Oleh: A’n Ardianto
Almarhum Said Tuhuleley, Aktivis Muhammadiyah sekaligus mantan Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah periode 2005-2015 menyebutkan, walapun sebagian besar rumusan tentang ekoteologi berhubungan erta dengan sektor pertanian. Namun masalah dalam dunia pertanian bukan hanya menyangkut kerusakan lingkungan.
Tentang pertanian sendiri, di dalam Al Qur’an banyak sekali penjelasan yang menyagkut bidang ini. Diantaranya adalah QS Al Qur’an Al An’am ayat 99 dan 141, al Baqarah ayat 25 dan 265, Yaasin ayat 34-36, Ibrahim ayat 37 yang menyangkut doa nabi Ibrahim, an Nahl ayat 10-11 dan ayat 68-69. Ayat-ayat tersebut menjadi landasan adanya aspek teologis dalam persoalan lingkungan.
Faktor-faktor permasalahan dalam dunia pertanian diantaranya meliputi kepemilikan lahan yang kian sempit, tanah yang mengalami penurunan kualitas, penggunaan pupuk kimia, sampai dengan pemasaran produk pertanian yang terombang-ambing oleh mekanisme pasar yang lebih menguntungkan pemodal. Selain yang disebutkan tersebut, persoalan mendasar pertanian adalah semakin menyusutnya jumlah petani Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 merilis data jumlah petani di Indonesia berjumlah 33. 487 806 yang terdiri 25. 436 6478 petani laki-laki dan 8. 051 328 petani perempuan. Namun jumlah tersebut terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, karena generasi muda yang tumbuh di desa dengan berbekal pendidikan formal, cenderung menginginkan pekerjaan yang dianggap bisa mengamankan masa depan dan memberikan penghasilan banyak, serta didapatkan secara cepat. Kecenderungan ini kemudian menimbulkan banyaknya urbanisasi.
Mereka,anak-anak muda ini berbondong ke kota mengadu nasib di sana dengan bekal ijaza sekolah formal yang rata-rata lulusan Sekolah Menengah. Data menjelaskan,Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-1035 oleh Bappenas dan BPS menyebutkan bahwa gelombang urbanisasi ke Jakarta sejak tahun 2010 sudah mencapai 100 persen, atau sudah mencapai batas daya tampung kota. Sekarang lebih-lebih lagi.
Persoalan urbanisasi selain menimbulkan permasalahan di kota, juga kemudianmenjadipelengkap persoalan petani, di mana keberadaan jumlah populasi pertanian Indonesia semakin terancam, karena jumlah generasi muda yang minat bertani yang terus menyusut.
Menyikapi jumlah petani yang menyusut dan terjadinya ketimpangan terhadap warga petani Indonesia, ‘Aisyiyah sebagai organisasi Islam Perempuan Berkemajuan ambil bagian dalam urusan ini. Mengingat agama juga memiliki keterlibatan dengan persoalan pertanian, hal tersebut sebagai penegasan bahwa agama tidak hanya berhubungan dengan teologi saja, tetapi juga telah berorientasi pada praktek-praktek berkesinambungan dan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan. Maka ‘Aisyiyah mengambil peran dalam urusan petani, khususnya petani perempuan.
Melihat hal tersebut, 'Aisyiyah melakukan berbagai upaya pemberdayaan bagi para petani perempuan melalui keberdayaan kelompok petani perempuanIndonesia, advokasi, dan sekolah tani perempuan. Upaya tersebut diwujudkan secara nyata dengan telah dilaunchingnya Balai Belajar Petani Perempuan dengan tema "Petani Perempuan Merawat Bumi : Menjaga Kedaulatan Pangan" (7/3) di Kabupaten Cirebon.
Keberadaan ‘Aisyiyah dalam lingkup petani perempuan memainkan peran sebagai fasilitator atau pendamping. Di mana ‘Aisyiyah menstimulasi keberdayaan petani perempuan yang mengalami ketimpangan dan ketertindasan. Pengaman sosial tersebut penting dilakukan olah organisasi perempuan, menginggat banyak kejadian yang merugikan petani perempuan, salah satunya penindasan yang dialami oleh petani yang tergabung dalam Srikandi Kendeng yang berjuang mempertahankan lahannya yang dialih fungsikan menjadi pabrik semen.
Permasalahan yang dihadapi petani perempuan Indonesia sangat kompleks. Persoalan pemiskinan petani perempuan tidak bisa dipandang semata-mata hanya berdimensi kultural atau individual, melainkan juga pemiskinan terjadi secara sistemik-struktural, karena berkaitan dengan sisitem atau kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat miskin.
Sehingga jika advokasi disebut dan masuk sebagai salah satu program ‘Aisyiyah untuk keberdayaan petani perempuan, maka penanggulangan pemiskinan harus menyentuh pada ranah kebijakan atau public policy. Tentu dengan tidak meninggalkan atau mengecilan kerja advokasi yang sifatnya kultural dan individual. Sehingga penting kiranya untuk melibatkan kaum agamawan, karenadalam kontek sosiokultur masyarakat Indonesia,kaum agamawan memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.
Maka perayaan Hari Kartini yang rutin diperingati pada 21 April bukan hanya pada upacara atau seremonial semata, serta give away muk dan kaos sablonan gambar RA. Kartini. Tetapi peringatan Hari Kartini didalamnya harus mengandung substansi yang mendalam terkait keberdayaan kaum perempuan. Bukan hanya perempuan yang bekerja yang nampak di muka publik, tapi juga perempuan-perempuan yang bekerja di kesunyian desa yang jarang terekspose media dan gawai.
Terkait dengan persoalan wabah yang saat ini sedang melanda hampir seluruh dunia, selain petugas medis adalah mereka para petani ini juga sebagai garda yang turut serta menjaga untuk pengamanan pangan bagi keberlangsungan hidup manusia. Keberadaan petani, khususnya petani perempuan juga harus dilihat, karena bukan hanya tukang ojek online yang dikonstruksi sebagai elemen bangsa yang selalu ‘lemah’ ditengah wabah.