MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Sebagai seorang muslim, manusia ditugaskan oleh Allah SWT mengemban risalah Nabi Muhammad untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat seru sekalian alam yang bersifat global (universal), karena itu maka Islam mengajarkan kita untuk beribadah.
Poin tersebut menjadi penekanan Hajriyanto Y. Tohari, Duta Besar RI untuk Lebanon di Beirut pada saat menyampaikan kajian #RamadanDirumah, pada Senin (27/4).
Menurut Hajriyanto beribadah memiliki dua makna yaitu intrinsik dan instrumental. Makna intrinsik dari ibadah adalah taqarub mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ibadah dalam Islam misalnya sholat (sujud ) disbebutkan dalam surat Al-Alaq ayat 19, wasjud wagtarib.
“Bersujudlah sekalian dan ber taqarub lah kamu. Jadi sujud itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, inilah makna intrinsik beribadah,” kata Hajriyanto.
Seperti halnya puasa, kata Hajriyanto makna intrinsiknya (terkandung) di dalam ibadah puasa yaitu agar kamu menjadi bertaqwa. Bahkan salat pun punya makna intrinsik yang banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an.
Makna yang kedua yang sangat penting dan relevan sekali dengan tugas yang dibebankan kepada muslim adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin itu adalah makna instrumental.
“Jadi ibadah yang kita lakukan hendaknya menjadi instrumen yang mendidik dan pendidikan bagi kita umat Islam untuk menjadi orang yang baik,” jelasnya.
Misalnya salat, makna intrinsiknya adalah ber taqarub kepada Allah. Tetapi salat juga mempunyai makna instrumental yaitu di dalam salat disebutkan dalam Al-Qur’an “Dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”
Instrumental Hajriyanto menjelaskan, memiliki makna instrumen agar kita selalu mengingat Allah SWT. Jangan pernah kamu berusaha bersembunyi dari Allah karena Allah itu akan selalu melihat kamu dan tidak ada tempat untuk kamu menutup diri dari Allah.
“Maka, kita diajarkan untuk salat, dzikir, untuk selalu mengingat kepada Allah SWT. Sembahlah Allah seperti kamu melihatnya, jika kamu tidak mampu memiliki sikap seperti itu maka kamu harus selalu tahu bahwa Allah selalu melihatmu,” kata Hajriyanto.
Nah, puasa kata Hajriyanto makna intrinsiknya itu untuk menjadikan kita bertaqwa kepada Allah tetapi makna intrumentalnya adalah agar kita memiliki rasa kepedulian terhadap sesama. Rasa kepedulian terhadap orang-orang yang mendapat bencana, mendapat kesusahan, dan sebagainya yang intinya adalah salat puasa untuk mendidik kita agar selalu beramal.
Kalau dalam Surat Al-Ma’un dikatakan memiliki sikap senantiasa suka menolong terhadap sesama, berdema, filantropisme.
Ibadah yang dilakukan dimaksudkan untuk mendidik menjadi orang-orang yang berjiwa filantropisme, puasa harus melahirkan semangat spirit filantropisme semangat untuk berderma tapi juga lebih dari itu adalah semangat folunterisme karena harus menolong.
“Wa yamna’un al-ma’un, orang yang tidak mendustakan agama adalah orang yang tidak enggan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan. Itukan semangat filantropisme dan semangat folunterisme,” jelas Hajriyanto.
Dalam kesimpulanya Hajriyanto menegaskan, risalah Islam sebagai rahmat (nikmat) sekalian alam harus diwujudkan oleh umat Islam untuk memiliki semangat filantropisme, folunterisme, semangat kedermawanan, semagat kerelawanan, sehingga orang yang menjadikan peduli terhadap sesama itu harus dibina dengan tekun menjalankan ibadah. Karena ibadah-ibadah dalam Islam berbeda dengan ritual ibadah di agama lain yang ibadah itu dipahami sebagai penebusan dosa. Di Islam itu beribadah bukan sebagai penebusan dosa tetapi memiliki makna intrinsik dan instrumental. (Andi)