Oleh: Mark Woodward (Associate Professor of Religious Studies and is also affiliated with the Center for the Study of Religion and Conflict at Arizona State University)
Selalu ada tanggapan keagamaan dalam menghadapi wabah pandemi. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, Alkitab dan banyak kitab suci agama lainnya. Ketika dihadapkan dengan bahaya besar, orang-orang mau tidak mau berpaling pada agama dan para pemimpin agama untuk meminta petunjuk.
Anggapan ini sama benarnya ketika sekarang dunia sedang dihadapkan dengan pandemi virus Corona sebagaimana berabad yang lampau ketika pandemi yang lebih mematikan seperti Black Death menyebar di seluruh Asia dan Eropa.
Umat manusia telah memiliki perangkat berbasis sains yang jauh lebih efektif dibandingkan seabad yang lampau. Namun, tanggapan keagamaan tetap dapat dijadikan senjata dalam perang suci melawan musuh berbentuk mikroba. Beberapa tanggapan keagamaan ini terbukti bermanfaat—sementara yang lainnya bahkan lebih buruk dari sekadar kontra produktif.
Beberapa dari kelompok Kristen dan muslim, termasuk beberapa gereja agung Evangelis Amerika dan kelompok revivalis muslim Jamaah Tablig tetap menggelar kegiatan berjamaah dan mengklaim bahwa Tuhan akan menyelamatkan orang beriman.
Hal ini tentu tidak masuk akal. Banyak orang yang sakit dan beberapa di antaranya meninggal oleh mereka. Pihak berwenang tidak memiliki banyak pilihan selain mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya peristiwa infeksi massal seperti ini.
Di Florida, seorang pastor gereja agung telah ditahan karena menggelar pelayanan doa bersama yang menyimpang dari perintah karantina. Di Indonesia, pemerintah membatalkan sebuah acara perkumpulan Jama’ah Tablig internasional setelah lebih dari 500 orang terinfeksi pada sebuah acara yang sama di Malaysia.
Akan tetapi ada tanggapan keagamaan lainnya yang sangat masuk akal. Ini termasuk memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai cara-cara menuntaskan kewajiban agama mereka sembari melindungi diri mereka dan masyarakat dari penularan di saat yang sama.
Bimbingan keagamaan ini sangatlah penting saat-saat ini karena (perayaan agama) bagi kedua agama ini semakin dekat, yakni Pekan Suci bagi umat Kristen untuk memperingati penyaliban dan kebangkitan Kristus dan bulan Ramadan bagi umat Islam untuk berpuasa di siang hari, berkumpul untuk salat (tarawih) dan merayakan (salat) Hari Raya. Gereja-gereja dan masjid-masjid biasanya terisi penuh pada saat-saat seperti ini.
Jika bukan tidak mungkin, bagi dua umat tersebut perayaan keagamaan pada momen seperti itu akan membuat jarak sosial yang saat ini menjadi senjata paling efektif yang dapat kita andalkan untuk melawan virus menjadi sulit dilakukan.
Banyak orang khawatir bahwa mereka akan berdosa dan mendapatkan hukuman dari Tuhan jika tidak memenuhi kewajiban agamanya. Selain itu ada banyak juga acara selain keagamaan seperti pawai, pesta, perkumpulan keluarga dan lainnya yang orang-orang enggan membatalkannya.
Pada momen seperti ini petuah agama dapat diandalkan untuk menyuarakan kebijakan kesehatan masyarakat dan pengamalannya. Pada waktu yang sama, umat agama lain pun dapat belajar dari hikmah dan pengamalan umat selainnya.
Saya memposting artikel ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah organisasi di Indonesia bernama Muhammadiyah dalam menanggapi tantangan (pandemi) bagi Anda yang dapat membaca sikap dan sifat orang Indonesia. Bagi yang tidak bisa, saya telah merangkum poin-poin utamanya.
Pertama, beberapa latar belakang. Muhammadiyah adalah salah satu dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—sebuah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Muhammadiyah memiliki sekira 30 juta pengikut di sebuah negara dengan total populasi sekira 260 juta jiwa. Untuk menempatkan angka-angka ini dalam sudut pandang tersebut, ada sekira 50 juta pengikut Gereja Baptis di Amerika, sebuah negara yang total populasinya sekira 330 juta jiwa. Virus Corona menyebar secara cepat di kedua negara yang membutuhkan tindakan segera untuk mengendalikannya.
Tipe Muhammadiyah adalah jenis aliran yang bagi sebagian orang Amerika disebut sebagai jenis fundamentalis Islam ‘lunak’. Muhammadiyah mengajarkan bahwa sumber otoritatif agama Islam hanyalah AlQuran dan Hadis Nabi. Ajaran ini sangat mirip dengan doktrin Gereja Lutheran tentang Sola Scriptura (hanya kitab suci) yang merupakan salah satu prinsip dasar bagi Protestan Amerika.
Tidak seperti beberapa organisasi fundamentalis Islam dan Protestan lainnya, fundamentalisme Muhammadiyah ‘lunak’ karena sangat mendukung sains dan berbagai pendekatan rasional sebagai langkah menuju pemecahan masalah.
Dalam hal ini, teologi Muhammadiyah mirip dengan teolog Protestan Jerman abad ke-19 Friedrich Schleiermacher yang menulis gagasan "perjanjian abadi" antara sains dan agama. Terlalu banyak kaum Protestan Amerika yang abai, atau nampaknya tidak pernah mendengar pesan Schleiermacher pada dunia modern.
Ajaran muslim modernis serupa yang dirumuskan oleh Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 seringkali menjadi tema dalam berbagai khutbah Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menjalankan jaringan yang luas melalui sekolah, universitas, klinik dan rumah sakit. Dalam hal ini program sosial Muhammadiyah mirip dengan yang ada di Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat.
Kepemimpinan Muhammadiyah sangat menyadari bahwa tindakan yang kuat diperlukan untuk membatasi penyebaran virus dan bahwa isolasi sosial adalah salah satu dari beberapa tindakan efektif yang kita miliki.
Pada 24 Maret, Muhammadiyah telah mengeluarkan sebuah fatwa untuk menunda Salat Jumat yang biasanya wajib. Muhammadiyah menganjurkan umat muslim untuk beribadah di rumah masing-masing. Pada 26 Maret, Muhammadiyah mengeluarkan siaran pers tentang petunjuk dalam melaksanakan ibadah (darurat) di bulan Ramadan (2020) yang terdiri dari empat poin dasar:
• Salat malam khusus (tarawih) yang biasanya dilakukan di masjid dapat dilakukan di rumah. Acara keagamaan termasuk khotbah dan ceramah tidak perlu.
• Puasa adalah wajib bagi umat Islam kecuali bagi mereka yang sakit. Orang sakit harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk mengganti puasanya di kemudian hari.
• Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa saat bertugas. Mereka harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk menggantinya dengan puasa di kemudian hari.
• Tidak perlu melakukan salat bersama pada Idul Fitri. Orang-orang tidak boleh terlibat dalam perayaan adat, termasuk ‘mudik’ yakni kembali ke kota dan desa asal mereka untuk mengunjungi kerabat di akhir bulan, pawai dan berbagai perkumpulan.
Putusan ini tidak didasarkan pada pertimbangan kesehatan masyarakat saja. Muhammadiyah juga menyertakan apa yang nampak sebagai pembenaran agama berdasarkan kutipan dari Alquran dan Hadis. Ini disebut sebagai dalil, yang oleh orang Protestan disebut sebagai ‘teks bukti’. Jenis logika keagamaan yang sama ini tersedia bagi mereka dalam upaya menahan pandemi.
Beberapa rekomendasi Muhammadiyah membutuhkan pengorbanan yang menyakitkan. Puluhan juta orang Indonesia biasanya kembali ke kota dan desa asal mereka untuk merayakan ‘Lebaran’—hari libur yang menandai akhir Ramadan. Kebiasaan ini sama dengan suatu adat ‘going home’ pada hari Thanksgiving atau Natal bagi orang Amerika.
Para pemimpin Muhammadiyah tidak akan menyarankan orang Indonesia untuk Tinggal di Rumah tanpa pertimbangan cermat atas risiko yang ditimbulkan oleh pandemi dan kepentingan sosial, budaya dan agama dari perayaan Lebaran.
Menunda berkumpul dengan keluarga adalah hal terpenting yang dapat dilakukan orang Indonesia untuk memperlambat penyebaran penularan Corona. Dengan kata lain, bahwa banyak orang yang seharusnya mati akan tetap hidup untuk bergabung dengan mereka (dalam kegiatan keagamaan dan adat) tahun depan. Kita semua berharap bahwa pada saat Natal tiba, pandemi akan berlalu dan umat Kristiani tidak akan dihadapkan dengan pilihan menyakitkan serupa antara tradisi keagamaan dan keselamatan bersama.
Jika demikian, ada banyak hal yang dapat dipelajari oleh orang-orang Protestan Amerika dari kebijaksanaan dan tekad yang ditunjukkan Muhammadiyah. Ada dua poin dasar. Pertama adalah bahwa pengorbanan diperlukan. Kedua adalah bahwa orang-orang lebih mudah menerima ketika para pemimpin agama mereka menggunakan penalaran kitab suci untuk menjelaskan mengapa mereka perlu (melakukan suatu hal).
Tulisan ini telah diubah ke dalam bahasa Indonesia, dengan sumber utamanya melalui tulisan dengan judul Religious Holidays in the Plague Year – Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement (Mark Woodward)