Minggu, 19 Mei 2024
Home/ Berita/ Takdir dan Ikhtiar dalam Pandemi Covid-19

Takdir dan Ikhtiar dalam Pandemi Covid-19

MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA - Salah satu hikmah Ramadan di tahun ini adalah semakin banyak waktu di rumah untuk mempelajari ajaran-ajaran Allah yang termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Inilah pernyataan pembuka dari kajian Ramadan yang disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A. Mughni pada Rabu (29/4) dengan tema Takdir dan Ikhtiar dalam Pandemi Covid-19. Menurutnya, persoalan takdir dan ikhtiar merupakan persoalan lama yang telah dibicarakan pada awal perkembangan Islam.

“Sebenarnya pada zaman Rasulullah, ketika Islam diajarkan dan difahami serta dipraktekkan sahabat pada waktu itu, tidak banyak muncul persoalan-persoalan teologis. Tetapi ketika Islam wilayahnya semakin luas dan di sanalah mereka berinteraksi dengan berbagai macam umat lain yang memiliki kebudayaan berbeda-beda, dan tradisi intelektual berbeda, maka ada dialog. Mereka mencoba untuk membandingkan Islam dengan ajaran Nasrani, Yahudi, dan agama-agama yang tumbuh di daratan Asia, maka ada pengaruh yang masuk pada ajaran Islam,” kata Syafiq.

Di samping itu juga, kata Syafiq, para penakluk-penakluk muslim mendapatkan khazanah literatur yang luarbiasa di berbagai daerah. Daerah yang diduduki itu kemudian masuk menjadi wilayah Islam seperti di Alexandria dan Naisapur. Setelah masuk sebagai teritori kerajaan Islam, naskah-naskah yang terdapat di berbagai budaya itu disimpan di dalam perpustakaan. Salah satu perpustakaan yang paling terkenal di Baghdad ketika itu Baitul Hikmah.

“Nah, dari interaksi dengan berbagai aliran teologi pra-Islam maupun budaya-budaya setempat, maka muncul persoalan. Apa sesungguhnya ajaran Islam tentang takdir dan ikhtiar? Apakah seluruh peristiwa di alam raya ini sudah didesain, ataukah belum? Apakah manusia bisa memilih secara bebas?,” ujar Syafiq.

Menurut Syafiq muncul dua golongan klasik yang sekarang menjadi perdebatan di masyarakat. Golongan pertama yaitu Jabariyyah yang berpandangan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah sehingga tidak ada lagi ruang untuk memilih. Karena semua sudah ditentukan, manusia tinggal hanya menjalankan saja, dan menjalani kehidupan ini dengan apa yang telah ditentukan Allah. Golongan kedua yaitu Qadariyyah yang secara prinsip berpandangan sebaliknya dengan Jabariyyah.

“Perdebatan antara dua golongan ini memang sangat intens dan banyak melahirkan literatur, banyak karya-karya teologis yang membahas itu. Berbagai ulama ikut mewacanakan pro dan kontra antara Qadariyyah dan Jabariyyah. Di tengah perdebatan kedua kelompok tersebut, muncul satu golongan yang mencoba menengahi gagasan keduanya, yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah,” terang Syafiq.

Golongan Ahlu Sunnah wal Jamaah mengambil jalan tengah yang tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri. Perbendaharaan sejarah Islam sedemikian banyak kemudian lahir karya-karya yang begitu kaya. Di antara banyak karya, ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah mengklaim golongan mereka yang paling selamat berdasarkan sebuah hadis Rasulullah.

“Saya pikir patut disayangkan karena golongan-golongan tersebut selalu menggunakan pendekatan teologis. Padahal sesungguhnya ada pendekatan etis yang saya pikir bermanfaat bagi kita dan tidak usah lagi terjebak di dalam kontroversi yang sudah berjalan lebih dari 1000 tahun yang lalu,” ungkap Syafiq.

Syafiq mengutip sebuah sebuah penelitian di Turki yang melihat pengaruh paham Qadariyyah dan Jabariyyah. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengaruh kedua golongan itu masih ada di dalam masyarakat muslim Turki. Bagi Syafiq, fenomena tersebut tidak hanya di Turki tetapi juga masih eksis di Indonesia.

“ini artinya religiusitas sebaiknya tidak dimaknai sebagai ibadah saja, atau merasa dekat dengan Allah. Tetapi aplikasi di dalam kehidupan sosial, dengan semangat agama, untuk mencari ridha Allah dengan cara-cara kerja untuk kemanusiaan, itu juga sesungguhnya harus dimaknai sebagai bentuk religiusitas,” terang Syafiq.

Agar Muhammadiyah tidak terjebak di dalam konflik antar pemikiran keagamaan, menurut Syafiq, modal yang sangat penting adalah tema kembali pada al-Quran dan al-Sunnah. Kalau menjadikan aliran mazhab sebagai titik tolak, maka akan cenderung terjebak dalam satu aliran pemikiran dan akan menafikan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Karenanya Muhammadiyah bukan berarti anti-mazhab, tapi pendapat mereka bisa menjadi referensi.

“selain tidak terikat pada mazhab, Muhammadiyah juga terus menggelontorkan ijtihad. Kita masih berpegang teguh bahwa ijtihad harus terus dibuka. Tidak hanya itu, walau pun fungsi Majelis Tarjih memilih pendapat yang kuat, bukan berarti pendapat yang lain otomatis salah,” jelasnya.

Inilah modal yang berharga agar warga Muhammadiyah lebih cerdas dalam memahami realitas serta tidak sampai terjebak dalam dua golongan ekstrem baik Qadariyyah maupun Jabariyyah. (ilham)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *