakatan (LP) dengan jumlah terbanyak diisi oleh narapidana yang terjerat kasus narkotika dengan jumlah 122.768 napi yang terbagi 73.504 penguna dan 49.264 bandar/pengedar, korupsi sebanyak 4.037 napi, dan teroris sebanyak 464 napi. Jika ditotal semuanya menjadi 267.912 narapidana.

“Kasus korupsi menjadi yang paling sulit dicari datanya terkait dengan penindakan hukum, misalnya dalam kasus narkotika selama 2019 terhitung sudah 90 narapidana dihukum mati, dan dalam kasus terorisme selama 2019 sudah ada 1 dihukum mati. Tapi kita sering tidak tahu tentang kelanjutan kasus koruptor yang jerat hukum, beda halnya dengan kasus narkotika dan korupsi,” pungkas Trisno. (a'n)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *