MUHAMMADIYAH.ID, MEDAN — Kemanusiaan merupakan sebuah kesamaan, karena setiap manusia adalah seperti/menjadi manusia lain, tanpa memperhatikan dan menghapuskan pandangan sosial yang bias, prasangka, dan rasisme dalam prosesnya. Tidak ada perbedaan yang dibuat dalam menghadapi penderitaan atau pelecehan dengan alasan gender, suku, ras, usia, agama, kemampuan, atau kebangsaan.
“Dalam urusan kemanusiaan, Muhammadiyah telah memberikan bantuan, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang kepada orang yang membutuhkan, yang harusnya dilakukan oleh pemerintah. Namun Muhammadiyah juga melakukannya, karena perintah ini ada dalam anggaran dasar Muhammadiyah," ungkap Rahmawati Husein, Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) pada Sabtu (22/2) di Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah tahun 2020, di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Anggota bidang pengelolaan dana bencana PBB ini menekankan bahwa bantuan kemanusiaan bukan hanya soal dana atau keuangan, melainkan mencakup banyak hal. Muhammadiyah melalui MDMC telah mengambil bagian dalam kerja kemanusiaan, diantaranya melalu bantuan kemanusiaan saat terjadi bencana.
Perlu diketahui, aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah telah dilakukan sejak tahun 1919 ketika Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur meletus, para anggota Muhammadiyah di Yogyakarta dan sekitarnya dikomandoi oleh KH Sudjak, mengirimkan bantuan ke lokasi bencana. Kemudian pada Tanwir ke 69, Muhammadiyah memutuskan untuk mengirim bantuan ke korban Gunung Agung di Bali, meskipun di sana adalah mayoritas non-muslim.
“Aksi yang dilakukan oleh MDMC terus meningkat, pada tahun 2010 melakukan sebanyak 20-30 dan pada tahun 2019 melakukan sebanyak 95 kali aksi, baik dalam bencana alam dalam skala besar, sedang dan kecil," ungkapnya.
Ketika dulu konsep bantuan yang diberikan berupa “come aid and run” (datang memberi dan pergi). Kini, setelah adanya MDMC kesadaran tersebut berubah, karena bantuan yang diberikan sekarang berbasis pada hak penyitas. Artinya bantuan yang diberikan tidak semua dipukul rata, karena pada setiap tempat kebutuhan masyarakat korban bencana berbeda-beda. Serta kedepan diharapakan aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan hanya berbasis dari Pimpinan Pusat, melainkan di setiap daerah sudah memiliki bagian yang mengurusi persoalan kemanusiaan.
Selain tanggap bencana, MDMC juga memberikan bantuan kemanusiaan untuk konflik/krisis kemanusiaan. Baik yang berada di dalam dan luar negeri, seperti konflik Syiah yang terjadi di Madura yang pengikutnya mengungsi ke Sidoarjo, konflik etnis di Desa Balinugara di Lampung, konflik Tolikara di Papua, konflik Rohingya, dan MDMC juga berperan aktif di Rumah Damai yang dihuni oleh pengungsi yang berasal dari banyak Negara, termasuk di Palestina sejak tahun 2008 dan Somalia pada tahun 2009.
Memaparkan tren kejadian bencana 10 tahun terakhir, Rahmawati Husein menyampaikan bahwa sejak 2011 sampai 2020 bencana yang paling banyak terjadi berada pada tahun 2017 dan hamper semua wilayah di Indonesia memiliki potensi bencana. Bancana yang terjadi meliputi banjir, tanah longsor, tsunami dan abrasi, putting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahar, gempa bumi dan tsunami, dan telusan gunung berapi.
Melihat persoalan kemanusiaan dari perspektif hukum, Ismail Hasani, Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyinggung kontroversi Omnibus Law sebagai satu Undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin bisa mencabut atau mengubah UU lainnya.
Direktur SETARA Institute ini menjelaskan, kontroversi yang mengiringi Omnibus Law bukan hanya terkait salah ketik. Tapi potenis dari munculnya ini bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar, menurutnya hal ini merupakan bentuk nyata dari adanya disrupsi hukum Negara yang serius, ia meminta kepada Muhammadiyah untuk menaruh perhatian serius dalam persoalan ini.
Indonesia sebagai Negara ‘supermarket bencana’ yang terjadi baik disebabkan oleh alam secara alamiah, maupun bencana alam yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh ‘tangan-tangan nakal manusia’. Kemungkinan akan diperparah dengan adanya Omnibus Law, di mana perijinan pembangunan bisa lolos tanpa mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) karena peraturan tertinggi yang menghendaki itu.
Sehingga, dari produksi kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan dampak secara luas, sangat bisa menimbulkan kerusakan pada sector lain, misalnya kerusakan ekologi yang menyebabkan terjadinya bencana alam.
“Tidak semata ini soal perijinan, namun didalamnya mengandung mudhorot dan dampak yang amat serius terhadap pemajuan hak asasi manusia (HAM). Inilah episode yang saat ini berlangsung, ini bukan ngompori tapi ini harus ada yang kita lakukan kritik terhadap peraturan ini, karena dampaknya yang serius terhadap HAM," tuturnya.
Menurutnya, secara garis besar peran agensi sosial Muhammadiyah pada bidang HAM ditujukan untuk menjawab tiga tantangan yakni purifikasi epsitemologi hokum HAM yang selama ini segaja dikikis, kedua melakukan penguatan kelembagaan HAM sebagai dampak epistemology yang tidak tepat yang menyebabkan ‘kemandulan’ pada lembaga-lembaga HAM, dan yang ketiga pada aspek hukum dan politik penegakan hukum HAM.
“Muhammadiyah juga bisa hadir menawarkan alternative keadilan pada kasus-kasus yang maifes, actual dan menuntut respon kemanusiaan segera. Baik di Indonesia maupun di dunia internasional," pungkasnya. (a'n)