MUHAMMADIYAH.ID, MEDAN — Disabilitas dalam UU No. 18 tahun 2016 adalah orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap masyarakat serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat. Dalam perspektif Islam, difabel diistilahkan dengan dzawil ahat, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzar yang artinya adalah orang dengan keterbatasan atau uzur.
Muhammad Qorib, Dekan fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dalam acara Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah tahun 2020 yang bertema Jalan Baru Gerakkan Kemanusiaan Muhammadiyah di UMSU pada Sabtu (22/2), mengisyaratkan bahwa, sesungguhnya Islam tidak menjadikan kategorisasi difabel atau non-difabel sebagai standarisasi kemuliaan manusia.
Dalam QS Al Hujurat 49: 13 jelas dikatakan bahwa, yang membedakan manusia atau standarisasi kemuliaan manusia adalah dari kualitas ketakwaannya, bukan dari ras, suku, golongan atau bahkan dari bentuk fisiknya. Yang dalam Islam hal ini disebut sebagai prinsip Al Musawwa (kesetaraan/equality). Prinsip tersebut mengandung ajaran bahwa potensi manusia tidak boleh dikebiri berdasarkan latar belakang SARA.
“Pada ayat ini juga ditegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin (dzakar wa untsa), heterogenitas suku (Syu’ub), dan bangsa (qaba’il) bukan merupakan variable pembeda dan tinggi rendahnya derajat seseorang," ugkap Qorib.
Secara utuh, asbab an nuzul dari ayat tersebut adalah keberpihakan Rasulullah terhadap kaum minoritas, yang dalam konteks masa itu adalah Bilal bin Rabbah, mantan budak dan berkulit putih yang diberi kepercayaan oleh Rasulullah sebagai muadzin pada peristiwa penaklukkan kota Mekkah. Oleh beberapa kalangan, Bilal dianggap tidak pantas karena bukan dari ras Arab dan juga mantan budak.
Kejadian tersebut menjadi bukti bahwa Islam melarang tindakan diskriminatif yang dilandaskan sentiment suka dan tidak suka. Untuk menutup diskriminasi tersebut maka keadilan harus ditegakkan, karena Allah juga memerintah orang yang beriman untuk berlaku adil. Dalam hal ini keadilan meliputi aspek yang luas, misalnya keadilan politik, teologis, ekonomi, etis, legal dan keadilan sosial.
“Hal yang menarik disini adalah informasi tentang keadilan terkait langsung dengan persoalan dan kebutuhan factual masyarakat. Keadilan terintegrasi dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam siklus masyarakat," sambungnya.
Maka, secara teologis dan eksperensial, Islam menempatkan komunitas difabel secara mulia. Status kemanusiaan mereka sama seperti yang lain, bahkan untuk aktif di ruang komunal dan ruang public. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap anggota masyarakat tidak melihat mereka sebagai warga kelas dua dan menilainya secara peyoratif.
Menceritakan dirinya sebagai difabel sekaligus Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengenang, ketika dahulu masih hidup dikampung bersama keluarganya, oleh tetangga keadaannya dianggap sebagai karma sebab dari keteledoran orang tuanya yang melanggar adat atau pamali di daerahnya. Bahkan dikesempatan lain, sempat seorang teman membuatnya merasa marah, lantaran dikatakan sebagai orang yang tidak sempurna.
“Sampai ada teman saya bilang, saya kagum dengan dengan anda, dengan keadaan yang tidak sempurna, anda bisa memperoleh prestasi yang luar biasa," kata Fuad menirukan.
Kejadian tersebut masih mudah ditemukan, khususnya di Indonesia. Pasalnya masyarakat Indonesia masih memakai paradigma lama dalam memandang difabel. Mereka masih mengaggap difabel sebagai orang sakit yang harus disembuhkan, difabel diidentikkan dengan kelemahan dan ketidakberdayaan, serta bagi pemangku kebijakan, sering kelompok ini tidak masuk dalam bagian, baik sebagai pihak pengambil dan susunan kebijakan.
Maka, Fuad meminta harus ada pembaharuan paradigma pemahaman terhadap difabel dalam pembangunan, yakni difabel harus dipahami sebagai sebuah kondisi fisik yang berpengaruh pada seseorang, menciptakan interaksi masyarakat yang inklusi, difabel merupakan bagian alamiah dari pengalaman hidup manusia, dan pada setiap individu difabel memiliki potensi/asset yang bisa dikembangkan. (a'n)