MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar Dialog Kebencaan bertempat Auditorium Ahmad Dahlan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (25/1).
Hadir sebagai pembicara Sylvianti selaku dokter yang juga aktif menjadi tim medis Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) , Tauhid Nur Azhar, pengajar dan peneliti Neurofisiologi, dan Faozan Amar, Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Syilvianti membuka dialog dengan menerangkan proses penanggulangan bencana yang berpangku pada konsep pembangunan Pentahelix. “Pentahelix yang dimaksud adalah bagaimana pemerintah, komunitas, akademisi, pebisnis, dan media saling bahu membahu dalam menanggulangi bencana. Sinergi ini kemudian diimplementasikan dengan komunikasi dan koordinasi yang terstruktur,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan pertolongan pertama yang harus dilakukan di 12 hingga 72 jam pertama saat masa darurat. Seperti mendirikan posko hingga menyediakan dapur umum.
Selain itu, kesehatan pengungsi di tenda darurat juga tak luput dari perhatiannya. Menurut Sylvianti ada 10 hal penting yang harus diperhatikan bersama, di antaranya, selalu memberikan ASI pada bayi, membiasakan cuci tangan pakai sabun, hanya meminum air yang aman, makan makanan bergizi, memanfaatkan layanan kesehatan, melindungi anak dari pelecehan seksual, buang air besar dan sampah pada tempatnya, tidak merokok di pengungsian, mengelola dan mengatasi stress, dan bermain sambil belajar.
“Namun pengaplikasian kesepuluh elemen ini tidak selalu berjalan ideal. Sering kali ada saja isu mengenai intolrelansi menyelinap saat pendistribusian bantuan kepada para pengungsi,” kata dia.
Hal ini pun disinggung oleh Faozan Amar dalam materi yang dibawanya, Neo Teologi Bencana. Faozan memaparkan, ada 3 prinsip yang perlu diketahui saat memberikan bantuan. Yakni, prinsip inklusif, membantu tanpa memandang suku, ras, agama dan golongannya. Kedua, prinsip non-charity, membantu dengan memperhatikan keberlanjutan program bantuan. Dan terakhir, prinsip mendahulukan kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak dan lansia.
Faozan juga membahas tentang kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering kali mengaitkan azab sebagai sumber munculnya bencana. Alih-alih mencari tau akar permasalahan dari segi sains, maksiat dan azab masih kerap kali diyakini sebagian masyarakat sebagai biang keladi dari bencana yang tengah terjadi.
"Jangan mengkaitkan bencana dengan azab, karena pada hakikatnya bencana adalah bentuk sikap rahman dan rahim Allah SWT," ujar Faozan Amar.
Oleh karena itu, Tauhid menimpali bahwa terjadinya bencana alam memang tidak terjadi akibat penyebab tunggal. Melainkan ada rangkaian kebiasaan yang meski kecil dan sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang.
Tauhid menganalogikannya dengan teori butterfly effect yang dikemukakan oleh Edward Norton Lorenz. Butterfly effect ini menyebutkan bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Dan hal ini pula yang mungkin menjadi dasar sebab terjadi bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.
"Bencana dari pengertiannya bersifat antroposentrik sehingga bagaimanapun bencana tidak akan lepas dari unsur manusianya," tutur Tauhid. (Syifa)
Kontributor : Sahrul Hidayat