Minggu, 19 Mei 2024
Home/ Berita/ Belajar dari Perlakuan Masyarakat Islam Masa Lalu pada Kelompok Difabel

Belajar dari Perlakuan Masyarakat Islam Masa Lalu pada Kelompok Difabel

Oleh: Ilham Ibrahim

Alhamdulilah saya diberi kenikmatan dan kesempatan oleh Allah menjadi bagian dalam tim penyusunan Fikih Difabel yang rencananya akan menjadi salah satu bahasan di Munas Tarjih ke-31 di Gresik, Jawa Timur. Setelah mendapatkan amanah tersebut, mau tidak mau saya harus membuka berbagai literatur yang membahas tentang persoalan-persoalan difabel. Salah satu literatur yang saya baca untuk memperkaya gagasan Fikih Difabel ini adalah tulisan Sara Scalenghe yang berjudul “The Deaf in Ottoman Syria, 16th – 18th Centuries” diterbitkan The Arab Studies Journal halaman 10-25.

Isi penelitian tersebut begitu menarik karena Sara ingin menjawab pesoalan bagaimana perlakuan kekhilafahan Utsmani terhadap kelompok difabel terkhusus mereka yang tuna rungu dan tuna wicara. Sara adalah seorang sejarawan yang memiliki spesialisasi di bidang sejarah dunia Arab dari Loyola University Maryland. Dia lulusan SOAS, London University dan berhasil mendapatkan gelar Ph.D di Middle Eastern and North African History di Georgetown University. Dari rekam jejak pendidikan yang telah ditempuh oleh Sara, telah cukup menjadi alasan bagi saya untuk membuat review singkat di sini.

Sara mengawali tulisannya itu dengan sebuah pertanyaan retoris, “what exactly do we mean by “disability”?” Menurutnya, kata disability merupakan istilah yang sulit didefinisikan. Ketika ingin menerjemahkan “abnormality”, maka harus juga menggambarkan apa itu “normality”. Begitu pula dengan “disabled” dengan “able”. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sendiri menggunakan istilah “Difabel” dengan alasan sebutan tersebut lebih manusiawi dan bermartabat. Namun tetap saja ada penolakan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada sebutan apapun bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, dan sensorik yang menggambarkan inklusivitas, sebab kata-kata tersebut telah dibangun atas relasi kuasa dan hirarki sosial yang cukup rumit dan kompleks.

Beberapa Penyandang Tuna Rungu di Era Utsmani

Sebagai sampel sejarah, dalam penelitannya Sara mencatat tiga nama yang mengalami tuna rungu di masa-masa kekaisaran Utsmani. Pertama, Ahmad ibn Muhammad atau yang dikenal sebagai Ibn al-Farfur (1576-1627), dilahirkan dari keluarga hakim dan cendekiawan terpandang Damaskus. Dia mendapatkan kesempatan belajar langsung di bawah bimbingan beberapa guru terkemuka. Berkat pendidikan yang bermutu, Ibn al-Farfur sangat ahli dalam metode instinbath hukum Hanafi.

Akan tetapi di tengah kehidupannya yang sukses, Ibn al-Farfur menderita tuna rungu yang sampai sekarang belum diketahui penyebabnya. Akibat timbulnya penderitaan ini, Ibn al-Farfur mengurangi partisipasinya dalam kehidupan publik, berkumpul hanya dengan beberapa orang terdekatnya, tetapi dirinya masih mengembangkan minatnya yang lain selain fikih Hanafi, yaitu: menyusun dan memecahkan teka-teka. Hingga dunia mengenal beliau bukan sebagai jurist Hanafi, tapi terkenal sebagai penyusun teka-teki.

Kedua, ‘Ali bin Muhammad al-Shami atau yang dikenal sebagai ‘Ali bin ‘Iraq. Beliau kehilangan fungsi pendengarannya ketika dewasa. Padahal ‘Ali bin ‘Iraq merupakan seorang sufi Damaskus termuka. Lahir di dekat Beirut pada tahun 1501, sejak kecil ‘Ali bin ‘Iraq mempelajari al-Quran sampai hafal 30 Juz hanya dalam rentang 2 tahun.  Setelah hafalan Qur’annya sukses, ‘Ali bin ‘Iraqi kemudian belajar dengan beberapa sarjana terkenal saat itu, lalu kemudian menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu di antaranya hadis, hukum, dan aritmatika, bahkan oleh teman-temannya ‘Ali dikenal sebagai penyair yang baik.

