MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Live streaming di Pengajian Menyambut Ramadan 1441 H Keluarga Besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Kamis (23/4), Haedar NashirKetua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyahsampaikan esensi puasa yang dijalankan umat muslim ditengah musibah global.
Haedar menyinggung, terkait logika seorang muslim dalam melihat corona sering terjadi kesalahan dalam meletakkan antara iman dan akal. Alih-alih meninggikan Allah, beberapa argumen yang dibangun sebagian kelompok umat Islam terkait wabah corona virus ini malah menjatuhkan Allah. Padahal tanpa ditinggikan, Allah derajatnya sudah tinggi.
Sehingga dibutuhkan suatu cara pandang atau konsep world view bagi seorang muslim dalam melihat realitas yang melingkupinya. Cara pandang yang bersifat menyeluruh, bukan hanya mengedepankan teks, melainkan juga kontekstual dan kejernihan hati. Karena seorang muslim tidak boleh beriman tanpa ilmu, melainkan keduanya seiring sejalan.
“Kita harus beriman kepada Allah disitu juga memerlukan pemahaman yang mendalam dan luas. Karena itu dari wabah ini kita belajar kembali akan iman kita yang lebih substantif,” ungkapnya.
Maka selain mempercayai Sunnatullah, muslim juga harus melakukan pengkayaan ilmu pengetahuan. Sehingga dari wabah dan fenomena lain yang dialami umat manusia bisa memberikan hikmah. Hikmah tersebut mampu meninggkatkan kualitas iman, ilmu dan amal seorang muslim.
Mengambil hikmah puasa Ramadan yang sebentar lagi datang. Haedar menjelaskan bahwa, tujuan puasa adalah taqwa, namun tidak semua kaum muslimin mampu meraihnya. Karena dalam menjalankannya, seorang muslim kebanyakan hanya melakukan ritual jasmaniah yang meliputi menahan diri dari pemenuhan hasrat dunia, seperti makan, minum dan hasrat biologis lainnya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Padahal makna mendalam dari puasa adalah bagaimana manusia mengendalikan hawa nafsunya dari watak duniawi yang inderawi. Menurutnya, hawa nafsu itu tidak bisa dibunuh tapi bisa dijinakkan dan diminimalisasi, serta diarahkan kepada sesuatu yang pada tempatnya. Karena manusia tetap membutuhkan dunia, namun melalui agama dan khususnya perintah puasa mengajarkan manusia untuk memiliki ambang kecukupan dan tidak boleh berlebihan.
“Cara menyikapinya adalah dengan jalan yang tawashut/tengahan. Dalam konteks ini baik menghadapi musibah maupun dalammenghadapi ramadhan untuk puasa ramadhan, maka jadikan keduanya untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan,” tambah Haedar.
Secara spesifik, Haedar menyebut taqwa adalah segala puncak kebaikan yang dilakukan oleh setiap muslim, yang untuk elaborasinya bisa bermacam-macam, yang dalam konteks puasa ditujukan sebagai proses riyadho tsanawiyah atau bisa diartikan sebagai olah jiwa tahunan. Dengan cara puasanya dihayati, yakni puasa yang khowaz/spesial. Sehingga puasa menjadi kekuatan ruhani yang besar yang dimiliki oleh setiap muslim.
“Kalau pas puasa menahan amarah insyaallah sukses. Tetapi jika diluar puasa amarah itu membuncah dan jatuh kesemua arah, gara-gara soal kecil saja kita tidak bisa menahan marah apalagi untuk urusan besar. Bahkan ada orang yang marah itu bangga, karena kalau kelihatan marah itu keren,” ucap Haedar.
Jadi praktek itu dilakukan dalam proses menjalani kehidupan, sehingga puasa dan ramadhan tidak diletakkan sebagai ruang untuk bermewah-mewah secara ruhani-spiritual tanpa ada fungsi dari kekayaan spiritual itu. Selanjutnya yang perlu untuk terus diasah adalah dimensi burhani, karena dalam keadaan apapun seorang muslim harus menggunakan akalnya yang jernih.
Penajaman dimensi burhani menurut Haedar adalah kunci untuk membangun peradaban Islam yang maju, karena pilar strategis untuk membangun peradaban yang maju adalah akal pikiran dan ilmu. Penajaman burhani ini akan melahirkan kemajuan dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Sehingga kesempatan physical distancing atau karantina mandiri dimanfaatkan untuk kembali membangun budaya iqra’.
Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan tadabur, tafakur, tadzakur sebagai upaya memperkaya pikiran sekaligus keilmuan umat Islam. Budaya dan wacana keilmuan harus mampu diambil kembali oleh Muhammadiyah, karena budaya ilmu merupakan identitas Muhammadiyah bagi setiap orang yang melihatnya. Sehingga sunnatullah yang terhampar luas ini bisa diamati dan dikonstruksi menjadi simpul-simpul baru dalam keilmuan.
Kesempatan Ramadan ini Haedar berpesan untuk bisa dijadikan sebagai mazroah amal shaleh yang lebih bagus. Termasuk amal sholeh yang menjadikan Amal Usaha Muhammadiyah menjadi semakin bagus ditengah cobaan yang banyak. Tentu amal sholeh kedepan yang lebih unggul dan utama, Muhammadiyah harus diarahkan untuk menimbulkan amal sholeh baru yang lebih baik dari yang lain. (a'n)