Sayangnya, tidak terekam dengan jelas mengapa ‘Ali bin ‘Iraqi kehilangan fungsi pendengarannya. Namun poin penting yang didapat dari sini adalah walau pun ‘Ali menyandang tuna rungu, dia pernah ditunjuk sebagai imam dan khatib di Masjid Nabawi di Madinah al-Munawarah. Tahun 1556 ‘Ali meninggal dunia.

Ketiga, Muhammad ibn Dawud atau yang dikenal sebagai Riyadi al-Utrush al-Rumi. Tahun 1617, al-Rumi memasuki Damaskus untuk menerima panggilan bergengsi sebagai hakim kepala (chief judge). Akan tetapi menurut al-Muhibbi, penulis biografi al-Rumi, yang dikutip oleh Sara dalam penelitiannya menegaskan bahwa pendengaran al-Rumi sangatlah buruk. Ada sebuah riwayat yang menceritakan tentang kualitas pendengaran al-Rumi. Riwayat itu menceritakan saat setelah al-Rumi mendengarkan musik yang berasal dari istrinya, dia bertanya: “Apa itu?” Kemudian istrinya menjawab, “itu adalah suara adzan yang memanggil salat”. Al-Rumi pun memercayainya.

Dari ketiga biografi Ibn al-Farfur, ‘Ali bin ‘Iraqi, dan al-Rumi di atas sebetulnya Sara Scalenghe ingin mengilustrasikan satu hal penting bahwa tuna rungu di masa-masa Utsmani tidak memberikan kerugian sosial bagi para penyandangnya, serta tidak menghalangi pengejaran mereka terhadap kehidupan yang relatif normal.

Al-Rumi memegang jabatan terpandang sebagai chief judge di Damaskus walau pendengarannya tidak begitu baik. ‘Ali Ibn ‘Iraq terus belajar, menulis, traveling, dan berinteraksi dengan cendekiawan lain, bahkan disebut-sebut sebagai penyebar budaya minum kopi di daerah Damaskus saat kunjungannya tahun 1540-an. Secara signifikan, ‘Ali Ibn ‘Iraq juga menjadi imam di salah satu masjid penting dunia Islam. Sementara Ibn al-Farfur memilih untuk mengejar kehidupan yang sunyi dan terpencil, akan tetapi kondisi pendengarannya yang kurang baik tidak berarti mencegahnya mencari nafkah atau menuntut ilmu pengetahuan.

Fakta sejarah di atas dapat dijadikan legitimasi historis bahwa masyarakat Islam ketika itu sungguh menaruh hormat terhadap mereka yang memiliki keterbatasan indera. Tidak ada halangan bagi siapa pun untuk mencari nafkah, menempati suatu posisi jabatan, dan memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka memiliki hak yang sama di ruang publik lantaran masyarakat Utsmani ketika itu tidak memandang manusia dari status anatomi, sebab dalam Islam keterbatasan fisikal bukan menjadi kausa prima seseorang menjadi ahli surga atau neraka.

Tuna Wicara (Akhrash) dan Praktek Keagamaan di Utsmani

Penelitian Sara tambah menarik ketika memasuki sub-tema baru, yaitu tentang hak tuna wicara dalam salat. Sebelum masuk ke sana, Sara menjelaskan bahwa keunikan dari hukum Islam adalah selain memiliki seperangkat manual hukum yang canggih, tapi juga memiliki koleksi fatwa yang kaya. Sara menjelaskan bahwa fatwa merupakan sumber yang sangat berharga bagi para sejarawan karena di dalamnya seringkali terdiri dari pertanyaan-pertanyaan “heboh” pada masanya. Jadi, fatwa tidak hanya memberi kita pandangan sekilas yang langka tentang bagaimana hukum itu ditafsirkan oleh para sarjana hukum, tetapi juga mewakili barometer dari jenis-jenis masalah yang sedang diperdebatkan masyarakat.

Karena konteks penelitian Sara Scalenghe berlatar tempat di Utsmani, dia mencari fatwa seputar hak penyandang tuna wicara dalam pandangan ulama-ulama Hanafi sebagai madzhab resmi kekaisaran. Sara mengutip salah seorang mufti Hanafiyah, ahli hukum Damaskus terkenal, namanya Ibn ‘Abidin (w. 1836). Ibn ‘Abidin membagi tuna wicara menjadi dua kategori: pertama, tuna wicara adalah orang yang lahir tuli dan karena itu tidak dapat berbicara, dan kedua, orang yang menjadi tuna wicara secara tidak sengaja, setelah belajar berbicara.

Dalam penelitan Sara, dia menemukan fatwa tentang hukum seorang tuna wicara untuk memimpin salat atau menjadi imam. Keempat madzhab setuju bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang tuna wicara untuk menjadi imam, bahkan jika semua jamaah salat adalah golongan ummi (golongan yang tidak bisa menulis dan berhitung). Sebab walau pun golongan ummi tidak banyak memiliki hafalan Quran, tapi setidaknya mereka dapat melantunkan takbirat al-ihram.

Penting untuk dicatat bahwa operasi logika hukum fatwa ulama di atas mungkin lebih mengedepankan sisi pragmatisme daripada “diskriminatif”. Untuk alasan yang sama bahwa tuna wicara (akhrash) tidak dapat diizinkan untuk memimpin ummi dalam struktur salat berjamaah, sebab menjadi seorang imam dalam salat membutuhkan keterampilan verbal tertentu. Karena itu, mereka yang memiliki hambatan bicara tidak diperkenankan bertindak sebagai imam. Status gerakan salat sebagai sesuatu yang qath’I membuat para ulama itu cenderung lebih pragmatis alih-alih distriminatif.

Sara kemudian menukil fatwa dari Ibn ‘Abidin yang berasal dari pertanyaan imajiner. Menurut Ibn ‘Abidin, andaikan sekelompok tuna wicara berkumpul untuk salat berjamaah bersama, lantas siapa yang paling berhak menjadi imam salat? Jurist Hanafi ini menjawab dengan tegas bahwa mengingat semua tuna wicara akan sama “tidak cakap” dalam melantunkan al-Qur’an, maka mereka harus diizinkan untuk memilih salah satu di antara mereka untuk memimpin salat.

Menurut Sara Scalenghe, fatwa dari Ibn ‘Abidin ini begitu menarik, karena itu bisa membuka jalan, setidaknya secara teoritis, untuk menciptakan komunitas difabel. Ide tentang pembentukan komunitas difabel ini sebelumnya tidak ada. Karena itu boleh jadi fenomena kemunculan komunitas difabel baru terjadi setelah fatwa dari Ibn ‘Abidin ini keluar. Saat ini, baik secara langsung mau pun tidak, besar kemungkinan menjamurnya komunitas difabel di seluruh dunia merupakan pengembangan dari pandangan hukum ulama-ulama Hanafi tentang salat berjamaah khusus kelompok tuna wicara.

Menikah dan Cerai Bagi Tuna Wicara (Akhrash)

Selain beribadah salat, menurut Sara Scalenghe ikatan pernikahan merupakan pusat dari teori dan praktik hukum Islam. Tujuan utama pernikahan dalam hukum Islam adalah legitimasi hubungan seksual dan persahabatan sehidup semati. Semua muslim sangat dianjurkan untuk menikah. Di Utsmani, tuna wicara tidak dikecualikan dari perintah umum ini, mereka memiliki hak untuk memiliki pasangan.

Namun menurut Sara, ada satu masalah mendasar yang membutuhkan perhatian para ahli hukum. Dalam hukum Hanafi, pernikahan adalah kontrak yang mengikat (namun dapat dibatalkan) yang biasanya memerlukan ijab dan qabul secara lisan. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan nasib seseorang yang tidak dapat berbicara? Keempat mazhab setuju bahwa tuna wicara dapat menyampaikan ijab dan qabul secara tertulis, alasannya karena tulisannya setara dengan ungkapan lisannya.

Namun, jika orang yang hendak menikah itu tuna wicara sekaligus buta huruf, apakah pernikahan akan tetap berlaku jika dia dapat mengartikulasikan persetujuannya melalui “tanda yang jelas” (isyara ma’luma)? Hamid al-‘Imadi (w. 1757), seorang mufti Hanafi yang diangkat negara di Damaskus ketika diminta untuk mengeluarkan fatwa tentang validitas isyarat dalam kontrak pernikahan, tanggapannya tidak ambigu: pernikahan tersebut sah!

Menurut Sara, logika serupa berlaku untuk perceraian. Dalam hukum Islam, pernikahan adalah kontrak yang dapat dibatalkan. Kaum Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki sepakat bahwa jika si tuna wicara dapat menulis, ia harus didorong untuk menuliskan keinginannya menceraikan istrinya. Penulisan dianggap lebih tepat dan akurat daripada isyarat. Dan keempat mazhab hukum itu beralasan bahwa ambiguitas, dan risiko salah tafsir yang menyertainya, sedemikian penting harus diminimalkan semaksimal mungkin. Namun, jika tidak tahu cara menulis, maka isyarat merupakan pengganti yang dapat diterima selain pernyataan lisan atau tertulis.

Di sini saya mengagumi hukum Islam yang menguraikan sejumlah ketentuan hukum untuk para penyandang difabel. Hukum Islam terlihat seperti berusaha untuk memastikan serta melindungi beberapa hak dasar para penyandang difabel sebagai muslim, seperti: hak untuk partisipasi Agama, hak untuk cerai dan menikah.

Lahirnya Bahasa Isyarat untuk Tuna Rungu dan Tuna Wicara

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, kontribusi terbesar pandangan ulama-ulama fikih adalah lahirnya bahasa isyarat sebagai instrumen persetujuan dan penolakan ketika lisan dan tulisan tidak mampu mereka lakukan. Hal tersebut tentu saja membawa angin segar bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara lainnya. Mereka tidak lagi dianggap sebagai monumen mati yang tidak memiliki hak samasekali. Sebaliknya, setelah adanya penerimaan bahasa isyarat, penyandang difabel di mata hukum dipandang sama, mereka dapat menerima atau menolak, bahkan beropini dan memutuskan perkara.

Secara jujur Sara mengatakan bahwa beberapa bentuk bahasa isyarat digunakan di kursi kekuasaan Utsmani, Istana Topkapi di Istanbul. Dari abad ke-16 sampai ke-19, ketika orang-orang  Eropa berkunjung ke istana Utsmani, mereka tampak kagum saat melihat Sultan meneriman dan berdialog langsung secara aktif dengan para tamu-tamunya yang tuna rungu dan tuna wicara. Dialog mereka menggunakan bahasa isyarat yang telah lama dikembangkan. Menurut Sara, wisatawan Inggris lainnya, Thomas Dallam, memperkirakan bahwa banyak orang di Utsmani, termasuk Sultan, tampaknya mampu berkomunikasi melalui bahasa isyarat.

Sara Scalenghe mengutip Sir Paul Rycaut dalam buku History of the Present State of the Utsmani Empire yang terbit abad 17, mengatakan bahwa bahasa isyarat yang digunakan para penyandang tuna wicara dan tuna rungu saat di depan pengadilan, sudah sangat populer di Utsmani. Bahkan sistem bahasa isyarat berkembang dengan baik dan telah ditransmisikan dari generasi ke generasi oleh para penyandang difabel.

Penutup

Penting untuk dicatat dari pemaparan Sara Scalenghe tentang masalah ini adalah Utsmani baik secara struktur sosial, hukum maupun politik, tidak menggambarkan difabel sebagai kondisi yang mengandung stigma intelektual, agama, atau moral. Dalam Islam, stigma datang bukan dari keadaan fisik, melainkan hati dan pikiran.

Selain itu, setidaknya ada dua sumbangsih penting dari pemikiran para ulama tentang kelompok difabel, yaitu: pertama, para ulama menginspirasi terbentuknya komunitas difabel; kedua, pandangan para ulama yang menerima status isyarat di muka hukum telah memberikan kontribusi pengembangan bahasa isyarat yang amat dibutuhkan bagi tuna wicara dan tuna rungu agar dapat berkomunikasi aktif di tengah masyarakat.

Karena itulah harapannya, Fikih Difabel yang sedang digarap oleh para ulama tarjih Muhammadiyah dapat menginspirasi lahirnya gagasan-gagasan brilian yang bertujuan menciptakan kemaslahatan bagai segenap kehidupan. Karena itulah, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menjadikan Fikih Difabel sebagai salah satu isu penting yang akan dibahas di Munas Tarjih ke-31. Tentu ide ini berangkat dari paradigma bahwa Islam diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

*Penulis merupakan alumni PUTM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *